🐿️ Part 11 🐿️

90 20 2
                                    

Unexpected Destiny

Part 11

🐿🐿🐿🐿🐿🌵🌵🌵🐿🐿🐿🐿🐿

Aldrift mengendarai mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, menyalip setiap kendaraan yang dianggap menghalangi jalannya. Kabar dari ibu panti yang baru saja diterima membuat dirinya kalut, gelisah dan juga khawatir.

Bagaimana tidak? Ibu panti mengatakan kalau orang-orang yang beberapa waktu lalu datang untuk menggusur panti kini datang kembali. Bahkan, katanya ada seseorang dengan pakaian rapi dan tampak mahal yang memimpin. Juga dua alat berat yang dibawa.

Atensi akan sosok Bimo melebur seketika. Tak dipedulikan bocah ingusan yang ia duga tengah terlibat sesuatu itu. Ah, ia akan mengurusnya nanti.

Memencet klakson, Aldrift berharap kendaraan besar di depannya mau memberikan jalan untuk dirinya menyalip. Bahkan ia tak memikirkan seseorang yang tengah merasa ketakutan di sebelahnya.

Ya. Syifa memilih ikut dengannya ketika ia mengatakan akan pergi ke panti karena suatu masalah. Aldrift masih fokus ke arah jalan karena ingin cepat sampai ke tempat tujuan.

Menukik tajam di sebuah tikungan pada gang di mana tempat panti didirikan. Memarkirkan kuda besinya sembarang, ia melepaskan sabuk pengaman dengan tergesa, membuka pintu mobil tanpa ditutup kembali.

Dua alat berat terparkir rapi di depan bangunan yang sudah tampak tua ini, Aldrift segera berlari memasuki kawasan panti. Memandang bingung beberapa laki-laki berbadan kekar yang dulu ia hadang kini tampak berbaris rapi di depan pintu masuk.

Tanpa kata, ia melewati pintu begitu saja, menatap dua insan yang tengah duduk di sofa ruang tamu. Pandangan Aldrift jatuh pada Ibu Susi dan Pak Ropik yang menunjukkan raut wajah khawatir.

Di seberang mereka, seorang laki-laki yang ia taksir umurnya lebih tua beberapa tahun dari dirinya berada. Duduk menyandar pada sofa dengan merentangkan kedua tangan. Kaki kanan ditumpukkan pada kaki kiri. Tidak ada sopan santunnya.

Pandangannya jatuh pada kacamata hitam yang dikenakan laki-laki itu. "Siapa Anda?" tanyanya dengan tidak suka.

Laki-laki dengan kemeja biru kotak-kotak itu tersenyum, bangkit lalu mengulurkan tangan. Tak ingin membalas, Aldrift hanya memandang uluran tangan itu dan wajah laki-laki yang ada di hadapannya bergantian.

"Baiklah," ucapnya kemudian. Melepas kacamata dan menatap dirinya. "Saya adalah pemilik sah tanah ini. Saya mau merobohkan panti ini karena dibangun di atas tanah saya tanpa ijin."

"Apa pengelola panti tidak pernah mengatakan pada Anda kalau tanah ini sudah diwaqofkan?"

Laki-laki di hadapannya hanya mengedikkan bahu. "Tidak ada bukti."

"Tap—"

"Dengar." Laki-laki itu menghentikan ucapannya. "Saya ke sini tidak ingin membuang-buang waktu, karena saya ingin mengambil apa yang saya miliki." Nada bicara yang sebelumnya nampak bersahabat, kini hilang dengan kemunculan wajah datar.

Keduanya masih saling berdiri berhadapan, di mana orang yang mengaku pemilik tanah panti ini dengan santai berdiri memasukkan satu tangan kanan ke saku celana, tangan kiri masih memegangi kacamata yang sebelumnya digunakan. Sedang dirinya nampak mati-matian menahan kemarahan dalam dirinya.

Atmosfer di sekitar mereka terasa panas, keduanya baru bertemu namun seperti ada dendam dalam setiap tatapan keduanya.

"Saya tidak menggusur tempat ini seminggu lalu karena ada yang menjamin akan membayar tanah ini. Akan tetapi sampai sekarang tidak ada pembayaran sama sekali," lanjutnya. Adrift hanya menyimak tanpa ingin mengucapkan sepatah pun. Karena memang ia ingat, bahwa langkah mereka akan kalah dengan laki-laki ini.

Unexpected DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang