DS 19 - Rasa

4.4K 388 49
                                    

Sepasang mata Ray menoleh pada dua sohib kembarnya. Ia menatap Bama yang terlihat lebih redup lalu beralih menatap Bima. Mereka sedang berjalan menuruni tangga.

Mata Bima tertuju pada Ray untuk membalas tatapannya. Di samping Ray ada Gio, Cindy, Luna beserta para kacungnya. Semakin dekat langkahnya, sepasang bola matanya beralih pada Cindy yang terlihat begitu cantik di malam ini.

"Hai Cindy Cintaku," sapa Bima mulai jahil.

Cindy mendengus. Tapi ia senang karena akhirnya masih bisa bertemu dengan Bima. "Nama gue Cindy Cantika. Bukan Cindy Cintaku," sanggah Cindy sebal.

Yang lain tertawa, termasuk Bama yang sedang redup. "But, you my first love." Seketika tawa itu lenyap setelah Bima mengatakan hal itu. Semuanya bergeming. Hening.

Dan Cindy, cewek itu tengah menahan gugup serta debaran di jantungnya yang lebih keras dari sebelumnya. Ia tidak bisa berbohong. Ia pun merasakan hal yang sama dengan Bima. Namun ... "Tapi lo sahabat gue, Bim," ucapnya bodoh.

"I don't care," balas Bima tidak peduli dengan perkataannya juga dengan tempat yang kini sedang dipijaknya terlihat begitu ramai.

"Are you serious?" tanya Gio tidak menyangka. Di sebelahnya ada Bama yang mematung.

"Gue nggak pernah main-main soal ini," jawab Bima begitu mengejutkan.

"Bim, cukup," pinta Cindy yang entah mengapa merasa sakit saat mendengar pengakuan Bima.

"Gue nggak akan pernah cukup sebelum lo jadi milik gue," ungkap Bima.

Deg!

Bama merasakan jantungnya kembali berulah. Sakit. Yang didengarnya barusan begitu mengejutkan. Selama ini Bima tidak pernah benar-benar menunjukkan perasaannya pada Cindy, membuatnya semakin yakin untuk menumbuhkan perasaan lebih dari hanya sekedar sahabat.

"Bim, mending lain kali aja dibahasnya." Ray angkat bicara untuk menengahi. Karena ia tahu, keributan seperti apa yang akan terjadi jika Bima masih terus melanjutkan pembahasannya.

"Anter gue pulang, Ray," pinta Cindy ingin segera entah dari tempatnya berdiri.

Bima hanya diam mendengar permintaan Cindy.

"Ray!" pekik Cindy.

Ah, sudah terlanjur. Percuma Ray menengahi semuanya. Cewek itu sudah terlanjur kesal. Maybe, terhadap dirinya sendiri. "Oke," sahutnya singkat.

Cindy bergegas pergi. Namun langkahnya tertahan oleh tangan Bima yang meraih lengannya. "Acaranya belum selesai," ucapnya. "Maafin gue," tambahnya. Lantas berlalu meninggalkan Cindy juga teman-temannya.

***

Acara makan malam bersama sebentar lagi akan dimulai. Namun, Bima malah duduk menyendiri di taman halaman belakang rumah. Punggungnya bersandar pada sandaran kursi taman. Apa yang sudah ia katakan tadi? Semuanya terjadi begitu tiba-tiba. Apalagi saat perasaannya sudah tidak dapat ia tahan hanya karena melihat Cindy lebih cantik di malam ini. Juga rasanya tidak mungkin ia rela jika cewek itu menjadi milik orang lain, sekalipun Bama.

Cindy di malam ini benar-benar membuatnya yang sudah gila menjadi tambah gila. Ia mendesis dengan meremas rambutnya yang sudah tertata rapi. "Oke Bima. Lo udah janji buat nggak nyakitin Cindy," gumamnya sendiri. Ia menghela perlahan, berusaha menenangkan diri.

Tak lama, ia merasakan ada seseorang duduk di sebelahnya. "Yang lain udah siap. Yuk?" ajak Bama.

"I love her," ungkap Bima tidak memedulikan ucapan Bama.

Bama tersenyum. "No problem. Yang penting lo normal," jawabnya malah membuat Bima mendesis sebal.

"Gue serius Bama," kesal Bima semakin meremas rambutnya dengan gemas.

Bama tertawa. "Gue juga serius, Bim. Pengen banget sih lo gue seriusin. Lagian buat kita menikah itu hal yang mustahil," jahil Bama semakin membuat Bima kesal.

"Lah, kenapa nyampenya kesitu, Bambang?!" seru Bima gemas.

"Nama gue Bama bukan Bambang," jawab Bama masih tertawa.

Bima semakin mendesis sebal. "Bacot," rutuknya.

"Semua keputusan ada di tangan Cindy. Dia berhak memutuskan keputusannya dan lo wajib menghargai keputusannya," ujar Bama meluruskan.

Bima sudah malas menyahutinya. Namun yang dikatakan Bama tidak ada salahnya. Mungkin Cindy terlalu terkejut dan pasti cewek itu butuh waktu. Ah, ia bangkit lantas berlalu pergi meninggalkan Bama. Membuat Bama yang masih duduk di tempatnya menjadi geleng-geleng kepala. Tidak lama ia menyusul langkah adiknya.

Langkah Bima berhenti, meja besar dan panjang yang siap menyuguhkan berbagai macam makanan ada di hadapannya. Namun matanya bukan tertuju pada makanan di depannya, melainkan pada sosok gadis yang berada di hadapan meja tersebut. Sosok gadis yang sepertinya sedang marah terhadapnya. Bima melangkah, mengitari meja tersebut dan duduk di samping Sarah dengan menyisakan kursi untuk Bama.

Acara sudah di mulai. Kursi-kursi kosong di depan meja makan besar mulai terisi, termasuk Bama yang mulai duduk di kursinya. Wanita tua itu pun menduduki kursi utama. Ucapan sebagai sambutan mulai ia tuturkan sebelum akhirnya makan bersama disertai dengan obrolan ringan. Ia berterimakasih dengan hadirnya seluruh keluarganya serta teman-teman satu cucu tersayangnya yang rela meluangkan waktunya. Namun segala tuturnya hanya semakin membuat Bima merasa kosong. Bima melirik kursi utama di seberang meja yang pasti akan terisi oleh pria tua hangat itu. Ah, semuanya sudah berubah. Kakek sudah bersama Tuhan.

Punggungnya bersandar, tatapannya kembali hampa. Sedang, pikirannya jauh melanglang buana membuat seluruh ruang dalam benaknya kembali dipenuhi oleh hal absurd. Wanita yang kerap dipanggilnya Mama dalam bayangan mulai mengisi rongga ingatannya juga pria tua itu. Yeah! Bima harus segera mengontrol pikirannya. Ia tidak mau pesta ini hancur karena ulahnya.

"Sshhh." Bama menoleh saat terdengar suara desisan dari Bima yang berada di sampingnya. Adiknya sedang meremas rambutnya seperti yang sebelumnya ia lihat.

Rasa pening kembali menyerang kepalanya. Sekuat tenaga Bima tahan mati-matian, jika tidak pasti ia sudah kembali membenturkan kepalanya pada tembok atau meja di hadapannya.

"Bim," panggil Bama pelan.

Bima merunduk. Tangannya mengepal untuk ia ketuk-ketukkan di kepalanya.

"Bim. Lo nggak apa-apa?" tanya Bama memastikan di balik kekhawatirannya.

Bima mendesah sambil terus meremasi rambutnya, sesekali ia mengetuk-ngetukkan kepalan tangannya di kepala. Entah apa yang terjadi, ia merasa isi kepalanya sedang digrogoti oleh monster kecil yang ganas. Ia segera bangkit, lantas meninggalkan semua orang di sana. Rasanya sudah tidak dapat ia tahan lagi.

Tubuh Bima menghilang di balik tembok. Ia masuk ke dalam toilet dan menguncinya rapat. Sungguh, ia merasa kepalanya sedang dicabik-cabik. "AAARRRGGGHHH!!!" Di ruangan rapat dan tertutup itu ia berteriak keras, berusaha meredakan rasa sakitnya yang tiba-tiba menyerangnya dengan buas. Ia terjatuh dan merunduk, napasnya tersengal. Sesuatu seperti bergumul dalam rongga tenggorokannya, membuatnya ingin memuntahkannya.

Tubuh Bima tersentak bersamaan dengan cairan merah pekat yang keluar dari dua lubang hidung serta mulutnya. Ah, begitu menyakitkan. Darahnya berhasil mengotori pakaian serba putihnya. Membuatnya seperti terjebak untuk tidak menyembunyikan hal ini.

Dari luar terdengar gedoran pintu dan suara Bama yang terus-menerus memanggilnya. Bima tidak menyahutnya. Tubuh lemahnya ia sandarkan pada dinding. Ia merasa semua sudah waktunya kembali, mungkin dengan kembalinya ia dapat bertemu dengan bayang-bayang yang terus hinggap di benaknya. Tapi Bima tertawa kecil, ia merasa dirinya sudah gila. "Oke, Mom. I coming you," gumamnya. "But, I love her."

TBC...

DANKE SCHÖNWhere stories live. Discover now