CHAPTER 3

8.8K 365 80
                                    

Enjoy!
---

Jake berkali-kali membuang napas kasar serta menggelengkan kepala. Setiap kali otak sialan ini tak lagi disibukkan oleh pekerjaan, ia dengan kurang ajarnya selalu menampilkan bayangan sosok Vello di kepala Jake. Membuat kerja jantungnya kembali berberaian.

Aliran nadi Jake bahkan masih mengingat derasnya sentuhan tangan lembut dan bibir Vello yang mengecup hangat pipinya. Padahal Jake telah berusaha mengikis jejak itu dengan para wanita di tiap malamnya, namun jejak itu memang terlalu tangguh, tak pernah sebanding dengan sentuhan para wanita di luar sana.

Kedua ujung bibir Jake tertarik ke atas mengingat ketika Vello tertawa atau saat wanita tersebut menyunggingkan senyum yang tak pernah Vello sadari bahwa itu selalu memesona.

Vello, Jake begitu ingin memeluknya, ingin mendengar suara lembutnya lagi. Jake raih ponsel dengan cepat dan mencari nama Vello di sana, namun seketika jempolnya tertahan ketika hendak memencet ikon panggilan.

Tidak, tidak. Ia boleh melakukan ini. Sialan! Mengapa ia terus menginginkan Vello?

Jake mengusap wajahnya kasar, kemudian melarikan maniknya pada angka jam yang terdapat di ponsel. Ini sudah terlalu malam untuk menghubungi Vello dengan mencari alasan menanyakan aktifitas Liora. Keponakan cantiknya itu pasti sudah tertidur lelap.

"Vello ... Vello." Jake mendesah frustrasi. Ia jatuhkan tubuhnya di ranjang. Memejamkan mata sesaat, berharap dapat meredakan keinginan besarnya pada Vello, namun hal itu justru membuat otaknya semakin kuat mengambil segala memori yang sudah seharusnya tersimpan rapi dan kini muncul kepermukaan.

Ingatan Jake melayang pada kejadian empat tahun lalu ketika ia menjenguk Vello di rumah sakit, ketika wanita berambut golden blonde itu baru saja berhasil melakukan persalinan mandiri.

Jake masih mengingat suara lembut yang lolos dari bibir Vello.

"Berhentilah hidup seperti itu Jake. Apakah kau tak ingin mencari wanita yang dapat benar-benar mencintaimu? Menjagamu. Kau tahu bahwa di dalam hatimu merasakan kekosongan dalam hiasan kesenangan sesaat, bukan?"

Jake tersenyum tipis kala itu. Ia meraih jemari Vello masuk dalam genggamannya. Melempar candaan agar ia dapat melihat tawa Vello yang manis.

"Someday, I'm promise," kata Jake saat itu sembari mengusap punggung tangan Vello dengan ibu jari, sementara hatinya mengumpat, mengutuk diri, karena ia mulai menyadari bahwa wanita itulah yang ia inginkan untuk mengisi kehampaan hatinya. Jake hanya memberikan Vello janji kosong.

"Aku butuh seseorang untuk kuajak bicara," putus Jake seraya bangkit terduduk di ranjang. Jemarinya kembali lincah pada layar ponsel, lalu mengirim pesan pada Miles.

Sesungguhnya ia menginginkan Dexter untuk menjadi kawan bicaranya, namun bagaimana bisa hal itu terjadi jika yang menjadi topik pembahasannya nanti adalah istri Dexter? Jake benar-benar merasa brengsek pada sahabatnya sendiri.

Sesaat kemudian ia segera berderap pada walk in closet. Mengenakan kaus polos hitam dan jas kasual berwarna cokelat. Memilih deretan jam tangan koleksinya, menyemprotkan parfum dan menyempatkan untuk memperhatikan penampilan serta rambutnya sebelum ia keluar kamar.

Jake segera meninggalkan penthouse dan melajukan Ferrari F8 merahnya menuju Circle night club.

-----------------

Hingar-bingar dan dentuman musik segera menyambut langkah kaki Jake memasuki salah satu night club elit yang sering ia kunjungi.

Di sini, tak sembarang orang mampu untuk masuk. Hanya mereka yang memiliki kantong tebal, namun segala sesuatunya yang berada di dalam memang sangat layak untuk di hargai tinggi, termasuk para jalang yang berkelas.

Trapped By Obsession [END]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon