"Iya Non." Jawab Bi Sarmi seraya mengacungkan jempolnya. Bi Sarmi memberikan potongan apel yang baru saja dikupasnya kemudian menyuapkannya untuk Hana. Terkadang Hana merasa kalau orang tuanya adalah Bi Sarmi. Mengingat wanita paruh baya itu begitu perhatian terhadapnya. Bukan hanya sekedar ART dengan majikannya.

"Masih ada yang sakit nggak Non?" Tanya Bi Sarmi. Ia mengelus rambut panjang Hana dengan penuh kasih sayang lalu membenarkan letak pita kuning Hana yang semula miring.

"Badan Hana masih agak linu-linu. Tapi udah nggak papa kok. Kan kemarin habis dipijitin pangeran Hana." Ujar Hana. Gadis itu tersenyum senang mengingat semalaman Lukas menemaninya, memijatnya, melakukan apapun yang Hana suruh tanpa ada bantahan. Sempat terlintas di pikiran Hana untuk sakit selamanya saja.

"Non mah, kalau udah berhubungan sama Den Lukas suka lupa sama segalanya."

"Namanya juga cinta, Bi."

Bi Sarmi terkekeh, "Iya-iya yang lagi kasmaran."

Hana tersenyum, "Oh iya Mami ada telpon Bibi nggak?"

Bi Sarmi menggeleng, "Enggak Non. Kenapa? Non Hana kangen sama Nyonya?"

Hana menunduk sedih. Entahlah setiap mengingat Maminya Hana selalu merasa sedih. Hatinya terasa hampa, kosong, ambyar, semuanya bercampur menjadi satu. Hana bahkan sudah lupa kapan terakhir kali mereka menghabiskan waktu bersama.

Hana kembali meringsut tidur. Ia menarik selimutnya hingga sebatas dada. "Hana tidur dulu Bi. Pusing. Bibi pulang dulu aja, belum mandi kan?"

Awalnya Bi Sarmi ragu menyetujui saran Hana. Namun mengingat dirinya belum mandi dan masih mengenakan pakaian yang sama seperti kemarin akhirnya Bi Sarmi menuruti permintaan Hana.

"Yaudah Bibi pulang dulu. Kalau ada apa-apa langsung telpon ya."

Hana mengangguk lalu memejamkan matanya. Melihat itupun Bi Sarmi segera bergegas pulang. Setelah Bi Sarmi menghilang si balik pintu, Hana kembali membuka matanya.

"Mami....." Lirihnya.

                               *****

Hana tersenyum malu-malu. Tangannya bergerak memilin baju rumah sakit yang dirinya kenakan. Bibirnya ia gigit kuat-kuat agar tidak menimbulkan jeritan. Dihadapannya kini Lukas berdiri dengan membawa sebucket lily di tangannya.

"Kamu kenapa?" Tanya Lukas. Memang dasarnya cowok itu tidak peka. Cewek mana yang tidak senang jika dibawakan bunga?

"Nggak papa." Jawab Hana malu-malu.

"Kak Hana bapel kali." Celetuk Adel yang tengah asik memakan permen lolipopnya. Lukas menatap adiknya sejenak lalu mengangguk-angguk paham.

"Baper karena aku bawain bunga? Orang mati aja dibawain bunga, kenapa mesti baper?"

Jleb

Hana sontak mendongakkan kepalanya menatap Lukas tajam. Jadi cowok itu menyamakannya dengan orang yang sudah mati? Kurang ajar memang, pacar sendiri dikatai seperti itu. Hana menarik napasnya dalam agar tidak melemparkan umpatannya kepada Lukas. Ia mencoba untuk biasa saja dengan ucapan yang selalu dilontarkan cowok itu.

"Enggak. Aku nggak baper, Adel mah sok tahu." Ujar Hana akhirnya. Ia melirik ke arah bunga yang masih ditangan Lukas. "Lagian aku nggak suka bunga."

Kening Lukas sedikit berkerut lalu mengedikkan bahunya cuek. "Yaudah kalau nggak mau. Nanti bisa aku kasih ke Bi Sarmi."

Dasar nggak peka! -Batin Hana kesal.

"Bi Sarmi udah tua. Nggak mungkin dia mau, nanti kalau dia baper gimana?"

"Baper juga nggak papa."

"Terus aku gimana?" Tanya Hana disertai pelototan matanya.

"Tinggalin."

"Ish jahat!" Hana bersedekap dada. Wajahnya berubah masam dengan bibir cemberut. Bisa tidak Lukas bersikap manis saja satu hari penuh?

Lukas menepuk pelan puncak kepala Hana. Gadis itu selalu bisa membuatnya merasa geli dengan tingkah laku kekanakannya. "Makanya nggak usak sok gengsi."

"Biar kali-kali kelihatan aku yang nolak kamu."

Lukas terkekeh, "Nggak usah berperilaku kayak gitu. Aku udah terbiasa sama sikap kamu. Nggak perlu jadi orang lain kalau jadi diri kamu sendiri aja udah buat aku bahagia."

Hana benar-benar meleleh sekarang juga. Tatapan mata Lukas mampu menghipnotis dirinya. Hana memegang dadanya agar Lukas tidak mendengar detakan jantungnya yang berpacu cepat.

"Kenapa? Deg-deg an?" Tanga Lukas saat menyadari gerak gerik Hana.

"Adel juga seling deg-deg an kalau dipacal-pacalin sama Dewa." Celetuk Adel. Anak jaman sekarang memang kebanyakan pikirannya sudah tercuci oleh yang namanya cinta. Memang benar kalau cinta tidak mengenal umur. Buktinya saja, Adel yang bahkan baru berusia tujuh tahun saja sudah main cinta-cintaan.

"Dasar bocah." Gumam Lukas.

                               ****

"Na, gue rasa kalau kita baikan kayak gini tanpa ada penjelasan rasanya kurang lega deh." Ujar Rahel. Gadis itu tengah menyuapi Hana bubur.

"Gue sebenernya juga penasaran. Kenapa waktu itu lo sering berangkat pagi?"

Rahel tersenyum, dugaannya benar kalau itu adalah salah satu penyebab Hana menuduhnya. "Tapi Na, jangan kasih tahu siapa-siapa soal alasan gue ini ya?"

Sedikit kernyitan muncul di dahi Hana namun setelah itu ia mengangguk menyetujuinya. "Oke."

"Sebenernya, alasan gue selalu berangkat pagi itu karena gue mau ngasih bekal buat Reyhan." Ujar Rahel pelan.

Hana melebarkan matanya. Jadi sahabatnya ini suka diam-diam dengan Reyhan sahabat Lukas. "Jadi, lo-"

"Iya, gue suka sama Reyhan." Potong Rahel. Pipinya mendadak berubah warna menjadi merah.

Hana membungkam mulutnya terkejut kemudian menyemburkan tawanya keras. "Jadi lo sok-sok an nolak dia padahal sebenernya lo suka?" Hana kembali tertawa sambil memukul ranjangnya.

Rahel yang melihat itupun merasa kesal lalu membungkam mulut Hana yang masih mangap karena tertawa menggunakan sesendok penuh bubur membuat gadis itu tersedak tiba-tiba.

"Kampret lo."

Rahel terkekeh, "Beneran jangan bilang siapa-siapa oke?"

"Tenang aja." Jawab Hana dengan senyuman. Dia tahu kalau sahabatnya ini memiliki gengsi yang besar. Malu untuk terang-terangan menyatakan cinta. Tidak seperti dirinya yang bahkan tidak mempunyai urat malu.

"Terus soal mawar itu?" Tanya Hana ragu.

"Itu mawar pemberian Reyhan. Di taruh di laci gue." Jawab Rahel.

Hana mengangguk-anggukkan kepalanya. Jadi seperti itu ceritanya. Hana masih merasa bersalah akibat tuduhannya."Terus Hel, soal kertas warna merah yang gue lihat di tas lo?"

Rahel tertawa sampai matanya menyipit, "Lo lupa? Kita kan ada tugas buat bikin puisi di kertas warna? Nah berhubung gue suka merah, jadi gue pilihnya yang merah lah."

Hana menepuk jidatnya. Dirinya bahkan lupa kalau ada tugas Bahasa Indonesia. "Hel, maafin gue ya?"

Rahel mengangguk. "It's Ok. Yang penting sekarang udah baikan 'kan?"

Suara dering telpon membuat fokus Hana teralihkan. Ia mengambil telponnya yang berada di nakas lalu mengerutkan keningnya saat melihat nama Lukas Ganteng tertera di sana. Hana menggeleng tak percaya, ini kali pertama Lukas menelpon dirinya. Dengan jantung yang berdetak cepat Hana menekan tombol hijau lalu mendekatkan ponsel kearah telinganya.

"Hallo-"

"Hallo kak Hana, Kak Lukas malah-malah dan kabul dali lumah."

Suara Adel diseberang sana membuat Hana terkejut bukan main.

****

Salam,

Ia💓

HALU(Completed)Where stories live. Discover now