DS 10 - Nada

3.8K 464 25
                                    

Mengusap halus foto yang terbingkai indah dan menampakkan wajah dirinya bersama Bama. Bima tersenyum tulus. Tas ranselnya sudah siap untuk ia angkut ke punggungnya. Tanpa terasa air matanya mulai meluruh menembus kelopaknya. "Gue janji. Ini perjalan gue yang terakhir, sebelum akhirnya gue akan selalu ada buat lo. Maafin gue yang selama ini cuma bisa ingkar." Dikecupnya foto itu dengan cukup lama.

Bima merunduk lemah dengan tangan memeluk foto itu.

Ini hanyalah tentang waktu. Yang sewaktu-waktu akan menuntut temu pada rindu yang terlampau pilu.

~Danke Schön, 29 September 2019.

Setelah beberapa saat terdiam bersama kabut gamangnya yang selalu siap menerkamnya kapan saja, Bima bangkit. Melangkahkan kakinya keluar dari kamar dengan menenteng tas ransel di punggungnya, menuruni puluhan anak tangga menuju ruang tengah dimana piano yang biasa Bama mainkan berada. Menyimpan ranselnya di dekat kaki kemudian duduk di kursi berhadapan dengan piano itu.

Detak jantungnya berdegup sepuluh kali lebih cepat dari biasanya tatkala jari-jarinya mulai bergerak menyentuh tuts piano. Tangan kirinya bergerak memegangi dadanya yang malah semakin asyik berdebar. Bima menghela sebentar. Menenangkan segala ketakutannya. "Semuanya akan baik-baik aja, Bima. Semuanya akan berjalan sesuai yang lo mau," gumamnya.

Perlahan ia merenggangkan jari-jarinya. Menghela lagi dan terpejam. Tuts piano itu akhirnya berbunyi sesuai dengan nada yang selalu didengarnya saat Bama memainkan nada-nada itu. Bima bisa? Bima bisa melakukannya? Bukan kah bakatnya berkelahi dan berlari? Entah jiwa apa yang menyelusup masuk ke dalam dirinya sehingga ia mampu melakukan satu hal yang paling dan selalu ia hindari. Nada-nada itu mengalun indah dengan tempo yang perlahan-lahan semakin cepat.

Wira muncul dengan kening yang mengernyit dalam. Baru saja ia menutup pintu depan namun kehadirannya sudah seperti disuguhkan konser solo dari pianis hebat. Dadanya bergetar. Nada-nada itu justru membuatnya merasa tertikam belati dengan amat dalam. Rasa itu, juga jurang yang menghadang antara dirinya dengan Bima seolah-olah kembali menjatuhkannya pada peristiwa yang memilukan. Hingga nada-nada itu berhenti mengalun dengan sendirinya, Wira masih tidak mengerti dengan kenyataan yang dilihatnya. Bima kah yang dilihatnya? Tidak mungkin! Bima seorang anak yang payah, oleh karena itu ia menciciknya. Terlebih saat ia mengingatkan betapa banyaknya yang sudah Bima hancurkan karena kesembronoannya. Pesta-pesta besar yang sudah ia rancang untuk para koleganya, seketika hancur dan itu semua karena Bima. Tidak hanya itu, masih banyak hal lain yang mungkin patut untuk menjadi alasan kenapa Wira membencinya. Ah! Mungkin lebih tepatnya tidak lagi ingin memanjakannya sampai tak terasa jurang itu semakin menganga.

Bima sedikit menolehkan kepalanya ke belakang. Sudah jelas Wira lah yang sedang menyaksikan permainannya. Tersenyum miring. Ia tahu apa yang harus dilakukannya. Memainkan lagu itu. Ya! Lagu yang siap membuat jantung seorang pemimpin perusahaan besar berdegup kencang hingga lepas. "Saya tahu. Anda pasti rindu ini," ujarnya menyalakan benderang perang. Tangannya kembali menari-nari di atas tuts dan memainkan lagu yang paling Wira benci seumur hidup. Lagu yang berisi tentang kematian, kepahitan, kesakitan dan segala mimpi buruknya. Temponya semakin keras dan cepat. Bima memainkannya dengan penuh emosi yang selalu mengecamuki jiwanya.

Langkah Wira yang lebar cepat mendekat. "Cukup!" erangnya tidak ingin mendengarkan lagu itu. Tangannya kuat menutup penutup tuts piano.

Brak!

Membuat kesepuluh jari Bima terjepit dan menyisakan rasa sakit. Tidak hanya pada tangannya, hatinya pun kembali tertikam belati tajam. Haruskah ia melanjutkan peperangan ini atau menghentikannya dan cukup sampai di sini? Keduanya saling diam. Bima tetap diam dengan posisinya. Ia tahu, pasti jari-jarinya membiru karena penutup tuts piano itu. Rasanya seperti terjepit pintu, namun juga lebih dari itu.

Tidak ada patah kata lagi yang terlontar dari mulut Wira. Pria paruh baya itu kemudian beranjak pergi dengan rautnya yang begitu berbeda. Jika diartikan, mungkin sedang menahan segala emosinya. Ia juga merasakan kegamangan.

Saya sebenarnya cemburu. Tatkala Anda hanya selalu bisa membenci si bungsu.

Bima menarik tangannya yang terluka. Luka itu tidak seberapa sakitnya dengan goresan-goresan di dalam dadanya. Mungkin ini sudah saatnya ia untuk kembali melangkah menemui semesta. Tangannya kembali menenteng tas ranselnya. Berjalan menuju keluar rumah.

Tepat di teras rumah ia berdiri dan menyadari satu hal yang sudah terjadi. Sungguh, ia tidak menyadari saat jari-jarinya mulai menari-nari di atas tuts piano bak seorang pianis hebat. Lagi pula dalam seni musik ia tidak memiliki bakat sedikitpun, minat saja tidak. Namun saat Bama memainkan pianonya, ia akan berdiri paling depan, bersorak paling keras dan bertepuk tangan paling semangat. Ia menatap jari-jari tangannya yang membiru, entah apa yang terjadi, Bima masih belum mengerti. Piano dan nada-nada kebencian itu. Ia sangat tahu, Wira sangat membenci lagu itu. Lagu yang mengingatkannya pada hal .... Ah! Mungkin jika harus dijabarkan pasti jantungnya akan kembali robek seperti insiden puluhan tahun lalu.

Menghela berat. Langkahnya semakin keluar dari teras rumahnya. Membuatnya berpapasan dengan Cindy yang baru saja melintasi gerbang rumahnya. Cewek itu menatapnya dengan intens. "Mau pergi lagi ya?" tanyanya.

Bima diam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Gak lama. Temen gue lagi open trip ke Bromo."

"Berapa hari?"

"Cuma satu minggu."

Cindy mengangguk-angguk. "Cuma satu Minggu kan?"

"Iya."

"Gak lebih kan?"

"Gak."

"Beneran?" Dari pertanyaan ini, bisa Bima pastikan ada kecurigaan Cindy. Mungkin lebih tepatnya sebuah rasa kewaspadaan. Meski Cindy yakin, Bima pendaki yang handal, namun saat alam berkata lain, cowok itu bisa apa?

"Iya." Bima sudah jengah. "Mau nitip apa?"

"Cukup lo pulang dengan selamat. Gue udah seneng," jawab Cindy sungguh-sungguh. Matanya kemudian menyisir permukaan tubuh Bima seperti biasa, dari atas hingga bawah.

"Oke." Hanya itu sebagai respon atas kepedulian Cindy. Namun hatinya berkata lain, ada satu hal yang paling istimewa untuk ia bawakan kepada Cindy.

Mata Cindy seketika membulat tatkala dirinya menangkap jari-jari Bima yang terluka. "Tangan lo kenapa?" tanyanya sambil meraih tangan Bima.

Bima berdecak sebal. Tidak seperti biasanya, cewek resek yang berdiri di hadapannya ini berlaga peduli seperti sekarang ini. "Gak apa-apa. Udah lo sana sekolah," balas Bima menarik tangannya kemudian mendorong tubuh Cindy hingga cewek itu mundur beberapa langkah.

Tanpa harus Bima jelaskan pun. Cindy sudah tahu apa yang terjadi. Pasti pertengkaran antara Bima dengan Wira. Tapi untuk saat ini, ia belum mengetahui dengan jelas penyebabnya apa. "Jaga diri lo baik-baik. Gue cuma gak mau kita ribut lagi," ujar Cindy mengalah.

"Tumben."

Cindy memicingkan matanya pertanda bertanya.

"Waras."

Saat Bima melontarkan satu kata itu rasanya ia ingin segera meluapkan ubun-ubunnya yang memanas. Bima selalu saja menyebalkan. Cowok itu berlalu sambil tertawa puas.

"Bima. Gue udah berusaha buat damai. Tapi jangan salahkan gue kalo sewaktu-waktu gue nyiksa lo," ancam Cindy tidak main-main.

"DASAR IBU TIRI!!! HAHAHA," teriak Bima sambil berlari cepat agar terhindar dari terkaman buas dari seekor macan betina.

TBC...

DANKE SCHÖNWhere stories live. Discover now