Bab 13: Buka - Rileks

6.7K 1.1K 279
                                    

"Pacaran itu terdiri dari dua pihak.

Bukan untuk satu pihak merepotkan pihak lainnya,

tetapi untuk bertumpu, saling menyokong."



Mati apa, ya?

Laudy memicingkan mata, menatap baik-baik jarum jam yang seolah tidak bergerak, mati kutu di atas kepala Pak Arfan, dosen yang menyabet dua gelar sekaligus: tergalak dan terpelit sejurusan kategori pria, menurut anak-anak PINUS Fakultas Ilmu Sosial Jurusan Antropologi Choice Award yang votingnya dilakukan lewat gibah berjamaah. Tidak mati. Namun, seperti meledek, jam itu bergerak dengan gaya siput kena anemia dua tahun, pelan keterlaluan.

Marimar lelah, ngantuk, sampai kapan penderitaan ini akan berakhir?

Satu mata kuliah senilai 3 SKS bersama dosen yang satu ini sudah merupakan neraka. Dua kali, wah, neraka jalur bidik misi. Salahnya juga yang liburan semester lalu keasyikan maraton drama sehingga tidak tahu bahwa semua orang berbondong-bondong mengambil kelas Sosiobiologi Bu Rima yang lemah lembut sehingga anak-anak kurang update sepertinya harus terperangkap di sini, siap mati di kelas Pak Arfan.

Dia sekarang mengambil kelas yang sama dengan Echa. Dari tempatnya di barisan paling belakang, dekat kipas angin, dia bisa melihat cewek itu duduk nomor dua dari depan, aktif menyalin di buku, dan Laudy bertanya-tanya bagaimana dia dapat melakukannya? Cewek cantik dan jago dandan seperti Echa, harusnya tidak perlu rajin dan pintar sekaligus, salah satu saja. Apa kabar cewek-cewek yang burik dan malas semacam Laudy? Dan, jika jodohnya cewek sebening Echa adalah kutil kuda seperti Nando, jodoh Laudy nanti bisa sebuluk apa?

Pikiran-pikiran ngawur itu membantu mengalihkan rasa kantuknya setelah gagal total mencoba mencerna teori-teori Edward Wilson yang menghubungkan metode dan asas-asas biologi dengan teori evolusi Darwin yang begitu populer—yang bagi Laudy sangat tidak berterima. Ketika akhirnya Pak Arfan keluar kelas, Laudy menunggu mahasiswa-mahasiswa lainnya untuk keluar lebih dulu, malas bergerombol di pintu.

"Dy, kantin, yuk!" Erina, teman sekelasnya sejak semester satu, salah satu di antara sekelompok kecil orang yang dia kategorikan sebagai teman, menegur. Cewek itu telah mengepak buku-bukunya, termasuk peralatan make-up yang sempat-sempatnya dia gunakan sebelum kelas berakhir.

"Lo aja, deh. Akhir bulan, nih," jawab Laudy jujur, ditutup dengan satu cengiran. Sudah bukan rahasia lagi bahwa akhir bulan adalah masa-masa paling kelam bagi mahasiswa.

"Gue traktir es teh, deh. Ayok!"

Tawaran yang menggiurkan. Laudy nyaris mengiakan saat kemudian dia melihat kutil kuda yang sempat dia pikirkan masuk.

Kata orang, jika kita memikirkan seseorang dan orang itu datang, orang itu akan panjang umur. Kasihan Nando, sudah buluk, umurnya panjang pula.

"Lo duluan aja, Rin. Gue ada urusan bentar."

Erina pamit setelah itu. Tidak menyapa Nando. Mereka tidak begitu kenal dan Laudy juga tidak berniat mengenalkan. Cowok dengan tinggi sedang dan kulit sawo matang itu berjalan menghampiri Echa, tetapi begitu sudut matanya menangkap sosok Laudy, otomatis seperti ada lampu yang tahu-tahu hidup di kepalanya. Dia mengangkat satu tangan ke udara, melambai-lambai bersemangat.

"Laudy! Enggak nyangka ketemu di sini." Tujuannya berubah sekarang. Nando menghampiri Laudy dan menarik kursi di depannya. "Ngapain lo di sini?"

Pertanyaan yang ... sangat tidak bermutu. Laudy memutar bola mata. "Lagi mandi. Ya, kuliahlah, Junaedi!"

[CAMPUS COUPLE] Naya Hasan - Tiga MingguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang