Bagian 14

51 4 0
                                    

“Nats!”

Seruan itu membuatku menengok ke belakang, dan mendapati Gisel yang sedang menenteng dua tas sekolah, yang entah milik siapa.

“Punya siapa?” Tanyaku

“Siapa lagi kalau bukan Kirana,”

“Kan, gak sekelas, kok bisa ada di kamu?”

Gisel duduk sebentar di bangku depan kelas sambil mengatur napasnya.

“Dia nitip, katanya bakal terlambat”

“Rara belum dateng?”

“Begadang nonton anime jadinya baru bangun, deh”

“Ada-ada saja teman kita,”

“Teman kamu,” koreksi Gisel

“Teman kamu juga tahu”

Setelah berkata demikian, aku langsung berdiri, jika harus meneruskan perbincangan itu, yang ada damai sukacita akan hilang. Terlebih, ini masih terlalu pagi. Namun, tidak dengan Gisel, dia masih mempertahankan posisinya sembari memejamkan mata. Mungkin dia lelah.

Ketika beberapa langkah lagi pijakan menyentuh area kelas, seseorang mencegat tangan kiriku.

Sang pelaku hanya melihat saja ke arahku dan itu membuatku bertanya, “Kenapa?”

“Tidak ada,”

“Ya sudah aku masuk dulu,”

“Tunggu,”

“Kenapa?”

“Besok aku ke rumah kamu,”

Tunggu dulu. Apa katanya? Mau ke rumah?

“Eh, ngapain ke rumahku?”

“Jam dua, aku ke rumah”

“Jangan, gak usah, mau ngapain sih?!”

“Kalau begitu, aku ubah, jam dua di halte tempat kita jalan pertama kali,”

“Jangan, gak usah, besok aku sibuk”

“Halte atau rumahmu?”

“Sudah kubilang gak usah,”

“Besok, jam dua.” Katanya lagi lalu pergi meninggalkan aku yang tidak habis pikir bagaimana bisa dia diizinkan lahir ke bumi.

Tidak ada jalan lain selain mengikuti apa yang ia katakan. Mungkin, tidak ada salahnya mengiyakan perkataan tidak jelas itu. Selagi ia waras, (walaupun kelihatannya tidak) ya sudah tidak apa-apa.

Pertama kali, saat ia membawaku ke sebuah tempat yang bahkan aku tidak tahu bagaimana bisa dia menemukan tempat seindah itu. Itu menjadi sebuah momen yang tidak mudah aku hilangkan dan memang tidak bisa. Dan untuk kedua kalinya, ia mengajakku berkeliling, dengan alibi akan memberi sumbangan, padahal hanya berkeliling seraya nostalgia kecil bersama Bandung . Oh, atau yang kedua itu tidak terhitung. Intinya, setiap ajakkan yang ia beri, selalu membawa kepada hal yang membuatku berpikir, “Bagaimana bisa?”.

Lalu, kali ini, dia akan menunjukkan tempat seperti apa lagi? Apakah sebuah lapangan hijau dengan bentangan yang luas? Atau, samudra besar berhiasan biru yang indah? Atau, tempat yang memajang banyak lektur mengindahkan netra?

“Nats!” Kejut Nia dari belakang

“EH, kenapa, Ni?”

“Kamu yang kenapa, daritadi aku panggil malah melamun,”

“Ah, emangnya, iya?”

“Kamu mau melamun atau ikut kita ke kantin?” Tanya Nia

“Palingan gak lapar, lagi,” bukan aku yang menjawab tapi Kirana

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 16, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ChocolateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang