Chapter 3 The Lunch

9.8K 768 39
                                    

DINY

Tidak ada pesan masuk.

Juga tidak ada telepon yang ia lewati.

Padahal biasanya pria itu selalu mengabarinya sehari sebelum bertemu. Pria itu biasanya akan memberitahunya secara rinci, apakah dia akan menjemputnya atau menunggu di suatu tempat. Namun, sekarang sudah seminggu sejak pertemuan mereka dan masih belum ada kabar. Mungkin Diny terlalu memikirkannya, tetapi hal-hal kecil seperti ini yang membuatnya resah. Seperti ada kabar buruk yang menanti.

Yah, dengan status hubungannya dengan pria itu yang seperti sekarang, ia mau tidak mau memang harus siap dengan kabar buruk.

Ia sedang mendesah lesu ketika Nicky menepuk punggungnya. "Nasi capcay lagi? Enggak bosen apa?" tanyanya sambil duduk di seberang Diny. Ia diikuti oleh Satria dan Vincent yang langsung mengambil tempat masing-masing di sebelah Nicky dan Diny.

"Lo sendiri enggak bosen tiap hari nasi katsu terus?" balasnya tak mau kalah.

"Katsu itu adalah simbol kebudayaan Jepang yang paling sederhana," ucapnya bangga. Bahkan sampai makanan saja Nicky ini lebih menyukai makanan Jepang, Terkecuali Indomie. Untuknya tidak ada mi instan yang rasanya melebihi kenikmatan Indomie.

"Bukannya simbol kebudayaan makanan Jepang itu ramen, ya? Bahkan tiap keluarga di Jepang konon punya resep sendiri-sendiri," komentar Satria sambil menyuap rawonnya.

"Eh, bukannya sushi, ya?" Vincent menimpali saat sedang menaruh sambal ke sotonya.

"Sumpah, pembahasan ini enggak penting banget!" ucap Diny sambil menyuap makanannya. Lalu, ia melihat seorang pria tua dengan kulit kecoklatan yang berjalan di kejauhan dengan membawa nampan, "Pak Yoyo!" panggilnya. Pria tua itu dengan senyuman lebar menghampirinya. "Makanan si bos sudah diantar?" tanyanya ketika pria tua itu mendekat.

"Sudah, sudah. Nasi goreng cabe hijau, kan hari ini? Beres!" Pak Yoyo mengangkat kedua jempolnya.

"Makasih!" serunya riang dan Pak Yoyo berlalu.

Nicky mencelupkan katsu ayam-nya ke saus sambal ketika bertanya, "Deny masih belum mau turun ke kantin?"

Vincent dan Satria melihat Diny, mereka berdua salah dua yang tahu kalau Diny adalah saudara kembar Deny, Sales Director mereka yang tersohor itu. Mereka berdua terlalu sering makan siang bersama Diny yang selalu nanya ke Pak Yoyo apakah makanan untuk saudara kembarnya itu sudah diantar. Jadi daripada ia repot ngeles, lebih baik diberitahukan saja sekalian. Lagipula mereka berdua jelas bukan tipe cowok-cowok pantry gossiper.

Diny menatap Nicky dengan sinis, "Lo tahu dia enggak suka keramaian. Kembaran gue itu, enggak terlalu suka diliatin orang banyak seolah-olah dia itu makhluk purbakala."

Perasaan tidak suka diperhatikan juga dirasakan oleh Diny. Ini adalah salah satu kesamaannya dengan Deny. Namun, seiring waktu ia tahu ia harus berani. Diny kemudian belajar untuk menyerap semua perhatian itu alih-alih menghindarinya seperti Deny. Terutama setelah ia pergi travelling ke berbagai belahan dunia dan berbagi cerita dan perspektif dengan orang-orang yang ditemuinya.

Sambil mengunyah makanannya, Diny melihat layar ponsel-nya yang ternyata memberi notifikasi bahwa dia telah menerima satu pesan. Dari Deny. Tumben sekali Deny mengiriminya pesan, biasanya pasti langsung telepon. Ia membuka pesan itu dan pupil mata-nya melebar ketika membacanya.

Deny: Tahu anak contract approval yang namanya Karina?

"Wow..." tanpa sadar Diny bergumam.

Baiklah, ini benar-benar tidak biasa, pikir Diny. Saudara kembarnya itu tidak pernah menunjukkan ketertarikan kepada seorang cewek-pun. Termasuk di masa remajanya yang seharusnya penuh gejolak hormon itu.

Two Come TrueTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon