Chapter 16 The Silent

4.2K 498 32
                                    

DINY

Sudah jam 7 pagi tetapi mata Diny sama sekali tidak dapat terpejam. Setiap kali ia menutup kelopak matanya, ia bisa melihat ekspresi terkejut Deny ketika ia memberitahukan rahasia besarnya semalam. It would be better if Deny had said something, but he didn't. Ia hanya  beranjak dari sofa dan memalingkan wajahnya. Lalu, masuk ke kamarnya tanpa mengatakan sepatah kata-pun.

Meskipun Diny tidak melihatnya, ia bisa merasakan kekecewaan Deny terhadapnya. Deny yang diam adalah Deny yang sedang memberikan hukuman kepadanya. Diamnya Deny lebih mengerikan daripada Deny yang memarahinya habis-habisan. Itu membuat dadanya terasa berat, ia tidak akan tahan jika Deny benar-benar mendiaminya.

Oleh karena itu, begitu ia mendengar derit pintu yang menandakan Deny keluar dari kamarnya, Diny menyibakkan selimutnya dan bergegas keluar kamar. Ia akan menghadapi Deny. Apapun yang akan dikatakan oleh saudara kembarnya itu akan ia telan bulat-bulat. Toh, ia memang salah sudah menyembunyikan hal sebesar itu kepada Deny selama 2 tahun ini.

Ketika ia membuka pintu kamarnya, ia mendapati Deny yang sedang menyantap sarapan di meja makan. Kopi dan roti gandum panggang, sarapan favoritnya. Deny hanya meliriknya dengan mata yang tertutup poni rambutnya yang masih basah. Raut wajahnya dingin, bahkan membuat Diny ingin mundur teratur. Tetapi, ia tidak bisa. Ia ingin membicarakan ini dengan Deny.

Diny merapatkan bibirnya, ia menguatkan hatinya dan datang menghampiri Deny, "Aku tahu yang aku lakukan salah, Den. Aku minta..."

"Kalau kamu mau minta maaf, keep it..." Deny cepat-cepat memotong ucapan Diny. "Kamu enggak melakukan kesalahan apa-apa ke aku. Jadi aku rasa salah jika kamu minta maaf sama aku..." ucap Deny dingin.

"Aku merasa bersalah, Den. Enggak semestinya aku nyembunyiin hal sebesar ini dari kamu. Lalu, yang aku lakukan ini adalah suatu kesalahn dilihat dari sisi manapun. Juga karena, aku sudah mengecewakan kamu..." Diny berdiri di ujung meja makan, meremas-remas ujung bajunya. Ia tidak berani menatap Deny, tahu ia hanya akan mendapatkan tatapan dingin.

Deny menghela nafas dan menyilangkan tangannya ke depan dada. Ia menatap Diny dari balik poninya yang basah dan menjuntai tepat di atas alisnya. Seketika, ia merasakan betapa Deny merasa kecewa padanya. Kemudian, Deny berujar, "Semalam, begitu kamu mengatakannya, I just knew I couldn't be mad at you because you haven't told me the complete story. I just bent my moral so I didn't judge you immediately."

"You don't need to bend your moral..." Diny berjalan mendekati Deny dan kemudian duduk di sampingnya. "Karena aku sadar sepenuhnya bahwa apa yang aku lakukan salah. Kamu punya hak untuk menghakimi aku." Diny meraih tangan Deny.

"Lalu, apakah kamu juga sadar bahwa yang kamu lakukan ini adalah tindakan menyakiti diri sendiri? Bahkan aku sadar hal itu, Din..."

Mata Diny mulai berkaca-kaca dan suaranya mulai terdengar parau. "Aku sayang banget sama dia sampai aku menikmati rasa sakit itu."

Rahang Deny mengeras, ia mengepalkan tangannya, "Aku bener-bener enggak mau mengatakan ini, tapi..." Deny memberinya tatapan tajam, "Itu adalah hal paling bodoh yang pernah aku dengar. Kamu menikmatinya? Lalu, bagaimana dengan orang-orang yang kamu lukai? Apakah mereka menikmatinya rasa sakit itu seperti kamu?"

Ucapan itu bagaikan tamparan yang sangat menyakitkan untuk Diny, "That's mean... Kamu kira aku enggak pernah memikirkan itu?!?" tanya Diny, nadanya sedikit naik.

"Bagus kalau kamu memang pernah memikirkan itu jadi kamu sadar bahwa yang kamu lakukan salah. Pikirkan tentang keluarganya dia, aku, orang tua kita dan..."

"Nicky..." ucap Diny dengan suara parau, setitik air mata mengalir di pipinya. Sebenarnya, ia menolak untuk memikirkan apa yang akan terjadi jika ia mengatakan hal ini kepada Nicky. Ia tahu begitu ia memikirkannya maka pikiran bahwa Nicky akan meninggalkannya akan menjadi semakit nyata. "Ooh, God..." Diny mendesah. menyeka air matanya yang sudah membasahi pipinya.

Two Come TrueWhere stories live. Discover now