Bab 22

890 41 0
                                    

Malika Adayya

Setiap hari ahad Ali selalu membawaku mengunjungi rumah Abi dan Umi. Aku sangat bahagia setiap kali Ali mengajak menemui kedua orang tuanya, ini entah sudah yang ke berapa kalinya, tapi aku percaya jika suatu saat nanti keduanya akan menerimaku. Dengan sering berkunjung dan bertemu aku berharap banyak bisa dekat oleh mertuaku. Umi. Bagaimana pun beliau ibunya Ali dan Ghibran, sebagai menantu aku sangat menghormatinya, bahkan ingin dekat.

Kali ini aku khusus membuat makanan kesukaan Abi, ikan asam manis. Bagiku tak sulit karena Ali juga menyukainya. Aku cukup sering memasak itu, dan Ali mengatakan jika masakanku sedap. Sambil menggendong Ibrahim, aku pun menenteng dua bungkusan. Satu untuk Abi, yang lain untuk Umi. Kami tidak lupa membelikan Umi martabak manis.

"Assalammu'alaikum." Ali memberikan salam, sementara aku di belakangnya.

"Wa'alaikumsalam," jawab Umi dari dalam, lalu membukakan pintu. "Oh, Ali, ayo masuk!" Umi mempersilakan.

Kami pun masuk, duduk di atas tikar yang baru saja Umi gelar. Abi belum pulang dari mushola. Sesaat Ibrahim diambil oleh Umi, aku membuka buah tangan kami, menghidangkannya di atas meja. Meskipun Umi belum bisa menyukaiku, dia sangat menyayangi Ibrahim. Umi kelihatan ceria selama memomong cucunya Syah Ibrahim.

"Ibrahim sudah makan belum?" tanya Umi padaku, sambil membelai pipinya.

"Sudah kok, Mi, jam sepuluh tadi."

"Makan siang belum berarti?"

"Sore aja, Mi, sekalian. Tadi juga nggak pagi banget ngasi makannya. Kalau rewel ya tinggal disusuin Malika aja." Ali mendahuluiku yang hendak jawab, dia seakan tahu istrinya sedang gugup.

Umi mengangguk paham. Senyumnya masih melebar dengan kedua tangan yang tidak bisa diam mentowel wajah lucu Ibrahim. Apalagi Ibrahim terus mengoceh, maka siapa saja melihatnya akan merasa geram. Aku terkekeh geli, sementara Ali hanya menggeleng kecil.

"Umi, ini dimakan martabaknya, mumpung masih hangat," kataku.

"Iya, taruh saja, Umi masih kenyang."

Meski kecewa aku tetap tersenyum. Di sampingku tidak lama Ali mengambil sepotong martabak, memakan dengan lahap seolah-olah tawaranku berarti. Perbuatannya yang sederhana, tetapi terasa manis. Ya Allah! Dia memang lebih romantis daripada Mas Ghibran. Umi sampai melirik penasaran ke arah kami yang saling melempar senyum.

"Malika, ahad depan bisa bantu Umi tidak?" tanyanya kemudian.

"In sya Allah, bisa. Bantu apa Mi?"

"Ahad depan kan mushola ngadain taklim bulanan, jadi Umi ada berniat masak makan siang untuk jamaah." Umi menjelaskan hajatnya, aku amat semangat ingin segera menunaikan. "Kebetulan yang ngisi Ustadz Adam, suaminya Shofia. Sudah lama Umi tidak bertemu dengan Shofia, jadi Umi ingin menjamunya. Kalian sudah tahu belum? Shofia sudah hamil lho."

Ekspresi Umi sulit aku jelaskan. Beliau tampak melirik Ali, lalu menatap sinis ke arahku. Apa hubungannya dengan aku dan Ali berita kehamilan Shofia? Astaghfirullah! Aku hanya bisa istighfar seraya mengelus dada. Sejak kejadian waktu itu, hubunganku dengan Shofia tak ada masalah, bahkan kita berteman baik dan sering bertemu di Pondok saat ada acara. Akan tetapi, Umi selalu saja membandingkan diriku dengan Shofia, yang terkesan memojokkan sampai merendahkan. Tidak menyenangkan.

"Alhamdulillah, berarti sebentar lagi Shofia akan menjadi seorang Ibu." Ali tiba-tiba menyahut, lalu merangkulku. "Tapi bagi Ali tidak ada yang seperti Malika. Dia sudah menjadi seorang Ibu yang hebat bagi anak kami Ibrahim."

Hatiku kembali menghangat. Ali paling bisa membuatku merasa berharga melalui kata-katanya, sedangkan Mas Ghibran lebih kepada perbuatan, dia cenderung kaku soal merangkai kata. Ya Allah! Aku sangat beruntung telah dimiliki keduanya. Berkat pembelaan Ali, Umi jadi enggan membalasnya lagi. Kebetulan Abi juga sudah kembali.

"MasyaAllah, cucu Kakek sudah datang, dan kelihatan semakin besar aja ya." Abi tampak antusias melihat Ibrahim.

Terlebih sang cucu sangat mengenali kakeknya. Dia juga tidak kalah antusias. Di pangkuan Umi dia sudah kegirangan dengan kedua tangan mengarah pada Abi, seakan minta diangkat. Sang kakek langsung menggendong Ibrahim, lalu membawanya main ke luar. Sementara Abi pergi, Umi ke dapur menyiapkan makan siang. Aku pun mendekati Ali.

"Kamu nggak boleh gitu, Li, sama Umi." Aku menatapnya lekat, Ali mengendik. "Umi wajahnya sampai tegang begitu."

"Kamu nggak suka aku bela?"

"Ali, aku bukannya nggak suka, tapi ini khusus pada Umi. Kamu jangan sampai berlebihan membelaku seperti tadi."

"Aku berkata apa adanya, Sayang."

Kuurungkan jawabanku saat melihat Abi telah kembali dengan Ibrahim.

Di sebelah Ali beliau duduk, menatapku yang berada di hadapannya tajam. "Kenapa tangan Ibrahim bentol-bentol merah begini? Tidak becus kamu."

Astaghfirullah! Apalagi ini? Aku sontak memeriksa pergelangan tangan si kecil Ibrahim lebih intens, dan menemukan dua bintik merah. Untuk masalah yang satu ini Abi memang lebih jeli. Beliau akan memarahiku jika melihat cucunya digigit nyamuk walau hanya satu bintik kecil. Ali tetap diam, tidak merespons.

"Iya, Bi, sepertinya tadi digigit nyamuk waktu Malika tinggal nyuci," jawabku.

"Kok kamu kebiasaan sih main tinggal anaknya sendirian?!" Nada Abi naik.

Saat Umi muncul tatapanku mengarah padanya, seakan menantikan celotehan selanjutnya. Dia berjalan tergesa-gesa dan bertanya. "Ada apa ini ribut-ribut?"

"Coba deh liat, Mi. Masa tangan Ibrahim bentol-bentol begini."

Seakan ingin memastikan Umi meraih Ibrahim, ditatapnya lekat-lekat. Tidak lama wanita itu berdecak, mengagumi kejelian Abi yang melampaui batas.

"Sudah Ali balurin minyak angin kok." Akhirnya Ali bersuara juga, mungkin merasa kasihan melihat aku ditekan.

"Lain kali kamu harus lebih waspada ngejaga Ibrahim, Li, nggak kasian apa kamu liat anak bentol-bentol begini." Abi mulai menasihati Ali, sementara aku menunduk. Enggan berkata apa.

Syukurnya Umi tak ikut memperbesar masalah. Dia fokus menghidangkan makanan. Melihat itu aku langsung membantunya, berusaha mengambil perhatian Umi sekaligus mencari celah kabur dari Abi. Kami pun makan siang bersama. Aku terus tersenyum melihat Ali dan Abi yang makan begitu lahap, menghabiskan ikan asam manis yang kumasak. Sesederhana itu, aku bahagia.

Kami memang selalu makan bersama seminggu sekali. Ide ini dari Ali, yang disetujui oleh kami semua. Sekalipun suasana yang aku dapatkan tak selalu baik, tapi entah kenapa aku bahagia. Kesinisan Abi dan Umi mendorongku untuk lebih intropeksi diri. Keduanya bagaikan motivator terselubung yang menginginkan kebaikan atasku. Jadi, seketus apapun ucapan mereka tidak pernah aku masukkan ke dalam hati. Rasanya hanya sakit sesaat, lalu hilang.

"Ahad depan kita masak ikan asam manis saja ya?" tanya Umi padaku.

Tanpa ragu aku pun mengiyakan. Abi mengangguk antusias, sedangkan Ali hanya mengacungkan jempol. Mereka sangat kompak kalau soal ikan asam manis. Dari tempatnya Umi memberi kode kepadaku agar mengganti menu.

"Hmm, Umi, bagaimana kalau kita bikin nasi kuning saja? Sepertinya akan lebih praktis dan cepat."

Baik Abi maupun Ali menggeleng, dan berkata. "Ikan asam manis saja."

"Saran Malika boleh juga, mengingat keganasan Abi dan Ali kalau makan ikan asam manis, Umi pastikan satu kuali tidak akan cukup. Hahahahaha."

Mendengar tawa Umi yang pecah. Abi, Ali, dan aku jadi merasa geli. Kami pun ikut tertawa, tepatnya menertawakan suara tawa Umi. Keluarga yang sakinah.

Istri Idaman ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang