DS 06 - Senja

4K 402 26
                                    

Bukan Bima jika tidak telat. Cowok itu sekarang sedang berjemur di tengah lapangan paving blok. Seperti biasa, selalu ada Pak Haris yang menjaganya.

"Pak. Sayang banget sama saya sampe rela mau nungguin," seri Bima.

"Hukuman kamu saya tambah satu jam," tegas Pak Haris kemudian berlalu.

Tiga siswa yang berdiri di samping Bima lantas cekikikan.

"Mampus lo."

"Mati lo."

"Rasain lo."

Pak Haris rupanya mendengar ujaran dari ketiga siswanya selain Bima yang juga ia hukum karena telat. Bahkan satu di antaranya ada yang mencoba untuk membolos dan sempat menghasut Bima untuk ikut membolos. "Kalian juga. Saya tambah satu jam!" seru Pak Haris dari arah lorong menuju ruang BK.

Sekarang Bima yang tersenyum puas penuh kemenangan. "Mampus lo pada," bisiknya tajam.

Ketiga temannya hanya mendesis sebal.

Cewek itu lewat mengisi bayang di dalam retinanya. Otomatis mata Bima mengikuti ke arah mana cewek itu pergi.

"Cindy."

Cewek itu tidak menolehkan kepalanya.

"Cindy Cintaku!" Bima berseru lagi. Hari ini adalah jadwal olahraga kelas XI IPA 1 dan Cindy terlihat memakai kaos olahraganya berjalan ke arah sebuah ruang UKS yang terletak di sudut sekolah dengan langkahnya yang terburu-buru. Hanya sekilas Cindy menoleh ke arahnya, itu pun dengan rautnya yang kesal.

"Lo suka sama si Ratu Kidul?" Atas pertanyaan itu, Bima menggeleng.

"Terus?"

"Seneng aja usil sama dia." Bima terkekeh geli.

Ray menoyor kepala Bima dengan gemas. "Bilang aja suka!" serunya.

Bima mendengus.

"Bim?! Bima?!" Seseorang memanggil namanya. "Hah?" Membuat Bima lantas mengernyit dengan penuh keheranan.

Gio semakin berlari mendekat dengan napasnya yang ngos-ngosan lalu memberi tahu ada hal gawat. "Kembaran lo!" Gio menunjuk ke arah UKS.

"Kenapa si Bama?" tanya Bima masih tidak mengerti.

"Pingsan."

"Pingsan?" Sontak hal itu membuat Bima bergegas lari menuju UKS.

Di UKS sudah ada tim medis yang siap membawa Bama ke rumah sakit. Wajahnya pucat begitu pasi. Entah apa yang sudah Bama lakukan hingga tubuhnya kembali ambruk seperti sekarang ini.

"Bam. Bama. Bangun, Bam. Jangan bikin gue takut. Gue mohon." Sesak. Itu lah yang Bima rasakan setiap kali Bama jatuh. Ia seakan tidak rela jika Tuhan mengambilnya sekarang. Tidak rela juga melihat hati kedua orangtuanya tersayat pilu karena kepergian Bama.

"Mohon beri kami jalan."

Bima menyingkir. Ia menepi dari kerumunan tim medis yang membawa Bama masuk ke dalam mobil ambulan. Hingga mobil itu membawa Bama berlalu mengejar waktu.

Berdiri dengan raut penuh ketakutan membuat selintas aksi nekadnya singgah lalu seperti memaksanya untuk pergi menyusul kembarannya. Lantas Bima berlalu mengambil tasnya dan segera menyusul keberadaan Bama dengan tanpa menghiraukan gemboran Pak Haris.

Arah jalan merentang ke barat. Bima menyeka air matanya yang jatuh tanpa secuil pun ia sadari. Kakinya masuk ke dalam bus dengan jurusan yang ia tuju.

Memejamkan matanya dan menyandarkan tubuhnya di kaca pembatas antara penumpang wanita dan pria. Air matanya kembali jatuh seolah merobohkan bendungan yang sudah ia bangun.

"Ini. Ambil." Seorang wanita menyodorkan sebungkus tisu yang setengahnya mungkin sudah ia pakai. Senyumnya mengembang tulus.

Mata Bima terbuka. Lalu menatap wanita itu. Dengan tangannya ia langsung menghapus air matanya lalu menolaknya secara halus.

Tidak sampai satu jam, bus yang ia tumpangi berhenti di halte depan rumah sakit. Langkah Bima bergegas masuk ke dalam rumah sakit dan langsung mencari keberadaan Bama di ruang ICU. Menyusuri lorong rumah sakit dengan jantung yang tidak henti-hentinya berdebar hebat. Ada ketakutan yang terus menerobos ke dalam relung hatinya.

Namun langkahnya harus berhenti saat bola matanya melihat kedua orangtuanya yang terlihat cemas berdiri di depan pintu ruang ICU. Bima merunduk dan menarik napasnya. Dadanya masih sesak karena kekhawatirannya pada Bama. Ia lanjut melangkahkan kakinya menghampiri mereka.

"Mau apa kamu kemari?" Pertanyaan Wira selalu terdengar sarkastik. Memang, antara dirinya dan Wira tidak pernah akur.

Bima tidak langsung menyahutnya. Ia menatap pintu ruang ICU dengan matanya yang memanas. Tanpa sadar air matanya kembali jatuh. Menunjukkan kalau bukan seorang Wira saja yang bisa sedih. Bahkan ia lebih dari kata sedih. Hatinya tersayat perih.

Sementara Sarah, matanya bergantian menatap Wira dan Bima.

Bima melangkah. Menyentuh pintu yang terbuat dari kaca itu. Merunduk dalam-dalam, menyembunyikan tangisnya yang sudah tidak lagi bisa ia tahan.

"Bima." Sarah memanggilnya. Wanita paruh baya itu juga menangis. Diamnya selama ini bukan berarti ia tidak peduli lagi dengan Bima, melainkan sebagai bentuk protes dirinya sebagai Ibu yang tidak mampu membagi waktunya antara Bima dan Bama yang sejak dulu selalu terpisah oleh tempat. Rumah sakit itulah yang menjadi rumah kedua bagi Bama.

Lututnya melemas. Laki-laki itu bertekuk lutut di depan pintu ruang ICU. Berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan melakukan apapun demi kesembuhan Bama. Hati kecilnya berteriak keras memanggil Tuhan, seolah berproklamasi kalau dirinya belum siap jika Bama harus pergi.

"Gue tau lo kuat, Bam. Gue tau lo gak selemah itu. Gue tau, kalo lo gak sekarang ninggalin gue. Gue tau lo akan menepati janji lo." Tubuhnya bergetar. Isaknya semakin membuatnya sesak.

"Sayang. Kamu yang tenang ya? Bama gapapa. Dia baik-baik aja." Mendekat dan merangkul Bima. Lantas Sarah membawanya untuk berdiri.

Bima menggeleng. Air matanya sudah tidak dapat ia sembunyikan lagi. Wajah sang Bunda ada di hadapannya. Baru kali ini wanita paruh baya itu memanggilnya 'sayang'.

Melihat tangisan itu membuat hati Sarah semakin pedih. Sedangkan Wira, berdiri di tempatnya. Lantas Sarah ingin memeluknya, namun Bima malah menghidar dan berlalu menjauh. Menghapus air matanya lalu pergi bersama langkahnya yang dipercepat sampai mengayun berlari keluar.

***

Saya yakin. Tidak akan secepat ini waktu menjemputmu. Barangkali Tuhan akan memberikan kekuatan padamu. Barangkali Tuhan pun ingin menyuguhkan langkah petualang seperti yang pernah saya lakukan. Walau hanya karena untuk mengusir perih yang selalu merintih. Ternyata saya selemah ini untuk melawan ketakutan. Padahal saya yakin jika kau pergi, Tuhan akan menempatkanmu di sisi-Nya yang paling mulia.

~Danke Schön, 30 Juli 2018.

Menghela napasnya, Bima menutup lembaran Mr.Secret Book-nya. Kemudian berjalan menuju jendela kamar dan membukanya. Dengan satu hentakan kakinya ia locat naik ke atas pohon lalu kembali loncat ke rooftop rumah. Padahal sebenarnya ia bisa saja melakukan itu tanpa harus repot-repot loncat ke batang pohon dengan cara menaiki tangga menuju loteng rumahnya. Namun ia enggan melakukan itu. Karena ia tahu, itu tempat Bama mencurahkan segala isi di sanubarinya dengan lukisan-lukisan abstraknya. Hanya dia yang mengerti, sekalipun Bima, ia tidak tahu apa-apa makna pedih di balik lukisan abstrak yang terpoles indah.

Semburat jingga dari cahaya senja semakin terlihat jelas. Ia menyandarkan tubuhnya di tembok dari dinding belakang loteng. "Tuhan." Napasnya menyesak. Bima menariknya perlahan. "Ambil saja aku."

TBC...

DANKE SCHÖNWhere stories live. Discover now