DS 13 - Hujan

4K 420 23
                                    

Bima menghela berat. Kepergian Bama yang dirasanya terlalu cepat membuat langkahnya mengukir setapak janji harus tertunda. Ia mengangguk atas perintah sekaligus saran dari Mas Beno.

Suasana ramai titik nol Yogyakarta seperti tidak pernah ada dalam lingkup napas dan ruang pikirnya. Semuanya seakan senyap tatkala kakinya melangkah dan terus membawanya menuju stasiun untuk pulang. Langit yang hitam dengan awannya yang legam siap menumpahkan segala bebannya.

Menghela sejenak. Bima menoleh ke arah Mas Beno. "Sudah Mas. Aku bisa sendiri," ucapnya dengan nadanya yang lebih tenang.

Mas Beno mengangguk dengan teramat berat. Khawatir dengan keadaan psikis Bima yang sedang tidak stabil. "Hati-hati," balasnya singkat.

Bima kemudian berlalu masuk ke dalam stasiun setelah berpisah dengan Mas Beno di depan pintu masuk. Cowok itu menarik napasnya yang menyesak sekaligus memejamkan matanya, berusaha mengontrol semua kendali emosinya sebelum satu langkah lagi kakinya masuk ke dalam gerbong kereta.

Kereta sudah siap untuk melaju. Hujan yang semakin deras seolah berhasil menguasai pelataran bumi dengan rintikan airnya yang jernih. Pandangannya ia lempar ke arah luar jendela yang masih menampakkan peron dan beberapa kedai yang ada di sana. Kemudian sampai kereta itu keluar dari areanya, hujan semakin terlihat jelas bahwa sedang deras-derasnya di malam ini. Membasahi seluruh permukaan bumi.

Rintikan air yang membasahi permukaan jendela pada gerbong kereta kini menjadi pusat perhatiannya, meski isi otaknya sedang melanglang buana ke masa-masa sebelum luka itu tiba.

"BUNDAAAAA!!!!" Teriakan bocah kecil itu menggelegar. Sedangkan satu temannya dan saudara kembarnya sedang sibuk asyik menyeret tubuhnya agar terguyur hujan. Namun Bima terus meronta agar terlepas dari cengkraman tangan dua anak manusia yang kini sedang memaksanya untuk menikmati air hujan yang sedang deras-derasnya itu.

"GAK MAU, AKU GAK SUKA!" tolak Bima dengan wajahnya yang pucat.

"Ayo! Kamu harus coba! Asyik tau! Seru!" pekik Bama masih terus menyeret Bima untuk turun dari teras rumah menuju halaman yang terbentang luas di depannya.

"Gak mau! Kamu aja sana!" balas Bima masih meronta.

Cindy mengendap-endap dan ... byur!!! Tanpa merasa berdosa gadis cilik itu mengguyur tubuh Bima dengan satu ember kecil air yang berhasil ia tampung.

"BUNDAAA!!!!!!" Bima seketika lompat dari teras dan malah turun ke halaman. Wajahnya panik, air mata yang sebenarnya deras mengalir membasahi pipinya sekejap tersamarkan oleh air hujan yang mengguyur tubuhnya.

Sesosok wanita cantik kemudian muncul dan menjembanya masuk ke dalam rumah. Memberikan kehangatan dengan sentuhan keibuannya.

Rindu. Sepertinya sudah semakin berkerak di dalam sanubarinya. Ia rindu pada sosok wanita itu. Sosok wanita yang ia kenal sebagai seorang Ibu sekaligus malaikat tanpa sayap yang Tuhan kirimkan untuknya. Hujan malam ini terlalu jahat, sampai membuatnya harus kembali teringat dengan masa itu. Masa di mana luka-luka itu mulai tumbuh.

***

Rupanya hujan tidak hanya mengguyur daerah teristimewa di negeri ini. Daerah yang biasa disebut kota terpadat di dunia pun merasakan hal yang sama, guyuran hujan yang begitu deras membasahi segalanya yang ada di pelataran bumi. Dengan cuaca yang tak menentu, dan sepertinya kali ini hujan lebih merata.

Sarah berusaha menenangkan dirinya. Lantas membasuhkan air dari saluran keran wastafel ke wajahnya. Ini sudah takdir Tuhan, semoga menjadi jalan yang terbaik untuknya dan untuk semuanya.

Sedangkan Wira melangkahkan kakinya mendekati brankar di mana Bama masih terbaring. Tangannya terangkat menyentuh tangan Bama, namun ketika menyentuhnya seperti ada sesuatu yang melejit masuk ke dalam nadinya. Dapat Wira rasakan pada telapak tangan Bama yang masih terasa hangat meski detak jantungnya dikatakan mati.

Wira menatap tangan yang nampak pucat namun kemudian perlahan rasa hangat itu semakin kentara untuk ia rasakan. Kemudian kepanikan mulai melingkupi dirinya, dengan langkahnya yang cepat dan lebar ia memanggil dokter sesegera mungkin. Tidak lama kemudian ia kembali bersama sang dokter dan beberapa perawat asistennya.

Dengan beberapa rancangan prosedur, dokter memeriksa kembali keadaan Bama yang sebelumnya telah dinyatakan mati. Mungkin inilah keajaiban dunia yang ke delapan saat melihat dokter tersebut tersenyum dan kembali memasangkan alat-alat medis untuk menopang organ Bama yang masih lemah. Jantung itu kembali berdenyut sesuai dengan iramanya.

"Ini sebuah keajaiban yang Tuhan berikan kepada kami," ujar sang dokter setelah serangkaian medis yang ia lakukan selesai.

"Maksudnya?" Wira sungguh tidak paham dengan semua kenyataan ini.

"Bama sempat mati suri dan dia berhasil untuk kembali hidup," jelas sang dokter.

Jantung Wira seolah terlonjak bahagia. Ini kah hidup bersama kesempatan emasnya? "Yang benar, dok?" tanya Wira sungguh tidak percaya.

"Harus saya akui, Bama pasien yang paling kuat dari beberapa pasien yang saya tangani," ujar dokter lagi.

Air mata kebahagiaan itu akhirnya luruh. Wira memeluk Bama dan mencium keningnya. Berterimakasih kepada Tuhan atas kesempatan kedua ini. Diciumnya tangan Bama berulang kali. "Terimakasih. Sudah kembali untuk Ayah," ucapnya.

Sarah datang dan menatap ke sekelilingnya dengan pandangan tidak mengerti. "Mas?" panggil Sarah pada Wira.

Wira menoleh. "Bama hidup lagi, Bun," ujarnya jelas tersirat di dua matanya rasa bahagia.

Sarah menutup mulutnya dengan telapak tangannya. Sungguh tidak dapat di percaya.

Melihat Sarah yang mematung di dekat pintu, Wira bangkit untuk menuntunnya mendekati Bama.

"Ini karena Tuhan masih sayang dengan kita," ujar Wira mengaitkan tangan Sarah pada Bama. Kenyataan yang seperti halusinasi ini seolah benar-benar menjadi nyata tatkala Sarah menggenggam tangan Bama dan melihat deru napasnya yang teratur.

Sarah mengangguk haru. "Bama, kamu harus yang kuat ya? Di sini ada Ayah sama Bunda yang akan selalu ada buat kamu," bisik Sarah menyalurkan energi positif.

Suara lembut Sarah, sebenarnya dapat ia rasakan. Sentuhannya pun bahkan sampai detak jantungnya, semuanya dapat ia rasakan. Namun, di mana sosok cerminannya yang pernah berbagi rahim dengannya? Di mana Bima yang kehadirannya sama sekali tidak dapat ia rasakan? Pergi lagi kah?

Lalu Ayah, di mana Ayah? Ada di samping Bunda kah? Tidak ada yang pergi. Tidak boleh ada yang pergi. Semuanya harus ada di sini. Saling berbagi kasih, saling menyalurkan rindu.

"Bunda. Ayah." Ia merasakan kedua tangannya digenggam erat. Sebenarnya ada yang paling sakit di dalam sana. Jantungnya yang lemah dan terus ia paksa untuk mampu berdetak sesuai dengan irama rentang waktu.

"Bima." Ia memanggil Bima. Berharap sosok yang dipanggilnya mau menyentuhnya. Namun sentuhan itu tak kunjung terasa di indera perabanya. Wira dan Sarah saling melempar tatap.

"Bima ada, sayang. Bima ada," ujar Sarah menenangkan Bama.

"Jangan pergi," ucap Bama dengan teramat lemah. "Jangan ada yang pergi," ulangnya. "Aku mau kalian semua ada di sini," pintanya dalam kelemahannya.

"Iya, sayang. Ayah sama Bunda janji," balas Sarah merangkul Bama yang tengah kesakitan.

TBC...

DANKE SCHÖNWhere stories live. Discover now