"Tapi, Ras. Kayak banyak di Jepang malah orang tuanya yang mau ke nursing home aja karena takut ngerepotin anak-anak mereka." Yanu mengingat-ingat lagi video yang asal ditontonnya di YouTube. Laras menjentikkan jari.

"Yah, itulah. Kadang memang lebih keurus di nursing home. Bayangin aja, sebagian anak-anak mereka mungkin kerja nine to five tiap hari. Selain nggak begitu bisa ngurusin, ortu juga mungkin butuh teman yang bisa nyambung. Solusinya? Nursing home. Ada perawat yang memang dibayar buat ngurusin, ada teman sepantaran dan senasib, pula," ulas Laras.

"Well, and they say no places like home." Yanu bergumam.

"Home is a relative thing to say," sahut Laras sambil mengangkat bahu. Gadis itu kini menatap lurus-lurus pada Ihsan yang tengah menggaruk-garuk kepala dan tampak bingung dengan bukunya.

"Emang gitu, ya. Bayi, orang tua. Sama aja. We're born with nothing and back into nothingness," ujar Laras menutup diskusi mereka sore itu.

Trivia dari Laras tersebut memberinya ide bagaimana mendekati kritik untuk tugasnya kali ini. Bagaimana tuntutan berperilaku seseorang di zaman tersebut, serta bagaimana orang melihat kemampuan seseorang, masyarakat yang lebih menghargai rupa dan masa muda.

Yanu mulai mengetik:

Babies and old people are alike. But what if we were born as an old person and started regressing into a younger person?

Tiga jam kemudian, Yanu berhasil mengidentifikasikan hal-hal yang diperlukan, menyelesaikan kritik singkatnya. Ia meregangkan tubuhnya, melepas kacamata dan memejamkan mata. Semburan udara dari pendingin ruangan terlalu dingin, membuat hidungnya mendadak panas.

Tidak ada kelas lain setelah ini. Yanu membereskan laptop dan buku-bukunya, lalu keluar dari perpustakaan. Ia melirik ponselnya. Pukul setengah tiga sore. Lalu melirik ke atas, ke langit biru cerah dan sinar matahari yang menyengat.

Gila. Jam segini masih terik aja, pikirnya.

Yanu berjalan menuju jalanan utama kampus. Hari ini, dia tidak membawa motor. Ihsan kesiangan bangun dan hampir terlambat kelas sehingga Yanu yang kelasnya masuk jam sepuluh harus merelakan motornya dipinjam si bungsu.

Ia memilih untuk berjalan kaki ke gerbang lama, karena jika naik angkot akan lebih jauh memutar. Menyeberangi jalan dan menyusuri trotoar, melewati deretan asrama baru kampus. Untung saja sepanjang trotoar dinaungi oleh kanopi, sehingga terik matahari tidak terlalu mengganggu.

Di depan FISIP, Yanu bertemu Silvia yang sedang menyeberang. Gadis itu sendirian, tas yang disandangnya terlihat berat. Ada beberapa buku dalam dekapannya. Seolah semua itu belum cukup, ia masih menenteng tas jinjing besar berisi entah apa.

Silvia tersenyum lebar dan mempercepat langkah. Yanu berhenti, menanti.

"Ribet banget, Vi," komentarnya begitu Silvia tiba di sebelahnya.

"Orang penting," jawab Silvia sambil menyengir. Yanu mengulurkan tangan ke arah tas jinjing yang ditenteng Silvia, membuat gadis itu mengerutkan dahi.

"Ape, lo?"

Yanu menghela napas. "Mau dibantuin, nggak?"

"Nggak usah," balas Silvia singkat. Yanu mengangkat bahu, lalu mulai melangkah.

"Maksud gue biar ringan sampai gerlam doang, sih. Abis itu ya, lo bawa sendiri," kata Yanu pelan. Silvia tertawa mendengarnya.

"Yaudehhh nih, bawa. Sok, bawain. Makasih banyak Akang Yanu nu kasep." Silvia mengangsurkan tas jinjingnya pada Yanu. Pemuda itu tersenyum tipis saat menerimanya.

Parade NgengatWhere stories live. Discover now