DS 03 - Malam

5K 460 19
                                    

Bima menongolkan kepalanya, ada Wira di ruang tengah dan terlihat sedang diam menikmati secangkir kopi ditemani koran berita yang menjadi bacaan favoritnya. Tak lama kemudian Sarah datang, mengisi sofa di samping Wira, wanita paruh baya itu duduk menemani suami tercintanya.

Ragu-ragu Bima melangkah mendekati kedua orang tuanya. Jujur, ia merasa canggung. Apalagi awal Seninnya sudah ia rusak oleh surat dispensasi karena harus berurusan dengan perkelahian dan berakhir masuk ke ruang bimbingan. Ia kemudian duduk di kursi utama tepat di samping Sarah, Bundanya.

"Bundahara, Ayah," panggilnya berharap mendapatkan perhatian dari sosok yang ia sebut orang tua. Meski rasanya sangat mustahil.

Wira hanya melirik sekilas ke arahnya sebelum kembali fokus dengan bacaannya. Namun, Bima bersyukur, Sarah menatapnya penuh, "Sebelumnya Bima mau minta maaf. Bima dapet skorsing," ujarnya berterus terang. Ia memberikan surat panggilan orang tuanya pada Sarah.

Sarah menerima surat itu. Tidak ada patahan kata yang keluar meski untuk mengomelinya. Hingga pada akhirnya Bima memutuskan untuk kembali masuk ke dalam kamarnya. Tentu, bersama langkah kakinya yang hampa.

Ia menutup pintu kamarnya. Lantas memadamkan lampu. Gelap. Hanya ada sedikit cahaya yang masuk ke dalam ruang perseginya. Ia berjalan menuju balkon kamar, hanya ada kesunyian yang ia dapatkan.

Balkon kamar itu menghadap ke arah sisi rumah dan berhadapan langsung dengan balkon kamar milik Cindy di seberang. Rumahnya dengan cewek pujaannya hanya tersekat tembok pagar yang tingginya tidak lebih dari lima meter. Kemudian di samping balkon kamar milik Bima ada balkon kamar milik Bama yang memang kamarnya saling bersebelahan.

Ia lemparkan pandangannya ke arah balkon kamar di sebelahnya. Yang ternyata menampakkan si empunya sedang asyik menatap lurus ke depan, di mana balkon kamar Cindy berada. Tak lama kemudian cewek itu menampakkan dirinya dengan setelan baju tidur panjang.

Bima bergantian menatap Bama dan Cindy. Kemudian ia masuk ke dalam kamarnya. Menutup pintu balkon dengan rapat. Hal itu membuat Bama dan Cindy lantas bertanya melalui isyarat dalam sorot mata keduanya.

Bima berjalan menuju kamar Bama. Tanpa mengetuk pintu ia masuk begitu saja dan langsung menghampiri kakaknya. Sekilas pandangannya lurus menatap Cindy sebelum akhirnya menatap Bama.

"Bam." Bima memanggilnya, namun matanya ia lempar ke angkasa yang kala itu dipenuhi oleh bintang-bintang yang berpijar cerah.

"Hm?" sahut Bama sekenanya.

Bima diam sejenak. "Lo itu ibarat bintang dan gue langitnya. Dia ...." Ia menunjuk Cindy di seberang dengan tolehan wajahnya.

Bama mengikuti arah mata Bima.

"Ibarat matahari," lanjut Bima. Ia kemudian hening. Bama juga.

Beberapa saat mereka menikmati Tuan Orion yang berpijar terang menghiasi cakrawala. "Bam." Bima memanggil kakaknya lagi. Lantas ia menatap Bama dengan sorot serius.

"Lo sayang sama Cindy?" tanyanya kemudian.

Bama mengangguk. "Dia sahabat terbaik gue," jelasnya.

"Alasan terbaik?"

"Dia selalu ada buat gue. Lebih dari hadirnya lo yang selalu ilang-ilangan." Ucapan Bama sedikit lebih mengacu pada sindiran untuk adiknya.

Bima menghela napasnya. Sudah tidak ada lagi hal yang bisa ia jadikan alasan untuk membuatnya betah di rumah. "Gue juga sayang sama Cindy. Tapi sayang, dia hobi banget ngomelin gue." Bima mengalihkan topik pembicaraan. Lalu ia tertawa kecil.

"Bim. Boleh gue jujur sama lo?"

"Emang selama ini lo bohongin gue?"

"Bim. Serius."

"Gue juga serius."

"Ck!" Bama memalingkan wajahnya ke arah lain. Ia cukup malas jika sudah terjadi perdebatan dengan Bima, sekecil apapun itu.

Bima menatap Bama. "Gitu doang ngambek." Ia menyenggol lengan kakaknya.

Bama berdehem. "Sejujurnya. Gue iri sama lo." Tidak ada reaksi dari Bima, karena ia pun merasakan hal yang sama.

"Lo enak. Bisa pergi ke mana pun yang lo mau. Gunung, pantai, lembah, sungai. Bisa lo lewati semuanya," bubuh Bama.

Terdengar suara tarikan napas Bima, "Bam. Kalo semisalnya untuk mempertahankan sesuatu yang kita cintai, gak jarang kita harus ngerelain sesuatu itu."

Bama mengernyit. "Lo ngomong apa, sih?"

"Gue lagi gak ngomong apa-apa. Gue cuma takut aja, sewaktu-waktu lo pergi dan bikin semua orang sedih. Termasuk Ayah sama Bunda yang selalu menjaga lo ibarat menjaga berliannya supaya gak jatuh dan ... pecah. Gue takut aja hal itu terjadi. Gue ... gak akan siap."

Bama tersenyum. "Gue gak akan kemana-mana, Bima."

"Bam. Pegang janji gue. Gue gak akan ninggalin lo lagi." Tangan Bima terulur. Namun yang ia dapatkan pelukan erat dari Bama.

"Lo gak perlu berjanji. Lo cukup ada buat gue, buat Ayah, Bunda dan semuanya," ujar Bama menahan sesak di dadanya. Ia tahu, jika berjanji Bima pasti hanya akan mengingkari janjinya. Bukan berarti ia tidak percaya, hanya saja ia tidak ingin ada ingkar janji.

Bima hanya bisa menghela lagi. Mereka gak pernah liat gue, Bam. Gue bahkan rela kalo harus gantiin posisi lo cuma buat menarik perhatian mereka. Cuma lo yang perhatian sama gue. Ia melepaskan pelukan Bama.

Cindy yang berada di seberang seperti ikut terbawa suasana. Ia tersenyum mengarah pada si kembar.

"Cindy Cintaku! Kenapa lo belum tidur?" seru Bima dari tempatnya. Ia mulai beraksi usil.

"Nama gue Cindy Cantika. Jangan suka ngerusak nama orang, deh!" sahut Cindy cepat. Tentunya ia sebal dengan panggilan yang Bima ajukan untuknya.

"Si Bama yang minta! Bukan gue. Gue, sih, ogah jatuh cinta sama Ratu Kidul macem lo!" maki Bima berharap emosi Cindy tersulut.

"Heh! Raja Tokek! Tunggu pembalasan gue besok." Cindy mendengus sebal. Emosi yang diinginkan Bima malah tersulut tidak tertahankan.

"Ogah! Ratu Kidul bau!" teriak Bima lagi tak habis akal untuk memaki sahabatnya itu.

"BIMA!!!!" geram Cindy lantas melayangkan sandalnya dengan tepat ke arah Bima. Alih-alih mendapatkan timpukan sandal milik Cindy, Bima malah menangkapnya dengan mudah. Ia tersenyum, menyebalkan.

"Sandal lo jelek! Sama kayak orangnya!" maki Bima lagi. Sementara Bama malah asyik menahan tawanya, sebenarnya ia juga menikmati cek-cok antara adiknya dan sahabatnya.

"Inget! Besok pagi. Tulang-tulang lo gue patahin!" Cindy mengangkat tongkat besbol.

Bima bergidik ngeri. Kalau sudah begini pasti riwayatnya sebentar lagi akan tamat. "Siapa takut!" Ia malah menantangnya.

"Seneng amat lo gangguin dia," ujar Bama geleng-geleng kepala. Ia tertawa kecil.

"Biar sekalian ngomel," celetuk Bima cekikikan.

"Bama. Kalo lo ikut-ikutan Bima, gue pastiin nasib lo bakal sama kayak si Raja Tokek!" seru Cindy mengarah pada Bama.

"Jangan galak-galak kalo sama gue. Ntar gue cium baru tau rasa lo!" sahut Bama terbawa arus jahil dari adiknya.

"DASAR! SAMA AJA!!!" Cindy beranjak dari tempatnya dengan menghentak-hentakkan kakinya penuh kekesalan. Mood-nya yang semula damai berubah menjadi berantakan hanya karena seorang Bima. Ia menutup pintu dengan begitu keras hingga menimbulkan gebrakan.

Bama dan Bima saling melempar tatap puas. Terlebih Bama, yang baru kali ini ia bisa bersikap semenyebalkan ini. Ia terkekeh.

Sedangkan Cindy diam-diam mengintip mereka dari balik gorden jendela. Ia sungguh sebal kepada Bima. Ingin ia habisi Bima detik ini juga. Namun ia akui, semenyebalkan sikap Bima hatinya seperti sudah terpaku pada cowok itu. Ia menyukainya, tapi entah mengapa ia lebih nyaman saat berada di dekat Bama.

TBC...

DANKE SCHÖNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang