Bab 23: Hujan - Berderai

6K 1.1K 281
                                    

"Hujan menyatukan banyak hal:

langit dengan bumi,

emak-emak dengan jemurannya,

pengendara motor dengan flyover,

dan ... kita."



Di luar pelataran gedung Fakultas Ekonomi dan Bisnis, hujan masih turun dengan derasnya. Laudy memegangi setumpuk buku dan makalahnya erat-erat karena tas punggung kecilnya tidak mampu memuat kapasitas sebanyak itu. Dia mendesah. Hanya atap bangunan teras yang menawarkannya perlindungan sekarang. Kelas telah bubar satu jam lalu, beberapa mahasiswa yang keluar bersamanya telah pergi. Ada yang dengan payung, dengan jas hujan, ada juga yang nekat menerobos hujan. Laudy belum senekat itu, tetapi sekarang, setelah dia selesai mengunduh aplikasi ojek daring dan ponselnya mati sebelum dia sempat memesan, dia mulai mempertimbangkannya.

Hal yang lebih apes dari itu? Dia sekarang terjebak di ujung Fakultas Ekonomi yang jelas-jelas bukan fakultasnya. Hanya saja, dosen mata kuliah Antropologi Perdesaan-nya yang dengan seenak hati membatalkan kelas tempo lalu, tahu-tahu menyuruh ketua kelas mengumpulkan mereka di sini untuk mengganti mata kuliah tersebut dengan meminjam ruang kelas fakultas sebelah. Beruntung, saat WAG kelasnya rusuh soal kuliah dadakan, dia masih berada di kampus, sedang menonton Kian tampil, tepatnya.

Abim berkeras mengantarkan, dan Laudy menurut tanpa protes berarti. Membuatnya melewatkan pentas Kian, melewatkan tatapan terlukanya dan dialognya yang begitu mewakili perasaan cowok itu.

Petir menggelegar dengan hebat dan Laudy nyaris menciut di tempat. Terpikir olehnya untuk kembali masuk ke gedung, tetapi mengingat tempat itu terlihat horor ketika sepi dan gosip-gosip penampakan yang ramai beredar, dia terpaksa harus berpikir dua kali. Antara petir dan hantu, mana yang sedikit kurang menakutkan? Atau, mungkin dia harus pulang sekarang agar secepatnya bisa mengamankan diri di bawah selimut dan bergelung sepanjang malam?

Mungkin dia harus menunggu sepuluh menit lagi. Sekarang sudah mendekati magrib, hujan hanya membuat langit lebih gelap daripada seharusnya. Dan, jika dalam sepuluh menit hujan ini belum juga reda, dia akan terpaksa mencari angkutan umum sambil berbasah-basahan.

Untungnya ada hal baik yang terjadi hari ini sehingga Laudy dapat menahan diri untuk tidak mengumpat terlalu sering. Tadi pagi, dia mengira semuanya akan kacau. Bisa-bisanya dia meninggalkan makalah yang telah menyita banyak waktu tidurnya di kos. Dia sedang sibuk mencari aplikasi ojek daring saat Abim datang. Namun, tak lama, seseorang datang. Salah satu teman Echa. Laudy ingat pernah melihatnya setidaknya sekali dua.

"Ada cowok yang ngasih ini."

"Siapa?" Laudy mengerutkan alis.

"Ng," cewek itu menggaruk alisnya, "enggak tahu, sih. Dia enggak bilang. Tapi, ganteng, tinggi. Dan, dia bilang ... makalah kamu udah bagus, jadi jangan lupa sarapan dulu."

Laudy tersenyum setelahnya, mengucapkan terima kasih, lalu menatap Abim.

"Enggak jadi balik ke kos?"

"Enggak jadi."

"Lho, katanya ada yang ketinggalan?"

Laudy menggeleng. "Enggak. Aku ... mau sarapan aja."

"Ya udah, aku temenin."

Mereka sarapan bersama di kantin pagi itu, tetapi tidak banyak obrolan yang terjadi. Laudy lebih banyak melamun, memikirkan apakah Kian telah makan juga atau belum, mengingat semalam, ketika Laudy sedang sibuk-sibuknya dengan makalah, dia tahu cowok itu juga terjaga bersamanya, menghafal dialog dan mengetik naskah novel. Cowok itu ... yang kadang kalau sudah fokus dengan pekerjaan dan dipenuhi inspirasi, bisa sampai melupakan kebutuhan dasar lainnya.

[CAMPUS COUPLE] Naya Hasan - Tiga MingguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang