Bab 20

988 38 0
                                    

Muhammad Ali

Sepulang dari rumah Kyai Bahrun aku terduduk di depan rumah. Kejadian yang baru aku lalui beberapa saat lalu mengingatkanku pada mimpi itu. Satu per satu kejadiannya secara bertahap aku alami. Pikiranku terus menelaah arti mimpi tersebut. Ketika aku kekeuh meneruskan kemana hatiku berlabuh, tentunya aku tak ingin terjebak seperti di dalam mimpi. Kembalinya Ghibran seakan-akan menggoyahkan tekadku, di mana aku merasa bunga tidur yang menghampiri semua bagaikan nyata.

"Untungnya Kyai Bahrun bukan orang biasa. Kalau beliau seperti kebanyakan orang, dia pasti akan marah besar." Di sampingku Umi mengomel. Ternyata Umi belum menerima keputusanku.

Aku enggan menjawabnya, dan tidak berniat pergi juga sampai Abi datang menyusul. Kami baru saja pulang dari rumah Shofia menyampaikan dengan baik keputusanku yang sudah mantap. Tidak sedikit pun pihak keluarganya sakit hati, bahkan Shofia tampak biasa saja atas penolakanku. Dia memang wanita shalihah yang berilmu luhur.

"Sudahlah, Mi, orang anaknya nggak mau ya gimana lagi. Kita hanya bisa mendukung pilihannya," sambar Abi.

Umi mengangguk, kulihat wajahnya berubah sendu seakan menahan hal. "Umi tak tahu harus berkata apa pada Kyai Bahrun, keputusanmu berkuliah di Kairo tentu alasan yang masuk akal dan bisa dimaklumi. Tapi, bagaimana jika beliau tahu kamu malah menikah dengan Malika? Umi sangat bingung."

Sontak aku tertegun. Menatap Umi di sampingku dengan ingatan yang ada. Perkataannya sama persis dengan di mimpiku. Tak bisa menahan lagi aku memegang kepala yang rasanya ingin pecah. Bisikan-bisikan dari segala arah turut menyiksaku tanpa jeda. Melihat aku kesakitan Umi dan Abi langsung mendekatiku dan bertanya, yang tidak bisa kujawab sekarang. Mereka tampak cemas bahkan Umi sampai menangis, sementara Abi menelepon seseorang.

"Ya Allah, Nak, maafin Umi," katanya di sela tangis. Tangan halusnya terus membelai rambutku yang kusut masai.

"U-mi sakittt." Akhirnya aku bersuara.

"Apanya yang sakit, Nak? Bilang sama Umi." Dengan penuh kelembutan Umi mengelus lenganku. Matanya tersirat kecemasan yang begitu dalam.

"Kepala Ali, Mi, sakittt. AAAA." Di luar kendali aku berteriak, sungguh sakit.

"Ya Allah, istighfar Nak." Umi semakin panik. Berusaha memijat kepalaku, tapi aku menolaknya sambil meringis kuat.

Astagfirullah! Ada apa dengan diriku? Rasanya kepala ini seolah-olah tengah mengangkut beban yang cukup besar. Seperti ingin meledak. Aku tak berhenti beristighfar dipandu oleh Umi. Tidak lama Abi selesai menelepon, kemudian menghampiriku dan Umi. Khawatir.

"Sabar ya, Nak, sebentar lagi dokter datang. Kita bisa tunggu di dalam." Dengan cekatan Abi membantu jalan, sementara Umi sudah menangis. Tak tega melihat anaknya amat kesakitan.

Sedari kecil kedua orang tuaku sudah mendidikku keras. Mereka memberi pengarahan yang wajib aku patuhi. Di saat aku menentangnya, maka harus kuhadapi berbagai penekanan yang cukup membuat perasaanku terluka. Akan tetapi di balik aturan keduanya, aku tahu jika mereka menyayangiku. Abi dan Umi hanya menginginkan yang terbaik untukku. Baik itu pendidikan maupun percintaan. Terlahir menjadi anak semata wayang mengharuskanku menerima segala bentuk arahan orang tua, hingga membunuh keinginanku.

"Abi dan Umi nggak usah panik, Ali baik-baik aja kok," kataku senormal mungkin saat rasa sakit yang sangat perlahan hilang. Mengembalikanku.

"Minum dulu, Li. Pokoknya dokter datang nanti kamu harus diperiksa."

Mengambil segelas air pemberian Umi, aku pun meminumnya setengah. Tidak meninggalkanku sendirian Umi masih setia mendampingi sambil memberi pijatan ringan. Begitu dokter datang beliau langsung memintanya supaya memeriksaku. Selesai diperiksa lelaki berseragam putih itu berbicara dengan kedua orang tuaku. Entah apa yang mereka bicarakan, yang jelas aku tak peduli karena aku merasa sudah baik.

Menyandarkan kepala pada dipan, aku pun melantunkan ayat suci Al-Qur'an dengan hafalanku. Tepatnya surah Sad. Aku memejamkan mata metadabburi maknanya yang sudah aku kuasai. Tak pernah aku mendapatkan ketenangan selain merenungi kalam Allah Ta'ala.

"Maafin Umi, Li." Aku bangkit melihat Umi yang sudah berada di hadapanku.

"Umi kenapa?" tanyaku bingung, lalu melihat dokter yang tersenyum ramah.

"Maafin Abi dan Umi ya, Nak." Kali ini Abi yang bersuara. Perasaanku jadi tak enak, lantas menghampiri dokter.

Abi dan Umi tidak melarang, bahkan memberi kode pada dokter agar dia memberitahunya padaku. Selama aku mendengarkan lelaki itu suara tangis Umi juga dapat kudengar. Aku tidak menunjukkan reaksi apapun, kecuali mengangguk paham. Setelah dokter menjelaskan aku berbalik mendekati kedua orang tuaku yang bersedih hati. Tanpa berkata aku menepuk pundak keduanya bergantian, menyakinkan mereka jika aku baik-baik saja, lalu pergi menuju kamar. Menata pikiran.

Dokter menyarankan padaku agar tak terlalu banyak berpikir. Akibat buruk dari banyaknya pikiran menghambat kinerja otak dalam sehingga membuat diri tertekan, dan mengalami serangan kepala yang hebat. Penyakit ini aku dapatkan dari kejamnya narkoba yang sempat aku konsumsi dulu. Merusak sebagian syaraf yang berfungsi normal. Ya Allah! Mataku memanas menyadari betapa remuknya tubuhku untuk lima tahun ke depan. Seiring sakit kepalaku bertambah, kebobrokkan aku hadapi.

"Ya Allah! Ujian yang Engkau berikan sungguh berat. Ampunilah hamba jika ujian ini akibat dari dosa-dosaku yang telah lampau." Menengadah wajah ke atas, aku berdoa penuh pengharapan.

Saat aku hendak tertidur Abi dan Umi datang. Mungkin ingin melihat kondisi terburuk anaknya, tetapi aku pastikan mereka tidak menemukannya karena hikmah dari Allah. Dia memberikanku kesabaran yang besar di relung dada.

"Ali, ada yang ingin Umi sampaikan." Wanita itu berdiri di sampingku, maka aku pun bangkit dari baringku.

"Ada apa, Mi?"

"Setelah Abi dan Umi pikir, kami telah sepakat melamar Malika untukmu Li. Umi tidak ingin mencampuri urusan hatimu yang bersifat pribadi. Adapun orang tua hanya bisa mendukungmu, tanpa harus merecoki siapa yang kamu pilih. Sejatinya cinta itu tidak dapat dipaksakan, karena dia hadir dengan kuasa dan kehendak Allah yang penuh hikmah." Dengan panjang lebar Umi menyampaikan, aku tersenyum miris.

"Malika nggak akan mau sama Ali, Mi." Aku menjawab realistis. Penyakitku ini hanya menjadi beban untuk Malika. Di mana aku harus berpikir ulang demi kebaikan bersama, sebelum terlambat.

"Tentunya kita akan menjelaskan pada Malika, jika dia benar-benar wanita shalihah pasti tidak mempersalahkan penyakitmu. Kita lihat saja nanti."

"Astagfirullah, Umi. Sekarang Ali tanya, apa definisi shalihah menurut Umi?" tanyaku, terkesan atas penuturannya.

Wanita itu sudah siap menjawab, tapi Abi menahannya dengan memegang lengan Umi sambil memberikan kode. Kini aku menyadari jika kedua orang tuaku mencoba mengikuti keinginan anaknya meski terasa berat. Keadaan yang seperti ini membuat mereka tak egois seperti biasa, karena penyakitku.

"Begini, Li. Abi dan Umi sudah sepakat ingin melamar Malika segera. Selama menunggu masa iddah kita akan terus mengunjunginya dan membantunya sampai dia melahirkan. Jadi, begitu Malika selesai nifas kalian langsung menikah tanpa menunggu lagi." Abi berkata langsung pada intinya, tidak bertele-tele seperti Umi yang bicara.

"Terserah Abi dan Umi. Tapi satu hal yang harus Ali ingatkan. Ketika nanti Malika menerima lamarannya, dan kami menikah. Ali nggak ingin Abi dan Umi selalu ikut campur dalam rumah tangga kami," kataku mengingatkan.

Sontak Abi dan Umi berpandangan.

Istri Idaman ✓Onde histórias criam vida. Descubra agora