Bab 25

1.1K 38 0
                                    

Malika Adayya

Setelah beres mengurus Ibrahim, untuk mengejar waktu aku langsung ke dapur menyiapkan sarapan. Setengah jam lagi Ali akan berangkat kerja, maka dari itu aku membuat sarapan yang praktis. Di meja aku menghidangkannya dengan rapi. Hanya sepiring nasi hangat dan telur mata sapi, itu salah satu makanan cepat saji yang sedap. Ali datang saat aku menuang air ke gelasnya, dan aku  mempersilakannya sambil tersenyum.

"Maaf, hanya bisa masak telur mata sapi. Tadi keburu ngurus Ibrahim."

"Apapun itu aku menyukainya, Malika, asalkan kamu yang masak," jawab Ali.

Sambil tersipu aku meninju lengannya gemas, lalu ikut duduk di kursi yang kosong, tepat di samping Ali. Selama Ali menyantap sarapan aku memerhatikan wajahnya yang sejuk di pandang. Tentu saja berkat air wudhu yang selalu Ali jaga sepanjang hari. Ketaatan seorang alim dalam mengamalkan sunnah nabi memang suatu yang wajib. Mereka tak mengatakan sunnah itu dikerjakan berpahala, ditinggalkan tidak mengapa, tetapi hal yang menguntungkan akan rugi jika tidak diambil. Itu prinsip Ali.

"Keliatannya kamu juga lapar." Lelaki hebat yang berhasil mengambil hatiku itu menegur, menyadarkanku.

"Tadinya aku lapar, tapi sekarang aku sudah kenyang." Dengan alis bertaut Ali menatapku jeli, dan aku terkikik geli. "Cukup dengan memandangmu aku sudah kenyang, Li. Sungguh!"

Mati-matian Ali menahan tawanya, aku bisa melihat itu, lalu dia berkata. "Sejak kapan kamu pintar menggombal?"

"Hmm, mungkin sejak aku jatuh cinta pada lelaki yang menatapku bidadari, dan memperlakukanku seperti ratu."

Ali tidak berkata-kata. Senyumannya melebar, lantas mengusap kepalaku. Tanpa bertanya lagi Ali mengambil sejumput nasi menggunakan tangan, kemudian menyuapiku dengan baik. Sambil mengunyah aku menatap Ali, mengagumi kelembutannya yang tak aku dapatkan dari siapapun, termasuk Mas Ghibran. Bukan berarti beliau tak lembut, aku tak bermaksud demikian. Setiap lelaki itu mempunyai cara dan kelembutan yang berbeda-beda dalam menunjukkan cintanya pada sang istri. Sejauh yang aku rasakan Ali lebih bisa membuat hatiku terbang ke angkasa.

"Astaghfirullah! Ya Allah, Malika ..." Tiba-tiba saja Ali memegang kepalanya, menyebut namaku dan minta tolong. "Kepalaku sakit, tolong."

"Astaghfirullah! Apa yang harus aku lakukan, Li?" tanyaku sangat panik.

Pasalnya Ali tampak sangat kesakitan, dengan kedua tangan yang memegang kepala, bahkan dia meremasnya. Aku tak pernah melihat Ali seperti ini dari semenjak menikah. Hanya saja Abi dan Umi sempat memberitahuku jika Ali ada pernyakit yang serius. Air mataku mengalir dengan sendirinya melihat Ali yang biasa gagah, kini dia menderita.

"Telpon Abi dan Umi," katanya terbata.

Dengan cepat aku merogoh ransel yang Ali pakai, dan mengeluarkan ponselnya mencari kontak Abi. Pada sambungan pertama Abi mengangkatnya, dengan begitu aku pun menjelaskan kondisi Ali yang memprihatinkan. Posisinya Abi kebetulan belum berangkat kerja, dia memberikan telepon pada Umi yang terdengar sudah menangis ketakutan. Umi memberikan sepatah kata untuk melakukan yang terbaik selama beliau belum datang bersama dokter syaraf.

"Istighfar, Li." Aku memapah Ali jalan menuju kamar, berusaha untuk tegar.

Sambil membaca sholawat aku memijat pelan pelipis Ali yang telah berkeringat dingin. Lelaki itu hanya terpejam rapat dengan ringisan kecil, dan aku paham jika dia menahan sakit. Meski aku tak tahu apa penyakitnya, yang jelas aku mengerti jika ada ganggungan syaraf. Sesaat Ali mulai agak tenang, tidak lagi berteriak kesakitan, aku mengambilkan air untuknya supaya menghilangkan seret. Aku baru ingat jika kami belum ada minum tadi saking paniknya.

"Minum dulu, Li," pintaku, membantu Ali duduk, lalu memberinya minum.

"Malika ..." lirihnya, dan menggenggam tanganku penuh arti. Aku tersenyum.

"Iya, aku di sini." Membelai kepalanya.

Saat Ali hendak berbicara perhatianku teralihkan mendengar si kecil Ibrahim menangis. Maka, dengan terpaksa aku meninggalkan Ali, menuju anak kami yang sudah koar-koar. Menimangnya cepat, aku pun membawa Ibrahim ikut serta, kembali mendekati Ali. Sungguh bersyukur Ali tak mengalami serangan lagi, hingga terdengar ketukan pintu.

"Pasti Abi dan Umi. Sebentar ya, Li, aku bukakan pintu." Setelah Ali memberi izin, aku pun beranjak ke arah pintu.

Abi dan Umi datang bersama seorang dokter. Saat Abi mengambil Ibrahim, aku menceritakan keadaan terkini Ali yang sudah membaik. Umi langsung menyarankan dokter agar memeriksa Ali, didampingi oleh kami kecuali Abi. Selama diperiksa Ali tak berkata apa pun, dia hanya diam dengan pikiran entah ke mana. Namun, sebagai istri aku sangat memahami perasaannya, dan Ali tampak sedikit berbeda. Aku terus di sampingnya sambil berbisik jika semua akan baik-baik saja. Saat dokter sudah selesai, Umi mengajak duduk di luar tanpa mengajakku ikut.

Jadi, aku berpikir tidak dibutuhkan, di sini tugasku hanya menemani suamiku.

"Mau minum?" tawarku saat Ali mulai melirikku. Tidak mengabaikanku lagi.

"Apa kamu akan meninggalkanku?"

"Kenapa kamu bertanya seperti itu?" Suaraku terdengar bergetar, aku tak menyangka Ali bertanya demikian.

"Aku sakit, Malika, kamu pasti akan pergi meninggalkanku setelah tahu." Ali membuang muka. Dia menghindar saat aku berusaha menjangkaunya.

Ya Allah! Apa cobaan yang Engkau beri untukku belum berakhir? Aku hanya bisa menangis melihat sikap acuh Ali yang tidak biasa. Rasanya baru saja kebahagiaan itu hadir, bahkan kami beberapa saat lalu saling bercanda. Di saat aku hendak pergi Umi tiba-tiba datang menahanku, membisikkan sesuatu yang membuat egoku hilang.

Umi merangkulku mendekati ranjang kembali, di mana Ali masih terbaring. Tak lama dokter menyusul kami, dan dia memberikan selembar kertas yang berisi resep obat. Umi yang menerima kertas itu, sementara aku masih diam. Perubahan sikap Ali yang drastis cukup membuatku terenyak. Aku sakit hati.

"Resep obat ini hanya untuk penenang, bukan mengobati. Tebus obatnya, dan berikan pada Ali setiap kali mengalami serangan." Dokter menjelaskannya.

"Apa tidak bisa sembuh, Dok?" tanyaku.

"Untuk kesembuhan secara total saya anjurkan Ali menjalani rehabilitasi. Obat-obatan yang Ali konsumsi dulu memang tidak langsung membunuh, cara kerjanya bertahap sehingga dia baru merasakannya sekarang. Syaraf bagian depan kepalanya bermasalah, dan untuk kepastian kita bisa ronsen."

"Obat-obatan?" Aku bertanya-tanya.

"Dok, tapi waktu itu Ali masih terlalu kecil." Wajah Umi menegang. Pucat.

"Justru Ali masih kecil, Bu. Dia tidak begitu tahu jenis obatnya, seberapa tinggi dosis obatnya, sampai efeknya. Sehingga Ali mungkin mengkonsumsi terlalu banyak dan berlebihan. Ibu tentu tidak tahu apa saja yang Nak Ali lakukan saat di luar rumah, bukan?"

Umi tidak bisa berkata-kata, sementara aku juga tidak jauh beda darinya. Aku cukup memahami jika telah terjadi sesuatu pada masa lalu Ali, terkait salah pergaulan. Kabar ini tentu terdengar menyakitkan bagiku, tapi aku begitu yakin jika dulu itu sebuah kesalahan. Demi Allah! Tidak sedikit pun aku mempersalahkannya, apalagi pergi meninggalkan Ali setelah ini. Tidak.

"Umi jangan risau. Malika janji akan selalu menemani Ali dalam suka dan duka. Malika yang akan merawat Ali sampai sembuh. In sya Allah. Tak ada penyakit yang tidak Allah turunkan obatnya. Ali pasti bisa sembuh." Aku berusaha menyakinkan Umi. Sebagai seorang ibu aku bisa merasakan apa yang Umi rasakan. Dia begitu sedih.

Di luar dugaan, Umi yang biasanya tak pernah mau memelukku, kini wanita itu mendekapku erat. Sambil menangis beliau mengucapkan terima kasih.

Istri Idaman ✓Where stories live. Discover now