Bab 5

1.7K 61 2
                                    

Perbaikilah dirimu dari sisa umurmu, niscaya Allah akan mengampunimu atas dosa-dosa yang engkau tinggalkan di masa lalu. Karena sungguh jika kamu tetap berbuat buruk dari sisa umurmu, niscaya kamu akan disiksa dari dosamu di masa lalu dan di sisa umurmu.
(Jaami'ul 'Uluum Wal Hikam)

***

Waktu berlalu begitu cepat, tidak terasa sudah sepekan Ghibran meninggalkan kami, rasanya seperti baru kemarin aku bertemu dengannya di ponpes Al-Amin. Kematian pasti terjadi, semua makhluk yang bernyawa akan mengalami cepat atau lambat. Kepergian kerabat, sanak keluarga, hingga orang tua kita sendiri itu menjadi pertanda bahwa Allah tak ingin hambanya berpulang tanpa amal. Ini sebagai teguran untuk semua orang yang ditinggalkan agar mengingat mati, lantas mengumpulkan bekal di dunia.

Kupanjatkan doa terbaik untuk sahabat dunia dan di akhirat kelak tepat di atas makamnya, Ghibran Al Syakur, seluruh kebaikan hatimu akan selalu kukenang, beserta ilmu dan pesan yang senantiasa engkau ingatkan ketika imanku goyah. Tanpa kehadiran Ghibran mungkin aku tak akan bertahan hingga detik ini, dari dirinya aku temukan tujuan hidup yang sebenarnya, memperbanyak ibadah di jalan Allah sampai ajal menjemput kita.

"Sahabatku, di mana pun kamu berada, aku percaya Allah selalu bersamamu." Acap kali aku mengulang kalimat yang sama, menyakini bahwa Ghibran telah berada di surga Firdaus bersama Allah.

Mengusap batu nisannya, tiba-tiba aku teringat perasaanku terhadap Malika. "Maafkan aku Ghib, telah menaruh rasa pada Malika istrimu, kuakui aku salah."

Tetapi, jika Allah mengizinkanku, maka dari sekarang aku berjanji semampuku akan menjaganya, menyayanginya, dan menghargai bak berlian yang berharga. Memuliakan sebagaimana Rasullullah terhadap istrinya, mengambangi segala kekurangan dirinya dengan senyuman. Tidak pernah sekali pun aku kepikiran merebut Malika dari Ghibran, namun mengingat keadaan yang tak lagi sama aku siap menggantikan karena Agama.

"In sya Allah, aku siap menggantikanmu, menanggung seluruh dosa Malika, serta mengasihinya, menyayanginya dengan segenap hatiku beserta anaknya nanti." Janjiku pada diri sendiri, pada Ghibran, tentunya juga berjanji kepada Allah.

Sepulang ziarah aku berencana hendak menceritakan niatku pada kedua orang tuaku, meminta doa restu Abi dan Umi sebelum mengunjungi Ustadz Yusuf. Di ruang keluarga ternyata sudah ada Umi menunggu, rupanya amat bersemangat menyambut kepulanganku, dari kamar Abi bergabung dengan raut semringah. Melihat ekspresi gembira kedua orang tuaku membuka peluang untuk diriku berterus terang, aku menyalim tangan keduanya bergantian setelah memberi salam. Kemudian duduk dengan gugup.

"Abi, Umi ..." lirihku sedikit bergetar.

"Ali, sepertinya kamu tampak gugup?"

"Afwan, Umi, Ali hanya kurang percaya diri untuk satu ini." Kupejamkan mata sebentar, mengumpulkan keberanian. "Ali ingin menikahi shalihah Malika."

Kebahagiaan di wajahnya Abi dan Umi seketika hilang, berubah menjadi ketat, menatapku tajam seakan marah besar. Kendati, Umi jarang sekali marah pada anak-anaknya, aku dan Ghibran, ketika ia mulai melotot tanda dirinya kecewa. Di sini aku tidak menampik akan dapat reaksi seperti ini, aku tahu Abi dan Umi tidak menyukai latar belakang Malika, bahkan keduanya tak sudi menghadiri acara pernikahan Ghibran tempo lalu.

"Bukankah kamu ingin fokus menuntut ilmu dengan menolak jodoh pilihan Abi dan Umi? Kenapa sekarang malah ingin menikahi istrinya almarhum Ghibran?" Umi bertanya, masih menatapku tajam.

"Ya, Umi, setelah Ali pikir tak salahnya Ali menggantikan Ghibran, mengingat Malika sekarang tengah hamil, ia pasti butuh pedamping untuk bertahan."

"Ali, jangan bercanda! Kini Abi dan Umi sudah menanggung malu membatalkan mengkhitbah putri Kyai Bahrun dengan alasan kamu yang hendak fokus belajar agama, jangan membuat semuanya lagi runyam, apa lagi yang ingin kamu pilih Malika. Kamu jelas tahu Umi tak setuju Ghibran menikahinya karena ia awam. Ilmu agamanya tak ada, jika dibanding dengan Shofia, tentu saja sangat jauh."

"Astaghfirullah, Umi."

"Apa yang dikatakan Umi benar," lanjut Abi mendukung penyataan kejam Umi.

Ya Allah! Rasanya ingin sekali melawan Abi dan Umi, meluruskan pikiran keji mereka dari hasutan Syaiton terkutuk. Tapi akalku menentang, aku mengalah, memutuskan ke kamar guna meredam kekecewaanku pada orang tua sendiri. Bagaimana bisa iman seseorang diukur dari pendidikannya? Latar belakang? Kefanatikkan Abi dan Umi oleh agama ini terkadang disalah artikan, takabur.

Lagi, aku percaya jika Ghibran banyak mengajari Malika ilmu agama setelah pernikahan mereka yang berlangsung kurang lebih lima bulan, itu pasti jelas. Pun Malika seorang istri yang penurut, Ghibran sempat menceritakan padaku bahwa dirinya begitu mematuhi suami. Sekalipun Ghibran tak memberitahuku, aku bisa melihat perubahan Malika, di mana penampilan dan sikapnya yang cenderung jauh lebih sopan. Tertutup.

"Ali, ada temanmu yang datang!" Suara Umi terdengar dari luar, aku langsung beranjak dan berlalu ke teras depan.

"Assalammu'alaikum, Li." Abdul bangkit dari duduknya, kami berjabat tangan.

"Wa'alaikumsalam," jawabku ramah.

Kemudian aku mempersilakan duduk kembali, tetapi Abdul menolak halus. "Afwan, Li, aku sedang buru-buru, aku datang hanya menyampaikan amanah dari Ustadz Yusuf, beliau berpesan agar kamu menemuinya setelah ba'da isya."

"Syukron, in sya Allah, aku datang."

Kami pun berjabat tangan kembali saat Abdul pamit pulang, ini memang takdir Allah, rencananya yang tertulis rapi. Di saat aku baru berencana mengunjungi, beliau ingin aku menemuinya, dan aku tak menyiakan kesempatan berbicara. Mengutarakan niat berikut masalahku, kemungkinan besar Ustadz Yusuf bisa membantu, dia konsultan terbaik kami.

Sore ini kebetulan ada kajian di ponpes, Abdul sempat mengatakannya tadi, aku akan pergi lebih awal sembari mencari celah dari situasi tegang di rumah. Umi juga tak banyak tanya ketika aku pamit, sepertinya dia benar-benar marah. Saat Ghibran pernah berada di posisiku, aku dulu menyemangatinya, tapi sekarang aku harus menghadapinya seorang diri.

"Lama tak jumpa, Li, apa kabar?" tanya seseorang di sampingku, aku menoleh.

"Hasan? Alhamdulillah, bikhoir."

"Alhamdulillah, kabarnya bulan depan kamu akan ke Kairo, ya?" tanyanya lagi.

Cukup lama aku terdiam, memikirkan jawaban yang layak kuberikan, malah satu pertanyaan yang terlontar dariku. "Kamu tahu dari siapa?"

"Aku tahu dari Kyai Bahrun."

Oh, ternyata Umi benar, alasanku yang hendak fokus menuntut ilmu Agama di mana-mana sudah menyebar. Rasanya tak mungkin jika aku menikahi Malika setelah menolak perjodohan itu, bukan soal Abi dan Umi, tapi apa kata orang? Aku belum siap mendengar gunjingan orang-orang pada Malika, sudah terlalu banyak cobaan yang harus dia terima.

Saat Ustadz Imran membuka ceramah, perhatian Hasan teralihkan, tidak lagi menunggu jawabanku, kami semuanya mendengar tema kajian hari ini dengan khidmat hingga selesai. Tak berselang lama waktu magrib tiba, aku langsung mengisi podium menyegerakan adzan.

"Allahuakbar, Allaahuakbar!"

Selepas qomat aku mundur mengisi saff yang kosong, mendirikan sholat magrib berjamaah di masjid pondok. Seusainya aku sengaja tetap tinggal, duduk bersila dengan kedua tangan tengadah ke atas memanjatkan doa. Memohon petunjuk.

"YaAllah, hanya engkau-lah yang maha tahu segala perasaan setiap hambaMu, yang selalu meminta petunjuk darimu sampai mata ini tidak lagi terbuka. Di rumahMu aku memohon dan meminta, berikanlah hidayah kepada orang tua hamba, bersihkan hatinya dari seluruh sifat tercela, ampunilah Abi dan Umi. YaAllah yaa Tuhanku, hanya kepadaMu hamba berserah diri, ikhlas menerima apa pun suratan takdirMu untuk diriku. Hanya satu pinta ini yaAllah, berikan Malika ketabahan dalam menghadapi cobaan, lindungi dia dari marabahaya, dan kirimkan pengganti yang terbaik."

Aamiin Allahuma'aamiin, batinku lirih.

Istri Idaman ✓Where stories live. Discover now