"Lo bawa batu, ya," komentar Yanu saat ia merasakan berat dari tas tersebut.

"Iya, buat nulis prasasti," jawab Silvia sekenanya.

"Perasaan lo anak HI bukan anak sejarah." Yanu malah meladeninya. Silvia terkekeh.

"Bukan, deng. Itu fotokopian modul punya BEM," ujar Silvia. Alis Yanu terangkat.

"Kenapa lo yang bawa?"

"Baru gue ambil dari fotokopian. Mau ditaruh ke sekre."

"Bentar, deh, lo masih ngurusin BEM, ya? Kemarin udah ganti periode, kan?"

Kini gantian Silvia yang mengangkat alis.

"Lo gimana, dah. Ya malah gue naik jabatan jadi kadiv sekarang."

Oh, begitu rupanya.

"Kirain udahan. Abis lo banyak banget perasaan ikut kegiatan? Mawapres juga kan, lo?" Kabar ini didapatkan Yanu bukan dari hasil stalking atau dari Rahdian. Ia tidak sengaja mendengarnya dari obrolan teman-temannya waktu di sekretariat himpunan. Silvia cukup terkenal di kalangan mahasiswa ilmu sosial.

"Iya. Lo kagak ikutan?" tanya Silvia balik. Yanu memandang gadis itu tak percaya.

"Vi, jangan ngigau. Gue? Apanya yang berprestasi?"

Silvia menggigit-gigit bibir. "IPK lo kan bagus banget ...."

Yanu tertawa kecil. Satu-satunya cela di nilainya adalah huruf C di antara banyak A waktu semester tiga, yang sudah diperbaikinya menjadi B. Silvia benar. Nilai Yanu selalu bagus, tapi hanya itu yang dipunyainya.

"Gue nggak banyak pengalaman organisasi, Vi. Cuma masuk himpunan pas semester muda, kepanitiaan dikit juga. Lo, 'kan, semua diikuti," kata Yanu tenang.

"Lagian gue nggak minat juga mawapres-mawapres gitu. Ribet banget mesti bikin ini itu," imbuh Yanu.

"Oh. Iya, lo anti ribet-ribet club, sih." Silvia terdengar kecewa, namun maklum.

"Emang lo nggak capek, Vi? Segala macam kegiatan diikuti?" tanya Yanu. Dari dulu ia penasaran, apa Silvia ikut hal-hal tersebut atas dasar sederhana karena suka, atau ada alasan-alasan lainnya?

Meski Silvia yang disukainya memang seperti itu, yang bersinar di mana pun gadis itu berada.

Silvia tampak berpikir sejenak, seperti sibuk mengumpulkan kata-kata. Lalu, seulas senyum tersungging di bibirnya.

"Capek, lah. Tapi emang ya seneng aja," jawab Silvia. Lalu dengan suara kecil, gadis itu menambahakn, "gue juga, punya suatu hal yang gue kejar."

Yanu menoleh ke arah Silvia. Profil wajah Silvia yang cantik tampak muram walau ada senyum melengkung di bibirnya. Genggaman tangan Yanu akan tas menguat sementara tas tersebut tiba-tiba terasa lebih berat.

Ia jadi teringat tahun terakhir mereka di SMA, saat memilih jurusan untuk SNMPTN. Yanu dan Silvia berdiri bersandar di balkon depan kelas, mengamati anak-anak kelas sepuluh bermain basket di lapangan bawah.

"Lo jadi ambil apa, Vi?" tanya Yanu saat itu. Silvia mengangkat bahu.

"HI. Gampang ditebak, ya?" ujarnya sambil tersenyum tipis. Yanu hanya mengangguk kecil.

"Kenapa HI? Gue tahu bokap lo kerjaannya itu, tapi emang lo pengen?"

"Ada yang harus gue kejar di HI," tukas Silvia. Yanu memandangi gadis di sebelahnya. Lengan seragam terhembus angin dan rambut panjang dalam kunciran tinggi. Mata yang menatap lurus ke bawah, tidak menatap apa pun selain kekosongan.

Parade NgengatWhere stories live. Discover now