DS 27 - Biru

3.4K 318 79
                                    

Bama terbangun dengan keadaan yang begitu sunyi, rasa haus kemudian membuatnya harus beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju dapur. Kakinya melangkah keluar, tapi saat sampai di depan pintu kamar milik Bima langkahnya berhenti. Ada rindu yang bergejolak di dalam sanubarinya. Ia pikir Bima akan datang ketika dokter menyatakan bahwa dirinya sembuh dan dapat hidup normal pekan lalu. Namun melihatnya saja tidak, meski dalam bentuk bayangan. Ah, Bama merindukannya.

Kakinya kembali melangkah menuruni tangga dan melewati ruang tengah yang senyap dan gelap. Saat kembali ia menghentikan langkah kakinya dan termangu membelakangi piano yang bertengger memenuhi ruang tengah. Ia menoleh ke arah piano itu. Rasanya sudah cukup lama ia tidak memainkannya. Tapi tidak mungkin jika dirinya memainkan piano di tengah malam seperti ini. Apalagi di keadaan Ayah dan Bunda yang sedang lelah.

Baiklah, biar esok pagi ia memainkan piano itu. Sekaligus untuk menyambut kedatangan Bima yang pastinya akan pulang setelah melanglang buana. Bama melanjutkan langkahnya menuju kamar.

Ting.

Satu denting piano berbunyi membuat langkah Bama terhenti. Ia diam sejenak untuk menarik napas dan berusaha untuk tetapi berpikir positif. Mungkin itu hanya halusinasinya saja dan kebetulan tubuhnya masih ingin beristirahat. Ia memilih untuk melanjutkan langkahnya. Namun kembali berhenti saat deretan nada-nada itu kembali berbunyi tanpa aturan.

Bama mendesis sebal. Ada seseorang kah yang menjahilinya? Lantas dirinya membalikkan tubuh dan berjalan mendekat ke arah piano dengan tanpa ragu. Lalu berdiri di samping adjustable bench, ia penasaran dengan apa yang akan terjadi setelahnya. Badai yang akan mendatangkan rindu kah? Atau sebuah bencana besar yang akan melenyapkan dirinya? Ia tidak takut jika semua itu terjadi, karena hal yang paling ia takutkan adalah lebih dari itu. Lebih dari badai dan bencana besar, yaitu kehilangan sosok Bima.

"Besok kita main. Gue istirahat dulu," ujar Bama seperti sedang berbicara dengan seseorang, sambil menatap piano itu beberapa saat. Lantas kembali berlalu.

Saat kakinya sudah menginjakkan tangga, ia menoleh ke arah piano itu. Rasa resah seketika menyelimutinya. Ia menyesal sudah menyakiti Bima ketika di pertemuannya saat itu. Bama menghela panjang, berusaha melenyapkan bayangan buruk yang terjadi pada saudara kembarnya.

Kakinya kembali melangkah dan terus melangkah. Sampai berhenti tepat di depan pintu kamar Bima. Rasanya sudah sangat lama ia tidak melihat sosok kembarannya itu. Untuk kembali ke dalam kamarnya ia urungkan dan lebih memilih untuk masuk ke dalam kamar Bima. Pernah ada satu hal yang membuat sebuah tanya timbul dalam benaknya, kenapa dirinya dengan Bima tidak disatukan dalam kamar yang sama?

Pintu itu perlahan terbuka dan mulai menampakkan isinya yang tertata rapi. Matanya terarah pada sudut ruangan. Tertuju pada sebuah carriel yang terletak di sana dan masih lengkap dengan peralatan pendakian. Bama menarik sebuah kursi dan duduk, diraihnya tas besar itu ke atas pangkuannya. Bebannya cukup berat bagi dirinya yang memang jarang berolahraga raga. Ia bangkit dari duduknya untuk coba mengenakan barang itu di pundaknya. Lalu berjalan mendekati lemari yang terpasang cermin lebar di pintunya.

Matanya menelusuri penampilannya saat mengenakan carriel milik Bima. Hal itu membuat denyut di dadanya semakin kencang. Ada sesuatu di dalam cermin sana. Bukan dirinya, melainkan Bima. Seketika ia menjatuhkan carriel tersebut dari bahunya. Sementara kedua matanya masih tertuju pada pantulan tubuhnya di cermin.

"Lo sebenernya pergi ke mana sih, Bim?" Bama menghela napasnya dengan panjang. Lalu hembusan angin menerpanya. Menerbangkan beberapa lembar kertas dan menguraikan lembaran halaman buku yang tersimpan di meja belajar.

Bama menoleh dan langsung tertuju pada sebuah buku. Ia ingat, saat dirinya hendak meminjam buku itu namun dengan keras Bima melarangnya. Tangannya bergerak untuk mengambil buku yang bersampulkan tulisan nama Bima.

Abhimata Sadewa
(26 Oktober '00)

Jemari Bama mulai membuka halaman pertama. Tidak ada tulisan yang memenuhi isi lembaran itu, hanya ada kata welcome yang ditulis tangan dengan unik. Lalu ia kembali membuka lembaran berikutnya.

Ada sebuah potongan gambar sebuah bunga edelweis yang terlihat indah di antara pelataran bukit.

Suatu saat nanti, saya akan membawa bunga ini. Untuk menemanimu saat saya pergi.

Bama merasakan debaran jantungnya kembali berpacu cepat. Ia terus membuka lembaran berikutnya.

Saya tidak akan pernah pergi jauh, karena saya tinggal di dalam dadamu.

Dahinya mengernyit dalam. Dengan cepat jemarinya kembali membuka lembaran demi lembaran sampai menemukan sederet tulisan Bima yang belum lama ditulisnya jika dilihat dari tanggal yang tertera di halaman pojok kiri buku.

I live in your heart.

Debaran di dadanya semakin berpacu dengan cepat. Buku itu masih menyisakan satu halaman lagi.

For you.

Ada tanda panah yang mengarah ke atas. Entah apa maksudnya. Namun netra Bama mengikutinya, ia mengangkat wajahnya dan mendapati sebuah toples berisi bunga edelweis yang bercampur dengan bunga cantigi kering dan beberapa bunga liar lainnya serta gulungan kertas kecil seperti penyimpan sebuah harapan.

Tangan Bama bergerak meraihnya. Lalu membuka tutup toples tersebut untuk mengambil gulungan kertas yang berada di dalamnya dan membuka gulungannya satu per satu. Ia menghela napasnya. Ini seperti sebuah petunjuk mengenai keberadaan saudara kembarnya.

I love you more. I will live in your heart.

Dua kalimat dengan satu kalimat yang berbeda dalam arti yang sama. Bama mengernyit. Ia masih tidak mengerti. Benaknya berpikir keras untuk mengartikan semua ini. Namun ia kembali termangu tatkala ada sesuatu yang membuatnya tersadar.

Tangannya meraba dadanya. Apa ini yang Bima maksud yang hidup di dalam dadanya dengan mendonorkan jantung kepadanya?

Sesuatu seperti membiru di dalam sanubarinya. Menyesakkan relungnya tanpa ampun. Ia terduduk dengan memeluk buku dan gulungan kertas kecil itu. Rasa kehilangan menyeruak masuk dan membeludak tanpa ampun ke dalam hatinya. Tentang ketakutan terbesar yang selama ini menjadi mimpi buruknya malah terjadi. Bima pergi, untuk selamanya.

Tangan Bama meremas buku yang dipegangnya itu. Ia ingin Bima kembali detik itu juga. Di malah yang senyap, tangisnya pecah meski tertahan dan tanpa suara. Tubuhnya terus merunduk hingga jatuh terpuruk. Semua hanya tinggal kenangan yang kemudian menyisakan rasa sesal dan sesak di dada.

"Kenapa, Bim?" Tubuhnya bergetar hebat dengan tangis yang semakin pilu. "Kenapa lo ninggalin gue?" tanyanya seorang diri dengan terus mendekap buku milik Bima. Buku yang masih menggambarkan bahwa Bima masih ada di sisinya. Begitu menyedihkan, hal sepahit ini harus terjadi pada dirinya. Satu hal yang tidak pernah Bama bayangkan karena memang tidak pernah ingin jika hal itu terjadi.

Namun semuanya sudah usai. Tuhan lebih menyayangi Bima. Bima kecil dengan tawanya yang jenaka dan celatuknya yang tanpa dosa.

Masih banyak yang belum sempat
Aku katakan
Padamu
Masih banyak yang belum sempat
Aku sampaikan
Padamu

(Pilu Membiru oleh Kunto Aji)

TBC...

DANKE SCHÖNWhere stories live. Discover now