Epiphany

1.4K 133 6
                                    

***

Kenangan lama ternyata tidak akan hilang meski aku berusaha menghapusnya. Meski aku membuangnya atau menganggapnya tidak pernah terjadi. Kenangan baik dan buruk adalah bagian dari masa lalu.

Kali ini, kenangan baik datang padaku.

***

"Sudah tiga tahun"

Seokjin melanjutkan. Ia berikan tangan kanannya untuk memberikan salam sekaligus membantu Yoongi berdiri dari posisinya.

"Kau masih sama menyebalkannya, Yong-yong"

Yoongi hanya tersenyum tipis dengan satu helaan nafas saat menyadari ternyata Seokjin masih sama seperti dulu, penuh jenaka dan ceria. Yoongi mengangkat bola basket yang masih ditangannya dan bertanya melalui tatapan dan salah satu alis yang sedikit ia naikan, basket?

"Kamu belum melupakannya, kan?" tanya Seokjin dengan nada bercanda namun bermaksud serius.

Sejak dulu Seokjin tau kalau Yoongi mengalami trauma dengan piano. Mulai dari ketidaksukaan orang tuanya, lalu tekanan untuk menjadi seorang dokter, kemudian pesaing dan pembenci yang terus mencelanya dengan kata manusia metronom. Semua itu dilalui Yoongi seorang diri.

Untuk itu, basket merupakan penyelamat sekaligus hobi yang menjadi kegembiraan untuk Yoongi. Kemudian Jungkook yang mulai beranjak dewasa datang pada mereka untuk bermain basket pula. Tetapi Jungkook juga membawa Yoongi kembali ke tempatnya semula, pada piano.

Mungkin memang Yoongi ditakdirkan sebagai seorang seniman. Seokjin juga tidak bisa menjamin masa depannya sendiri. Yang Seokjin tau Yoongi akan merasa bahagia saat memainkan bola basket. Yang Seokjin tau basket adalah kebahagiaan Yoongi yang lain, yang tidak pernah dia dapatkan saat di rumah. Seokjin tidak ingin sahabatnya selalu terpuruk dalam kesedihan.

Kalau diingat lagi Yoongi belum berucap sepatah kata pun sejak kedatangannya dan dia juga belum menjawab pertanyaannya sampai detik ini.

Tiga tahun.

Tiga tahun....

Masihkah perlu waktu lagi untuk seorang Min Yoongi bangkit dari kesedihannya?

***

Seokjin dan Yoongi mengunjungi Jungkook. Mereka membawa sebuket bunga dan juga mendoakan Jungkook untuk kebahagiaannya yang tidak bisa mereka lihat. Harapan yang disampaikan melalui doa ini adalah satu-satunya cara agar bisa berkomunikasi dengan Jungkook, sekarang dan seterusnya.

Lalu pandangan Yoongi mengosong dengan kedipan kelopak mata yang melemah dan tubuh yang seakan bisa menyerah pada gravitasi bumi. Tidak!

Yoongi tidak akan tumbang dengan mudahnya seperti ini. Dia sudah terbiasa meratapi kesedihan dan penderitaan. Tidak, tidak. Sekali lagi, tidak!

Berbagai penyangkalan itu tidak membantu apapun. Nyatanya, sakit itu masih sangat menyiksanya sampai sekarang. Penyangkalan itu sebenarnya juga tidak sanggup mengubah apapun. Tidak bisa membawa Jungkook kembali padanya, tidak bisa memutar waktu untuk Yoongi melindungi dan mencegah hal buruk itu terjadi.

Tiga tembakan itu....

Yoongi tidak menangis. Dia sudah tidak bisa lagi menangis.

"Kookie, Kookie, Kookie, Kookie"

Yoongi menoleh perlahan pada Seokjin yang masih bisa seceria itu dalam situasi seperti ini. Bukan salahnya. Seokjin bukan kakak kandung Jungkook seperti dia jadi sangat wajar kalau Seokjin masih bisa tersenyum didepan makam Jungkook.

"Maaf, ya. Kak Seokjin harus absen datang kesini. Kookie tidak marah, kan? Tapi seharusnya Kak Seokjin yang marah karena Kookie nakal sekali. Yah, Kak Seokjin adalah orang yang sangat baik, bukan? Ini buktinya kalau Kookie tidak percaya. Kak Seokjin memberikan hadiah bola basket padamu saat usiamu sudah sepuluh tahun. Eh bukan. Sebentar lagi maksudnya. Jadi, Kak Seokjin memberikannya sekarang karena Kak Seokjin tidak tau kapan bisa mengunjungi Kookie lagi"

Seokjin mengusap nisan Jungkook dan menatap tanggal kematian dan tanggal lahir anak itu dengan kesenduan.

Tanggal kematian, hari itu Seokjin juga ada disana. Dia menyaksikan sendiri proses membawa Jungkook dalam kondisi stabil namun gagal. Dokter-dokter yang bekerja dibawah kendali ayahnya sendiri gagal menanganinya.

Seokjin menatap Yoongi yang ternyata sahabatnya itu sudah menatapnya sejak tadi. "Aku pernah berjanji padanya untuk membelikan bola basket lalu ketika Kookie sudah pandai memainkannya, dia akan menunjukannya padamu, Yoon" jelasnya.

Seokjin menatap lagi nama Jungkook atau si Kookie yang tertulis di batu nisan didekat mereka berdua.

"Sekarang kau tau, kan? Banyak hal yang Kookie sembunyikan darimu. Dia berencana untuk membuat banyak kejutan agar kau bahagia" kata Seokjin lagi.

Yoongi masih belum menurunkan pandangannya. Seokjin juga perlahan mulai beralih untuk menatapnya lagi dengan tatapan yang berbeda dari sebelumnya. "Kau yakin ini yang Kookie mau darimu? Kau yakin Kookie akan bahagia melihat kakaknya seperti sekarang?"

"Lalu aku harus bagaimana?" sambar Yoongi dengan nada cepat dan wajah yang mulai mengeras perlahan-lahan. "Kau mau aku menjerit dan berteriak didepan makam adikku sekarang? Kau mau aku mengumpat pada Tuhan dan meminta adikku kembali?"

"Bukan!" sanggah Seokjin juga dengan cepat sama seperti yang Yoongi lakukan tadi. "Kau harus tau bahwa kebahagiaan tidak hanya diraih dengan pianomu" jeda Seokjin sejenak untuk mengambil bola basketnya lagi dan melemparnya pada Yoongi. "Setidaknya, temukan kebahagiaan lain yang membawa Kookie kepadamu. Bukankah kita bertiga sering memainkan bola itu bersama dulu? Kenapa kau hanya melihat piano sebagai jalanmu untuk mengucapkan selamat tinggal pada Kookie?!" desak Seokjin yang membuat hati Yoongi diselimuti dengan kebimbangan.

Seokjin berdiri dan menatap sekeliling. "Aku tidak tau bahwa kau bisa sesukses ini dengan menyiksa dirimu sendiri. Tapi yang aku fikirkan setelah melihat semua ini adalah Kookie tidak ingin melihat kakaknya semenderita ini" Seokjin memutar kepalanya dan menatap Yoongi yang masih terdiam disana.

"Kookie juga belum sempat mengucapkan selamat tinggal pada kita semua, Yoon. Dia juga kesakitan saat itu. Aku juga tidak pernah berfikir dia pergi secepat ini. Tapi dia selalu berusaha membuat senyuman ada bersamamu dan kebahagiaan selalu menyertaimu"

"Dia sudah membawa semuanya ketika dia pergi, Seokjin-ah" Yoongi mendongak terlebih dahulu sebelum menegakan lututnya. Yoongi mainkan sejenak bola basket milik Seokjin dan tersenyum pada bola itu.

"Aku tunggu hari minggu di lapangan basket tempat kita bertiga biasa latihan dulu. Di dekat sekolah Kookie. Kita bisa bermain dan aku akan mentraktirmu eskrim"

Kehadirannya Seokjin kali ini membuat Yoongi semakin terdorong untuk mengingat masa lalu. Eskrim, sekolah Jungkook, basket, semua itu bukan kebahagiaan Yoongi lagi sekarang.

Lalu apa? Seokjin seakan kehilangan akal untuk mengukir senyuman di wajah yang putih pucat itu lagi.

"Ngomong-ngomong, kau belum memberikan ucapan selamat padaku karena sudah memenangkan kompetisi"

Seokjin terpaku, terdiam melihat uluran tangan kanan Yoongi yang memberikan salam padanya. Piano itu sudah membawa Yoongi pada dunia kesedihannya. Seokjin dibuat tidak berdaya bahkan untuk membawa Yoongi pada kesenangan yang ia dapatkan dari basket. Tapi, baiklah. Besok di hari minggu dia dan Yoongi akan bertemu. Seokjin akan melihat Yoongi memainkan bola basketnya lagi.

Ucapan selamat? Bukan. Bagi Seokjin itu justru itu seperti ucapan terimakasih karena sudah mengingat Jungkook dan menyiksa diri sendiri dengan kepedihan yang kau pupuk. Namun Seokjin tetap menerima uluran tangan itu dan memberikan senyumannya yang begitu tipis.

"Sampai bertemu dihari minggu besok" balas Seokjin. []

Alone || FinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang