6. Kesepakatan

254K 14.9K 1K
                                    

Yok yang mesoom yang mesoom yang mesoom 😆

Selasa rasa malam Jumat Tank 👌🏻
____________

"Apa lo mau misalnya gue ajak mulai semuanya dari awal?"

Rania kembali membuka mata. Tetap saja ragu, walaupun mustahil jika ia salah dengar. Perlahan menoleh untuk kembali menatap Bara.

Lama Rania menatap Bara. Hingga tiba-tiba saja wajah serius Bara berubah geli lalu tertawa pelan.

"Lo gak mungkin ngarep kalau gue serius, kan?" kata Bara bangkit untuk duduk.

Rania kembali menatap langit-langit kamar tanpa mengucapkan sepatah kata. Kembali menoleh ketika merasakan tempat tidurnya bergerak, menemukan Bara yang hendak turun dari ranjang.

"Kayaknya emang gue gak bisa kalo harus seranjang sama lo," kata Bara Bangkit. "Gue tidur di sofa aja," tambahnya lalu mulai beranjak.

"Aku gak ngarep kamu serius bilang yang tadi," kata Rania. "Tapi aku tahu, kamu gak pernah seserius itu ngomong sama aku sebelumnya."

Kata-kata Rania membuat langkah Bara terhenti. Dadanya terasa tak nyaman. Bukan ketahuan bohong yang menjadi penyebabnya. Tapi kecemasan akan tanggapan Rania mengenai hal itu. Ia menoleh untuk bisa melihat wanita itu. Rania nampak masih tenang justru terkesan tidak berniat untuk menanggapi.

"Tapi keliatannya lo gak tertarik," tebak Bara terdengar kembali serius.

"Hmm," jawab Rania menggumam. "Aku tetap akan ajukan surat gugatannya."

"Segampang itu?" tanya Bara tersenyum masam setengah tak percaya.

"Kita gak punya apa-apa Bara. Gak ada kenangan atau yang lainnya," jawab Rania. "Gak ada yang perlu aku pertahanin dari kamu."

Cara Rania mengucapkannya dengan tenang membuat kata-kata itu terdengar lebih dingin.

"Nyokap gue?" tawar Bara menyanggah pernyataan Rania.

Kata-kata Bara berhasil membuat Rania langsung menatap wajah suaminya. Rania nampak marah. "Jangan bawa-bawa Mama Bar!"

Bara tersenyum dengan licik. Rania selalu terlihat tenang dan sabar tapi sepertinya baru saja Bara temukan kelemahannya.

"Jawab gue! Sebenernya ada apa antara lo sama Mama?" Bara mendekat untuk duduk di tepi ranjang. "Kemaren lo sama syarat aneh lo itu juga lo bilang karena Mama, kan?"

Rania bangkit untuk duduk dan menghadap langsung dengan Bara. "Itu urusanku sama Mama, gak ada hubungannya sama kamu."

"Gak ada hubungannya?" tanya Bara tak percaya. "Gue yang nidurin lo karena syarat aneh yang lo bilang karena Mama itu Rania. Gimana bisa gue gak ada hubungannya?"

Rania terdiam, menghela nafas pelan coba bersabar. Bagaimanapun juga perkataan Bara ada benarnya dan ia bingung bagaimana mau menyanggahnya.

"Kenapa kamu jadi kayak gini sih Bar? Kemarin kamu sendiri yang minta aku tanda tangani surat perjanjian cerainya..."

"Satu bulan," potong Bara menunjukkan jari telunjuknya.

Rania berkerut dahi tak paham akan apa yang dimaksud Bara dengan satu bulan.

"Syarat terakhir sebelum gue ajuin surat cerainya," jelas Bara.

"Syarat?" tanya Rania tak percaya. "Syarat buat apa? Aku sudah bilang, kalau kamu gak mau ajukan surat perjanjiannya, biar aku yang ajukan gugatan. Dan aku gak butuh persetujuan kamu buat itu. Tanpa persetujuan kamu pun aku yakin itu akan disetujui dengan mudah."

Kesempatan Kedua [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang