Sita mulai terisak pelan, ia membalas pelukan Adrian, tangannya memeluk Adrian sangat erat seolah ia tidak ingin melepaskan pelukan nyaman yang kini dirasakannya. Dengan memeluk erat tubuh pria itu, ia menumpahkan segala perasaannya lewat tangis karena tidak ada kata yang bisa terucap lagi dari mulut Sita. Ia hanya mampu menangis. 

"Terkadang kamu memang butuh seseorang untuk membagi duka, jangan memendam luka sendiri." Adrian mengusap rambut panjang Sita, gadis itu masih terisak di pelukannya. 

Mata Adrian terpejam. Amarahnya memuncak, ia tidak suka melihat Sita yang menangis seperti ini. Gadis yang biasanya selalu riang berubah menjadi gadis yang sangat rapuh. Perlahan, Sita merenggangkan pelukannya, hidung dan mata gadis itu memerah. Tangan Adrian terulur mengusap air mata yang turun ke pipi Sita.

"Kamu tau?" Adrian mengusap kepala Sita dengan sayang. "Kamu itu berharga. Sangat berharga." Adrian mengusap pipi Sita. "Seharusnya, air mata ini gak harus ada di wajah kamu. Saya gak suka lihatnya." Lalu Adrian menyandarkan kepala Sita ke ke dadanya. 

Cukup lama mereka terdiam. Hanya suara angin yang berperan mengisi suara di gendang telinga masing-masing.

"Mas?" panggil Sita pada akhirnya

"Ya?"

"Terima kasih."

"Untuk?"

"Semua kebahagiaan yang gak pernah aku rasain selama ini. Baru kamu satu-satunya laki-laki yang buat aku nyaman, selama ini aku selalu jaga jarak sama semua laki-laki. Setelah ada kamu semua berubah, aku jadi ngerti rasanya dihargai."

"Kamu pantas mendapatkan itu semua. Jangan selalu menganggap kamu itu sendirian. Selalu ada orang yang mencintai kamu walau kamu tidak pernah menyadarinya." Contohnya aku. Lanjut Adrian dalam hati.

Sita tidak lagi menyahuti ucapan Adrian. Ia hanya mengeratkan pelukannya. Sita berkata jujur jika ia belum pernah mempercayai lelaki hingga sedalam ini, Rian bahkan belum pernah melihatnya menangisi masa lalu. Namun kenapa dinding yang sudah ia bangun begitu kokoh bisa roboh karena kedatangan Adrian? Kenapa bisa secepat itu?

"Aku boleh minta sesuatu sama Mas?"

"Boleh. Kamu mau minta apa?" 

"Jangan pakai saya-saya-an lagi dong. Di denger gak enak banget. Emang susah kalau saya diganti jadi aku?" Sita mulai mencarikan suasana yang tadinya serius, gadis itu sudah mulai kembali seperti semula, menjadi gadis ceria.

"Bukan begitu. Tapi saya belum terbiasa."

"Tuh kan, saya lagi." Sita merengut kesal. "Kita udah lumayan deket loh Mas. Masa masih pakai saya ngomongnya. Kalah sama tukang sate yang ngomongnya aku-kamu."

"Oke. Kata saya akan diganti dengan panggilan kamu buat saya, gimana?" 

"Yang penting gak pake saya-saya-an, gak apa-apa deh. Risi telingaku dengernya."

Adrian tersenyum, pria itu kembali mengusap rambut halus Sita. Sambil menikmati seja sore hari di lantai paling atas rumah Sita—dekat tempat penjemuran baju. Langit senja dan kepala Sita yang bersandar pada dada Adrian, kebagiaan yang sederhana untuk Adrian.

 Langit senja dan kepala Sita yang bersandar pada dada Adrian, kebagiaan yang sederhana untuk Adrian

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

BRUK!

BRAK!

PRANG!

Sita dan Adrian spontan menoleh ke arah suara berisik itu berasal. Elle sedang membantu Laras untuk berdiri, mereka berdua memberikan Sita cengiran tanpa dosa. Elle menggaruk tengkuknya ketika Adrian menatapnya tajam. 

"A-anu Bang, tadi itu kita mau ngambil jemuran. Ya gak Ras?" Elle menyenggol lengan Laras.
Laras mengangguk polos. "Iya kita mau ambil jemuran."

Sita menegakakkan posisi duduknya, ia menatap jengah sahabatnya yang masih nyengir. "Bukannya semua jemuran udah lo ambil El tadi pagi. Lo lupa?"

"Iya ya. Tadi gue ambil jemuran. Berarti jemurannya udah di ambil Ras." Elle menarik lengan Laras mengikutinya. "Ya udah Bang, kita mau balik lagi ke bawah. Duluan ya." pamit Elle pada Sita dan Adrian. "Anggep aja yang tadi itu iklan."

Sita menghembuskan napas berat, lalu terkekeh. "Mas Adrian, aku mau bikin brownies buat bekal nanti di perjalanan. Mau ikut bikin?"

Bikin anak juga Mas mau Ta. Sebenarnya Adrian tapi yang keluar dari mulutnya malah, "Kamu mau ngajak Mas bikin itu?" 

Dahi Sita tertekuk heran. Kenapa Adrian malah bertanya balik? Sudah jelas bukan, tadi Sita mengajak Adrian membuat brownies bersamanya. "Iya. Cuma bikin brownies kan?"

Cuma bikin brownies. Bukan anak. "Iya, nanti Mas bantu." 

"Oke. Aku tunggu di dapur ya?"

"Ya."  

Sita turun ke bawah, menuju dapur seperti yang dikatakan gadis itu tadi. Sedangkan Adrian, meraup wajahnya sendiri, pikirannya sudah kemana-mana hanya dengan memandang wajah Sita dari jarak dekat. Padahal tadi Sita hanya mengajaknya untuk membuat brownies bersama, bukan apa-apa.

Adrian!!! LO HARUS GERAK CEPAT, SEBELUM KEBABLASAN!

*****

Bersambung...

(Cepat lambatnya update, tergantung vote)

Sweet Husband [END]Where stories live. Discover now