08

7 0 0
                                    

Aku berlari masuk ke dalam rumah, melihat pintu rumah yang terbuka lebar dan suara riuh dari dalamnya, membuat perasaanku semakin tidak enak.

Baru sampai di ruang tamu, aku sudah dapat mendengar suara tangis histeris terdengar dari dapur. Aku berlari kembali dan melihat Arvy terduduk di lantai dengan sesuatu yang terbakar disana.

Boneka pemberian Mama untuk Arvy, itulah yang terbakar disana dan Arvy terus menangis sedangkan Papa hanya menatapnya dingin. Tante Tiara berdiri disamping Arvy, namun Arvy terus mengusirnya.

"PERGI SANA!! KARENA TANTE, MAMA MENINGGAL!!!" teriak Arvy sembari berdiri dan mendorong tubuh tante Tiara. Papa malah menghampiri mereka dan hampir menampar Arvy.

"CUKUP PAH!" teriakku, mataku menatap Papa nyalang, aku mengambil vas bunga di atas rak, menyiramkan air di dalam vas untuk mematikan api yang membakar setengah dari boneka kesayangan Arvy itu.

Papa menghempaskan tanganku dengan kasar, aku menatap Arvy dan sudut bibirnya sobek. Aku menatap Papa dengan tatapan marah, "PAPA APAIN ARVY?!" bentakku dan Papa menamparku dengan kencangnya.

Aku merasakan mulutku terasa asin dan sudut bibirku sobek, berdarah. Aku menatap Papa dengan tatapan tajam padanya, apa dia masih pantas dipanggil Papa?

Tante Tiara menghampiriku, "Udah Fy! Jangan diterusin! Papa kamu pasti lagi capek!" lerainya dan aku menatap istri baru Papaku itu dengan mata sinis.

"Haruskah dia menampar anak kandungnya sendiri dengan alasan capek?! Tante Tiara mendingan diem aja, karena ini urusan Fya dan Papa!" suruhku dan Tante Tiara mundur beberapa langkah.

Aku menatap Bi Minah, pembantu rumahku, "Bi, bawa Arvy ke kamarnya! Obatin lukanya juga, tolong jagain sebentar!" perintahku dan Bi Minah membawa Arvy ke kamarnya.

Setelah memastikan Arvy pergi, aku menatap Papa dengan tatapan sinis, "Dengar, Papa gak bisa maksain Arvy untuk terima tante Tiara!" ujarku tegas.

"Anak itu kurang ajar! Dia mendorong ibunya sendiri!!" bentak Papa dengan tatapan penuh amarahnya. Aku tersenyum miring, "Sejak kapan Tante Tiara adalah ibu Arvy dan juga Fya? Sejak kapan kami berdua setuju soal itu?!" tanyaku lagi dan Papa hampir menamparku kembali namun tante Tiara menahannya.

"Biarin! Biarin laki-laki ini menampar Fya! Dia gak becus jadi orang tua, mana ada orang tua yang tidak mengurus anaknya sendiri? Mana ada orang tua yang menampar anaknya sendiri? Mana ada orang tua yang menikah lagi tanpa persetujuan anaknya? MANA ADA?!" bentakku, rahangku mengeras dan tatapanku menajam.

Amarah telah mencapai ubun-ubunku, amarah yang telah kupendam sejak beberapa tahun ini akhirnya dapat kukeluarkan. Rasa kecewa, sakit hati, dan rasa tidak dianggap sebagai anak oleh orang tuanya sendiri membuat keluargaku hancur.

"Anak tidak tahu diri!! Kamu ingin jadi seperti kakakmu itu, IYA?! Dasar tidak tahu malu! Hidup masih sama orang tua, kamu pikir kamu bisa hidup tanpa orang tua?!! Ini ajaran Mama kamu, benar-benar tidak tau terima kasih!" bentak Papa dan aku memukul Papa kencang.

"DIAM! ANDA TIDAK BERHAK MENGHINA MAMA SAYA!! ANDA TIDAK PUNYA MALU SEKALI YA?! ANDA PIKIR SAYA TIDAK TAU JIKA RUMAH INI ADALAH RUMAH ATAS NAMA MAMA SAYA DAN ANDA SERTA ISTRI ANDA ADALAH SATU-SATUNYA YANG MENUMPANG DI RUMAH MAMA SAYA!!!" bentakku dan mendorong tubuh Papa hingga jatuh.

"Saya tau segalanya, saya bisa melaporkan anda ke polisi atas tindakan penganiayaan dan tindakan pengambilan hak orang lain!" ancamku dan Papa terdiam.

"Anda dan istri anda sudah sepatutnya bersikap sopan disini, karena rumah serta harta milik Mama adalah milik saya, Arvy dan Bang Renan. Tidak ada sepeserpun untuk anda, Pak Wirawan yang terhormat!!" tunjukku lalu menatap tante Tiara dengan tajam.

DAFYANơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ