9 - Try Not Cry

8 1 0
                                    

Mal Pondok Indah 1, Jakarta Selatan...

Hari ini Donny hanya bisa murung. Biasanya ia selalu semangat setiap kali jam kantornya sudah selesai. Tapi sekarang ia harus mencari-cari semangatnya sampai melamun di depan tong sampah. Ia merasa hidupnya tak berguna tanpa kehadiran Erly. Bahkan Barbie dan Toni jadi ikut heran waktu melihat sikap ayahnya sejak dua hari ini.

Donny sudah memanfaatkan waktu liburnya dengan berada di dekat anak-anaknya. Tapi rasanya masih terasa hampa. "Dem... Kenapa nasib percintaan gue jelek banget ya?" Donny yang sudah sekuat tenaga menahan kesedihannya yang mendalam tak bisa menyembunyikannya lagi isak kecil tangisnya. Lagi. Dan lagi ia merasakan jatuh karena terlalu mengharapkan seseorang bisa mendampingi hidupnya.

"Karena lo terlalu berharap sama manusia, Don... Denger ya... Kita boleh aja berencana ini dan itu, tapi Tuhan lebih tahu apakah rencana kita itu boleh terwujud atau nggak. Kita nggak boleh maksain kehendak Dia. Mungkin apa yang lo mau itu nggak akan berjalan sebagaimana harapan lo nanti. Kita cuma bisa berbaik sangka kalo Tuhan punya rencana yang lebih indah buat kita, Don."

"Apa ini karena gue nggak mau menerima perjodohan yang ditawarin sama Mami dulu ya, Dem? Apa karena itu Mami selalu ketus sama cewek pilihan gue?"

"Nggak, Don. Gue rasa Mami lo bukan orang kayak gitu. Dia cukup terpelajar kok untuk menilai orang-orang yang pernah deket sama lo selama ini." Demy sedikit membuat Donny terhenyak dengan kata-katanya. "Maksud gue, dia nggak mungkin berpikir sependek itu hanya karena lo nolak buat dijodohin."

"Tapi setelah Erlyn nggak ada, gue pikir Mami emang udah berubah. Dia selalu mendesak supaya gue bisa punya pengganti istri gue, Dem. Padahal lo tau kan kalo mengganti orang yang kita cintai secepat waktu berjalan itu nggak mudah. Bahkan gue butuh waktu sampai Barbie masuk sekolah, baru hati gue bisa kebuka. Walau sedikit..."

"Iya, ngerti. Move on itu memang perkara paling sulit yang bisa dilakukan makhluk yang berperasaan kayak kita."

"Tapi Dem..." Donny menggantungkan kata-katanya dan mengarahkan matanya ke arah Demy.

"Tapi apa?" tanya Demy penasaran.

"Tapi kenapa harus gue yang terus galau? Apa lo nggak pernah galau kayak gue, Dem?"

Demy seakan menjadi korban kegalauan Donny yang berikutnya karena pertanyaan itu. Siapa bilang ia nggak pernah galau? Ia pernah. Bahkan sering. Hanya saja ia nggak pernah menunjukkan pada siapa saja ketika kegalauan akutnya bisa kumat sewaktu-waktu. Tawa kecil pun ia tunjukkan dengan renyahnya. Sejujurnya, ia juga merasa konyol dengan pertanyaan Donny barusan. "Buat apa gue galau soal cinta, Don. Nggak mau mikirin!" serunya sambil ingin mengutuk kata galau itu. Ia tak ingin galau! Apalagi soal cinta. Sungguh jauh dari bayangannya sekarang yang hanya dipenuhi dengankerja, kerja, dan kerja dengan sepenuh hati.

Donny pun ikut tergelak mendengar jawaban apa adanya dari seorang Demy yang memang periang, selalu bahagia, dan tak peduli pandangan orang sekitarnya kenapa ia masih menjomblo di usianya yang sudah seperempat abad. "Yakin, Dem?"

Demy mengangguk semringah. "Gue masih nyaman banget sama kesendirian gue ini. Lagipula buat apa sih gue buru-buru nyari jodoh? Punya tanggungan aja nggak. Gue hepi banget kok. Ngapain pusing kayak lo gini?" kembali meledakkan tawanya pun membuang rasa penasaran Donny.

"By the way, hari ini lo potong rambut lagi ya?" tanya Donny penasaran. Ia ingin mengubur suasana suramnya.

"Dikiiiit... Emang kenapa? Jelek ya?" tanya Demy balik penasaran sambil sesekali menyeka rambut kecilnya ke belakang telinga. Potongan barunya memang agak sedikit pendek dan berponi.

"Nggak. Gue udah keseringan lihat lo rambut pendek jadi ya biasa aja. Tapi kali ini emang tambah pendek aja sih. Makin..." seruan jujur Donny tertahan. Tidak... seruan Donny yang hampir terlalu jujur membuatnya berpikir dua kali untuk mengatakannya. Tapi Demy memang terlihat tambah seksi dengan rambutnya yang semakin pendek. Wajahnya yang eksotis karena berdarah Jerman, Italia, dan Indonesia terlihat lebih memancarkan sosok wanita yangpemberani namun tetap lembut hatinya. Dari dulu, ia memang nggak pernah melihat Demy membiarkan rambutnya jadi panjang. Kalau rambutnya sudah lewat bahu sedikit saja langsung dipangkas habis seperti sedang teramat bosan dengan rambut panjang. Padahal helai rambutnya terlihat lembut dan hampir nggak ada yang terlihat rambut-rambut kecil yang baru tumbuh atau pun seperti patah di tengah jalan.

Restu {END}Where stories live. Discover now