Bab 7

1.3K 51 0
                                    

Muhammad Ali

Niat baikku untuk mengganti Ghibran menanggung dosa Malika di bumi ini, akhirnya mendapat restu kedua orang tua. Hati Umi kebuka setelah bertukar pikiran dengan Ustadz Yusuf. Kini, aku tinggal menunggu jawaban si shalihah, apapun keputusannya 'kan aku terima. Ini tak mudah baginya, aku mengenal baik Ghibran, dia sangat menghormati siapa saja yang dekat dengannya, dan aku yakin Malika begitu mencintainya.

Tapi, semua kulakukan demi kebaikan kita, terutama Malika. Selain tujuanku karena agama Allah, aku juga tak ingin berdosa terus menerus dengan cintaku yang haram. Ketika diberi jalan menuju halal, kenapa tidak? In sya Allah, takdir Sang Maha cinta akan jauh lebih indah.

"Umi sudah makan?" Aku menghampiri Umi yang tengah menyendiri, menunda kepergianku barang sejenak, basa-basi.

"Alhamdulillah, sudah tadi, kamu mau kemana Li? Bukannya interview besok."

"Ya, Umi, Ali ada keperluan di Pondok." Mengambil tempat di sebelah Umi, aku menatapnya lembut, penuh rasa cinta.

Dia, Umiku.

Malaikat tanpa sayap yang menjagaku dengan jiwa raganya, dengan separuh nyawa, serta perjuangannya yang tak 'kan mampu kutebus dengan nyawaku sekalipun. Kedua tangan halusnya tak pernah lelah memeluk tubuhku ketika dunia meruntuhkanku, dan memusuhi.

Demi Allah, aku sangat menyayanginya, meski Umi kerap kali menentang setiap pilihanku, tapi aku tahu dia melakukan itu karena mengkhawatirkanku. Beliau tidak ingin melihatku susah, aku tahu, namun aku percaya bahwa dialah istri idaman yang aku cari. Shalihah Malika.

"Ali, sungguh, Umi sedang bingung."

"Kenapa ya Umi? Ceritakan pada Ali."

"Umi tak tahu harus berkata apa pada Kyai Bahrun, keputusanmu berkuliah di Kairo tentu alasan yang masuk akal dan bisa dimaklumi. Tapi, bagaimana jika beliau tahu kamu malah menikah dengan Malika? Umi sangat bingung."

"Umi ..." lirihku, menggenggam tangan Umi lembut, berusaha menenangkan. "In sya Allah, tidak apa-apa Mi, sepulang dari Pondok nanti kita akan menemui Kyai, menceritakan yang sebenarnya."

Umi mengangguk, aku tersenyum.

Melirik jam di tanganku, aku tidak lagi memiliki banyak waktu, maka aku pun pamit pada Umi, menyalim tangannya sebelum pergi. Hari ini aku sudah janji akan mengantar Malik ke Ponpes pusat yang didirikan di Jawa Tengah. Jadwal kereta tinggal menghitung menit, kami akan bertemu di pondok Al-Amin yang terletak satu lingkungan dengan ustadz.

Di halaman Pondok langkahku terhenti begitu melihat Malika, hatiku bergetar. Menyadari kehadiranku dia membisiki Umi, kemudian semuanya menyambut. Sedikit sungkan aku melangkah, Malik menghampiriku dengan bersemangat, wajahnya berseri-seri, terlihat bahagia.

"Kita berangkat sekarang Kak, jadwal kereta tinggal lima belas menit lagi."

"Ah, iya, kamu bisa berpamitan lebih dulu dengan Ustadz Yusuf, dan ..." Aku menggantungnya saat melihat Malika tampak gugup, lantas berpaling cepat.

Sesudahnya Malik berbalik, sementara aku masih berada di tempat yang sama, tidak bergerak sedikit pun. Merasa jika sudah waktunya, aku berjalan ke arah Ustadz Yusuf, mohon doa keselamatan untuk Malik. Tak lupa aku berpamitan pada Umi Kalsum, semampunya tidak melirik Malika yang masih menunduk.

"Ya, Ali," panggil Umi, menghentikanku, sedangkan Malik sudah berlalu keluar.

Dengan sopan aku berbalik lagi, kulihat Umi dan Ustadz Yusuf saling melempar tatapan. Seakan paham beliau mangut. "Ada apa ya Ustadz?"

"Malika ingin memberi jawaban."

Otomatis pandangku mengarah kepada Malika, aku mengangguk, sungguh siap.

"In sya Allah, apapun jawaban shalihah Malika, akan Ali terima, dan ikhlas."

"Nak, katakan?" Umi membimbingnya, meminta Malika memberikan jawaban, yang kupikir telah mereka rencanakan.

"In sya Allah, Malika bersedia."

Ya Allah! batinku mengucapkan ribuan rasa syukur, menangkup wajah dengan kedua tangan, sungguh merasa terharu.

"Alhamdulillah, semoga Allah memberi keberkahan untuk kalian berdua." Umi Kalsum mendoakan, sementara Ustadz Yusuf hanya tersenyum, sarat bahagia.

"Ustadz, Umi ..." panggilku, aku belum bisa menyebut nama Malika langsung, rasanya masih sulit. "Ali berangkat ya, Malik menunggu, assalammu'alaikum."

Setibanya di terminal, Malik langsung masuk ke dalam kereta karena waktu yang memang pas-pasan. Di halte aku masih menunggu keretanya bergerak, sambil memanjatkan doa untuk Malik agar pendidikannya berhasil. Kupikir Malik tak mendengarkanku, ternyata dia menyimak dan meresapi apa yang aku sampaikan saat kami bertemu di pengajian minggu lalu. Ini bukan satu kebetulan, tapi kuasa Allah, aku tidak berpikir terlalu jauh, namun pencipta menuliskan suratan yang tak terduga.

Ditambah mengingat jawaban Malika, aku semakin merasa minder padaNya, ketika imanku masih sering goyah, di atas arsy sana dengan kuasaNya Allah memudahkan segala urusan duniaku. Rasa kasihnya terhadap umat semua sama, tidak pernah memandang baik atau buruk seseorang, namun kitalah yang tidak tahu cara berterima kasih. Tidakkah kita malu, sudah berapa kali mengatakan bahwa Allah tidak adil? Kepada Maha Adil yang sesungguhnya.

"Ya, Ustadz, semua tergantung Malika." Dengan lugas aku menjawab, saat Umi Kalsum dan Ustadz Yusuf menanyakan kapan akad dilaksanakan, kuserahkan.

Kini, aku duduk di rumah Ustadz Yusuf, masih ada Umi juga Malika yang belum pulang. Kami membahas hubungan ini dengan syariat islam, terdapat mahrom dalam satu ruangan. Kebetulan Abinya si shalihah tidak bisa hadir, diwakilkan Umi Kalsum, jadi tak begitu canggung.

"Malika, bagaimana Nak?" tanya Umi.

"Sebelumnya, Malika ingin mengajukan satu pertanyaan pada Ali, bolehkah?"

Mendengar permintaan itu jantungku seakan berhenti berdetak, amat gugup.

"Boleh Nak, tanyakan saja," titah Umi.

Tatapan kami semua mengarah kepada Malika, amat penasaran, terutama aku. "Katakan Nak? Tanyakan saja pada Ali."

Cukup lama Malika terdiam, kepalanya masih menunduk, tampak begitu malu.

"A-pakah Ali akan menerima anak Mas Ghibran yang akan segera lahir?" tanya suara halus itu, aku tergugu, kemudian tersenyum simpul meski tersinggung.

"Ustadz, Umi, mohon izinnya, Ali akan menjawab pertanyaan Malika." Lebih dulu aku meminta izin, setelah kedua orang tua itu mengangguk, aku berani memanggilnya untuk pertama kalinya. "Malika ..." panggilku dalam, dan lirih.

Saat shalihah mendongak, aku terdiam sejenak, tertegun melihat matanya, dan beristighfar dalam hati. Mohon ampun.

"Ya, Malika, sejujurnya niatku ini tidak jauh karena Agama, aku menikahimu untuk menyempurnakan separuhnya agamaku, itu ada pada dirimu. Ketika aku memilihmu, sudah pasti aku yakin dan percaya itu semua ada padamu." Jeda sejenak, kulihat Malika tertegun, seakan spechless dengar jawabanku.

"Agama islam itu Agama yang benar, di atasnya aku sudah belajar, memahami berdasarkan al-qur'an dan hadist. Aku tidak akan menikahimu jika agamaku nol, aku juga tak akan memilihmu jika enggan menerima anak yang sedang kamu kandung, dan tak akan melirik dirimu jika bukan karena takdir Allah."

Di sebrang meja, aku dapat melihatnya membatu, mesti aku tak tahu apa yang dia pikirkan, namun aku bisa menduga jika dirinya mencerna baik jawabanku. Dengan pemikiran seperti itu, tiba-tiba aku teringat janjiku pada Umi, ya Allah. Tanpa membuang waktu aku beranjak, berpamitan pada Ustadz Yusuf dan Umi Kalsum, juga Malika yang masih diam.

"Ustadz, Umi, Ali pamit pulang dulu ya, sudah ada janji dengan Umi di rumah."

"Iya Nak, hati-hati."

Selepas mengucap salam aku bergegas keluar, tidak ingin melihat Umi kecewa sebab kelalaianku yang terlalu bahagia.

Istri Idaman ✓Where stories live. Discover now