1 - What is a Friend For?

15 2 0
                                    


"Mih, kenalin. Ini Jesicca."

"Halo..." sapa Jesicca yang hendak mencium punggung tangan Mami Donny.

Mami Donny pun menyerahkan tangan kanannya sejenak lalu menariknya kembali sambil memperhatikan Jesicca dari ujung kaki hingga ujung rambutnya.

"Memang kamu punya pengalaman jaga anak-anak?"

Glek. Mulai lagi deh nih orang tua. Haduh! Kualat deh gue ini kalo begini terus? pikir Doni dalam hati. Kalau tadinya ada istilah anak durhaka, seharusnya ada istilah juga orangtua yang durhaka sama anak. Ya, kan? Donny sudah susah payah berjuang mencarikan pendamping hidupnya dan anak-anak. Menurutnya, Jessica lebih baik daripada mantan-mantannya yang lain. Tapi kalau begini akhirnya, mungkin kepalanya harus dijedotin ke tembok sampai berdarah-darah dan Maminya mau memberikan kata-kata ajaibnya, 'Mami restuin', which is itu akan menjadi suatu pernyataan yang bisa masuk musim rekor sedunia.

"Hm... Saya..."

"Don, mami pergi dulu ya! Jangan lupa nanti Toni makanannya harus halus. Karena tenggorokkannya lagi nggak enak. Takut malah jadi radang. Jadi inget kasih obat batuk juga ya! Kamu udah beli, kan?"

"Iya, Mih. Udah!"

Mami tersenyum lega. "Daahhh..."

Selepas Maminya melangkah keluar dari pintu rumahnya, Donny tinggal dengan keheningan. Ia hanya bisa melirik pada Jessica yang berdiri di sampingnya dengan wajah super kencang, karena belum juga selesai ia bicara tapi Mami Doni tak mau mendengarkan ucapannya sepatah kata pun.

"Don, gue balik ya."

"Eeh, jangan Demy! Sini deh sebentar." Donny menarik lengan Demy agak menjauhi Jessica.

Demy mengerutkan keningnya. Ia merasa harus buru-buru pulang setelah mengantarkan pesanan obat batuk untuk Toni. "Ada apa?"

"Boleh nggak gue minta tolong lo buat jagain anak-anak kalo mereka pulang les nanti? Udah ada Mang Karso yang jemput kok," sahut Donny.

"Emang lo mau ngapain? Pulang malem lagi?"

"Nggak tau. Gue kayaknya butuh ngobrol sama Jessica nih. Tapi nggak mungkin sambil jagain anak-anak di rumah. Apalagi Tony lagi nggak enak badan, jadi gue nggak bisa bawa ke mana-mana."

"That's what a friend is for, right?" celetuk Demy tak ambil pusing.

"Thank you, Demyyyy!"

"You're welcome. Jangan lupa cari temen yang banyak ya!"

"Yah, Dem. Gue mau pergi aja dikasih tantangan. Lo kan tau nyari temen yang mau bantu kita pas lagi udh merit dan harus ngerti ngurus anak kan nggak gampang. Apalagi kalo merekanya punya luka batin masa kecil dan cuma pasang muka palsu buat suka sama anak-anak. Nggak bakal jadi bener anak-anak gue kalo gue kenalin ke mereka. Mami juga masih nggak ngebolehin pake babysitter dan asisten rumah tangga yang gue hire itu nggak bisa ngasuh anak. Parah. Ada aja salahnya, lupanya, khilafnya. Grr..."

Demy bergidik. "Iya-iya. Udah ah, dramanya. Pergi gih! Udah ditungguin tuh!" dengusnya yang lagi-lagi nggak mau pusing mendengar keluh kesah Donny.

Donny memasang tangannya di dahi seraya menghormati orang yang penting. "Siappp! Gue nggak akan lama kok."

"Yang lama juga nggak apa-apa lagi. Gue bisa numpang tidur di kamar tamu, kan? Abis jaga malem, badan gue kayak mau rontok. Mana rumah sakitnya agak angker lagi. Pingin pindah aja rasanya," sahut Demy gantian berkeluh kesah. Kalau saja tahu untuk jadi dokter umum harus bisa jaga malam juga, mungkin ia akan beralih impian dari dulu.

"Yup."

"Bye. Hati-hati di jalan ya. Jangan lupa pegangan kalo jatuh."

Donny tergelak. "Hahaha... Iya. Pegangan sama lo aja deh!"

"Dih, ogah. Nanti tiang gue roboh!" cibir Demy nggak kalah becanda.

Donny pun tertawa terbahak-bahak. Dalam situasi menegangkan seperti ini dia bisa tertawa itu hal yang bagus. Ia butuh pencerahan karena harus menghadapi emosi Jessica nanti. Ia harus menyimpan pikiran jernihnya.

Melihat Jessica masih menunggu di halaman depan, Donny menarik napasnya panjang dan menyapanya. "Jes... Sori ya.. Mami memang suka gitu. Jangan diambil hati."

"Nggak pa-pa. Aku mungkin butuh waktu aja buat nerima sikap Mami kamu itu."

"Daripada kita bete nggak jelas gini. Aku temenin jalan ya? Kamu mau ke mana?"

"Ke Musro aja gimana?"

"Kamu mau makan Misro?" tanya Donny terkejut.

"Sayang... Aku pengin kita ke hotel Borobudur," jawab Jessica. "Tapi sebelumnya kita jalan dulu yuk?"

Bibir Donny yang tipis membulat. Telinganya salah dengar tadi. "Mau ngapain sayang ke hotel?"

"Nanti juga kamu tahu..."


                                                                                                     ***


"Jadi kita nggak marahan, kan?" tanya Donny memecah keheningan. Musro tampak ramai pengunjung. Lampu-lampu laser turut menghiasai seluruh ruangan yang gelap di sana. Rasanya ia melihat cahaya dalam hubungannya dengan Jessica. Karena raut wajah gadis blasteran Eropa itu nggak sekusut beberapa menit yang lalu.

"Yang bilang marah sama kamu siapa?" tanya Jessica balik.

"Marah sama Mami ya artinya marah sama aku juga, sayang..."

"Ya udah, aku nggak marah lagi sama Mami kamu," terang Jessica berbesar hati.

"Bener ya? Kamu harus sabar-sabar sama Mami. Dia memang punya pemikiran yang ajaib. Tapi sebenernya dia baik kok."

Celotehan Donny terdengar seperti busa dalam bath up. Tak bisa ditangkap. Jessica tak beranggapan demikian karena ia sendiri yang mengalami sendiri setiap bertemu orangtuanya. Terutama sang ibu yang setiap bertemu pasti beranggapan tak pernah mengenalnya. Sikapnya selalu terasa seperti orang asing yang baru pertama kali melihat. Angkuhnya melebihi sang Ratu Penguasa Alam Pegunungan Salju di Alpen! Dingin sekali!

"Kalo Mami kayak gitu lagi, nggak usah dipikirin ya."

"Iyaa, beb... Pesenin aku Tequila dong, beb!?"

"Oke, sayang..."

Untunglah nasibnya tak seburuk yang Donny kira. Hubungannya dengan Jessica masih bisa diselamatkan. Semoga kali ini Tuhan benar-benar memberikan jodoh yang terbaik.

Restu {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang