[23]-Kemunculan

696 93 0
                                    

Iqbaal masih marah sebenarnya, tapi dia hanya akan membesarkan masalah karena keteledoran dirinya sendiri yang belum membuat aturan baru mengenai perizinan masuk ke dalam kamarnya. Jadi, untuk menormalkan kembali suasana, dia berdeham dan mulai turun dari tempat tidur. "Ada apa?"

Pak Gema masih membelakangi. Menjawab dengan intonasi yang jelas. "Arbani ingin berbicara dengan Anda di taman atap."

"Kenapa dia tidak masuk saja ke sini?" tanya Iqbaal.

"Saya juga tidak tahu, Pak."

Iqbaal tampak merenung. "Baiklah. Saya akan ke sana sebentar lagi."

Pak Gema pergi setelah mendapat jawaban dari Iqbaal.

Sepeninggal Pak Gema, Iqbaal melirik (Namakamu) yang masih beracting sedang membaca buku. Dia tertawa kecil. "Tandai yang mau kamu lakuin hari ini," kata Iqbaal.

(Namakamu) menghela napas lega. Pandangannya langsung teralih pada pintu yang sudah tertutup. "Baal! hampir aja."

Iqbaal mengusap kepala (Namakamu). "(Namakamu), aku nggak akan mengadakan pengulangan. Aku selalu bilang, aku suka hal-hal yang dewasa." Dia meninggalkan (Namakamu) di kamar setelah membuat kondisi jantung (Namakamu) memburuk.

(Namakamu) memegangi dadanya seraya menelusupkan kepalanya pada bantal.

***

Iqbaal belum berhenti tersenyum. Dia akan menemui Arbani menggunakan lift khusus yang akan menghantarkannya langsung pada atap.

Selagi berkacak pinggang, setelah menekan digit angka di lift sebelumnya, telepon dalam saku Iqbaal berdering. Iqbaal sedikit mengernyit karena nomor yang meneleponnya merupakan nomor yang tidak dikenal. Meski ragu, Iqbaal tetap mengangkat telepon tersebut. "Hallo."

"Hallo ...."

Mata Iqbaal membelalak lebar. Ada tulisan yang tertera di depannya, persis seperti apa yang dikatakan si penelepon.

"Anda di mana?"

Suara itu terdengar menyeramkan. Suara yang ... sempat Iqbaal dengar sebelum dia mendapat banyak luka tusuk di tubuhnya.

"Bagaimana bisa Anda hidup lagi?"

Dahi Iqbaal berkerut semakin dalam. Tulisan yang terpampang di depannya mendadak lenyap begitu saja. Pun, tidak ada lagi suara yang terdengar di balik telepon. Iqbaal menekan kontak informasi di tombol lift.

"Pak Iqbaal, Anda baik-baik saja?" Salah satu tim kemanan bertanya melalui speaker.

"Ya, semua baik-baik saja." Iqbaal berantonim karena masih sibuk memikirkan siapa kira-kira yang meneleponnya tadi? Kenapa dia merasa familiar dan ... apakah terkaan sementaranya benar?

"Kenapa Anda menekan tombol darurat?"

"Saya salah tekan," balas Iqbaal.

"Baik Pak."

Iqbaal memandang ponsel miliknya. Dia harus membicarakan hal ini pada Arbani.

"Baal."

Arbani benar-benar menunggu Iqbaal seperti apa yang dikatakan oleh Pak Gema.

Iqbaal masuk ke dalam rumah kaca, dia segera memberikan ponselnya pada Arbani. "Gue minta tolong supaya lo lacak nomor ini."

"Nomor yang mana?" tanya Arbani.

"Nomor yang telepon gue barusan. Cari identitas peneleponnya. Kayaknya ada yang aneh." Iqbaal menggoyangkan ponselnya.

"Ok." Arbani mengambil alih ponsel tersebut dan menyimpannya ke dalam saku celana.

W [IqNam Series]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang