Chapter 4 The Apartment

8K 665 21
                                    

DENY

Sudah hampir jam 9 malam dan Deny baru saja memarkir mobilnya di pelataran parkir apartemennya yang hanya berjarak setengah jam dari kantornya, kalau tidak macet. Ia dan Diny mendapatkan apartemen ini waktu ulang tahun mereka yang ke-21 dari kolega Ayah mereka. Sebuah apartemen dengan 3 kamar, full furnished.

Sejak kuliah mereka sudah tinggal di apartemen ini karena Ayah yang mengharuskan mereka untuk hidup mandiri selulusnya dari kuliah. Waktu mereka pindah ke apartemen ini, Ibu mereka menangis tersedu-sedu, memberikan berbagai macam nasihat dan wejangan tiada henti. Sampai akhirnya Diny memutar matanya dan berkata bahwa apartemen mereka hanya berjarak 20 menit jalan kaki dari rumah, barulah Ibu mereka melepaskan pelukan eratnya.

Memang apartemen dan rumah orang tua mereka masih cukup dekat. Makanya Ibu mereka terkadang bisa menyuruh asistennya mengantar makanan dan membersihkan apartemen mereka.

Deny membuka pintu apartemennya dan melihat ruang tamu kecil yang diisi dengan sofa abu-abu 3 dudukkan berbahan suede di kiri dan kanannya serta meja yang cukup lebar. Mereka berdua sengaja membuat ruang tamu mereka lebih kecil karena sadar mereka tidak akan menghabiskan waktu di ruang tamu. Berbeda dengan ruang tengah yang sangat luas bernuansa abu-abu dan putih dengan kaca-kaca besar yang membingkai pemandangan ibu kota. Di tengah-tengahnya ada TV 64-inch dan di meja bawahnya ada Playstation 4 dan DVD / Blue-ray Player. Dindingnya dihiasi dengan lukisan hitam putih Darth Vader and Stormtrooper berukuran besar. Diny tidak keberatan, ia fans Darth Vader sejak ia berpikir Darth Vader itu sebenarnya seganteng Hayden Christensen.

Begitu ia sampai di ruang tengah, ia melihat Diny dan Nicky sedang duduk di sofa kulit sintetis berwarna abu-abu, menatap layar TV dengan sangat serius. Di tangan Diny ada puding, makan malam favoritnya. Dan, itu bukan pudding mahal dari restoran fine dining, tapi puding yang dijual di supermarket dengan harga kurang dari 5000 rupiah.

"Din, kamu harus mulai makan malam yang beneran, deh," ucapnya sambil duduk di sofa, ia segera melepas dasinya dan melemparnya begitu saja. Sekarang ia mulai melepas sepatu dan kaos kakinya.

"Tadi udah makan Indomie kok sebelum pulang. Tanya aja sama Nicky," jawabnya sambil menunjuk Nicky yang langsung mengangguk sementara matanya masih fokus ke layar televisi.

Deny mendesah, berpikir kalau Indomie memang enak setengah mati, tetapi juga bukan makanan yang sebenarnya. Ia lalu menyenderkan punggungnya ke lengan sofa dan memeluk bantal besar yang super empuk. "Nonton apaan, sih?"

"Justice League," ucap Nicky datar.

"Serius?" Deny terkekeh. Setelah mengambil segelas air ia duduk di samping mereka dan menonton adegan pertempuran terakhir "Kenapa Whedon bikin endingnya sangat deus ex machina, ya?"

Diny memutar bola mata-nya, "Aku baca di Twitter adegan terakhir ini mestinya bukan one man show-nya Superman, ya. Damn you, Whedon! DC harus rilis the Snyder Cut!" seru Diny dengan wajah geregetan, Nicky terlihat menepuk-nepuk punggung Diny.

Melihat itu, terkadang Deny berpikir affection Nicky ke saudari kembarnya jauh di atas affection terhadap sahabat. Tetapi, Nicky menahan diri untuk menelaah itu lebih jauh karena tahu Diny sudah lama bersama dengan seseorang. Sepertinya sejak Diny pulang dari Beijing, yang berarti sekitar 2 tahun yang lalu. Tetapi, Diny tidak pernah membawa seseorang ini untuk bertemu dengannya ataupun keluarga mereka. Satu kali-pun. Orang tua kami juga sudah menanyakannya, tetapi Diny selalu mengelak dengan berbagai macam alasan. Jadi, tidak ada yang ia ketahui tentang kekasih saudari kembarnya ini.

Oh, kecuali namanya.

Reza.

DINY

Setelah mereka selesai menonton, Nicky pamit pulang. Ketika ia mengantarkannya sampai ke pintu, Nicky bertanya, "Din, 'Liar Game' udah selesai ditonton?" tanyanya di ambang pintu. "Kalau udah selesai besok gue bawain season 2-nya di USB."

Two Come TrueWhere stories live. Discover now