13. Hesti

327 49 8
                                    

Ketika membuka pintu UKS, wajah itu menyambut dengan senyum ramah. Dia duduk di kursi putar, sedang sibuk dengan laptop.

"Loh, Abang?" Gue kucek kucek mata, tapi wajah itu nggak berubah.

Gue nggak sangka bisa ketemu dokter kucing di sekolah ini.

Dian nyenggol gue dari belakang. "Ayo masuk, Hes. Nggak bakal disuntik kok."

Sementara Kak Radit mengernyitkan kening, jari menepuk dagu tirusnya sambil berkata, "Sebentar, kok nggak asing ya. Kamu... Hesti?"

Gue mengangguk kalem, malu malu masuk ruang UKS. Teman - teman yang lain balik ke lapangan, kecuali Dian. 

"Udah Dian, lu balik aja ke lapangan. Ntar dicariin senior, loh."

"Males ah, aku mau jagain kamu."

Heleh, jagain. Paling ya malas balik, karena nggak mau panas panasan. Enak di sini ada AC- nya. Kelihatan banget sih, dia duduk dekat AC terus nonton TV ketika aku duduk di dipan sebelah kursinya Bang Radit.

"Gimana, Kakakmu? Om tante sehat?"

"Sehat semua Bang."

Dian berbisik ke gue, "OMG, nih orang aktor Korea kah? Putih, sipit, kayak Manwha aja."

Gue senggol lengan Dian yang kayaknya terlalu fokus ke Kak Radit. Dia salah tingkah gitu, ngelus ngelus kasur, terus nepuk nepuk. "Bobo sini Kak, aku sama Kakak...ehm, maksud aku, Kakak... eh, anu, ini kasur buat bobo kita, eh, kakak, argh izin ke toilet!" Kabur dia masuk toilet UKS.

"Temannya lucu," kata Kak Radit.

"Lucu kalau lagi waras kak." Terus, gue nanya, "Kak, Kok bisa sih, jadi dokter di sini?" Gue duduk di tepi kasur.

"Magang beberapa tahun di sini. Jadi keluhannya apa?" Dia mulai memeriksa dan gue kayak curhat ke dia, cerita keadaan badan gue yang tiba - tiba aneh.

Wajah tirusnya nggak berubah. Rambut hitam shaggy lembut, kaca mata baca, dia tuh kalem, dewasa banget deh. Plus Radit selalu harum apel. Di mejanya juga ada apel Beijing. Seperti biasa dia nawarin aku apel.

"Makan nih, biar cepet sembuh."

Gue kangen sama senyum Kak Radit yang polos. Dan sekarang gue kembali menjadi Hesti kecil di depan idola gue.

"Gimana, udah dibolehin melihara kucing?" tanya Radit, sembari mengelap air apel yang mengalir melalui sela bibir gue pakai tisu.

"Nggak Bang. Biasa, ada yang alergi kucing. Masak iya, kapan hari gue mungut kucing liar imut banget. Kakak setuju, Ibu ya suka sama ke uwu an si kucing, kita mau merawatnya. Eh Bapak ngamuk. Kami disuruh milih, Bapak yang pergi atau kucingnya yang pergi?"

Kak Radit terkekeh, bersangga dagu mensejajarkan wajahnya dengan gue. "Terus terus, gimana?"

"Ya gue sama Ibu, sama Kakak masih mikir lah. Lucuan kucing dari Bapak, sih...."

Radit ketawa lagi. "Keterlaluan kalian tuh. Masih mikir jawabannya. Perasaan Om pasti hancur."

"Iya Bang, jadi kayak di sinetron ikan terbang Kumenangis. Bapak masuk kamar, banting pintu. Akhirnya tuh kucing dirawat temen gue."

Magnetic LoveWhere stories live. Discover now