05

5 0 0
                                    

Setelah kembali pukul 11 malam dari batu besar itu, kami langsung menuju penginapan masing-masing dan tidur. Dan sekarang, masih pukul 5 pagi, Amara, Niken, Abrar, Davian dan Daffa sudah mulai sibuk karenaku.

Tubuhku panas dan flu langsung menyerangku karena suhu dingin perbukitan yang setiap menit terus menurun. Amara dan Niken terus menjagaku di kamar, memasang 2 penghangat ruangan, bahkan aku terpaksa dipindahkan ke penginapan khusus milik Abrar, Davian dan Daffa karena fasilitasnya lebih bagus.

Semua siswa masih tertidur dan sebagian guru-guru pun masih tertidur. Hanya guru yang bertugas jaga yang ikut sibuk mengurusku.

"Duh, lu makin panas banget sih!" keluh Amara, aku tidak dapat membuka kedua kelopak mataku, rasanya berat apalagi hidungku rasanya gatal sekali.

Aku tidak tau sudah berapa lapis selimut yang kupakai, belum lagi jaketku, Abrar, Davian dan Daffa yang kupakai karena tubuhku benar-benar menggigil kedinginan.

Pintu penginapan dibuka, angin dingin masuk ke dalam ruangan namun dengan cepat kembali tertutup. Aku hanya mendengar suara obrolan kecil antara Abrar dan Amara lalu aku merasa seseorang menyentil dahiku.

Aku membuka mataku sedikit, melihat wajah Daffa yang tetap dingin, tidak aneh dan aku sudah biasa. Daffa membantuku untuk duduk dan aku bersender pada kepala tempat tidur.

"Bandel sih! Dibilangin kemaren balik ke penginapan jam 9 aja, malah minta jam 11! Segala tiduran di atas batu lagi, kalau gini kan jadinya ngerepotin!" ucap Daffa dengan ketusnya, namun ia terus membantuku untuk minum teh hangat yang telah dibuatkan.

Niken kembali dengan membawa semangkuk sop buntut, aku tersenyum lebar. Namun senyumku hilang ketika Niken malah menyerahkannya pada Daffa dan Niken memberikan semangkuk bubur padaku.

Aku menatap sop buntut dengan tatapan lapar, aku ingin sop buntut itu. Namun Daffa tetaplah Daffa, ia memakan sop buntutnya tepat di depanku, seolah-olah mengejekku.

"Apa?" tanyanya karena menyadari jika aku terus menerus menatap sop buntut miliknya.

"Lu makan bubur, masa orang sakit makan sop buntut!" ucap Daffa lalu berjalan duduk di kursi yang berada di ujung kamar penginapan.

Aku memajukan bibirku, rasanya aku benar-benar merasa lapar, aku ingin sop buntut. "Gak mau bubur!" ujarku dengan kesal, Daffa hanya menoleh dan tidak memedulikanku.

"Daf, Fya gak sakit! Fya minta sop buntutnya dong!" pintaku namun Daffa berdecak, "Lu sakit! Lu makan bubur!" perintahnya namun aku menggeleng.

Aku melepas semua selimut yang melapisi tubuhku, kakiku langsung terserang angin dingin. Namun demi sop buntut, apapun akan kulakukan.

"Tuh, Fya sehat kok!" ucapku, tak dapat kupungkiri jika kepalaku pusing ketika aku berusaha berdiri. Aku pun kembali duduk di atas tempat tidur yang sebenarnya milik Daffa itu dan menatap Daffa dengan tatapan memohon.

"Daf, please! Fya minta sop buntut sedikit aja!" pintaku dan Daffa menghampiri namun ia tidak menyerahkannya.

"Enggak, lu bandel karena lu gak mau pake jaket pas tadi malem! Sekarang rasain tuh sakit!" ujar Daffa dengan dingin. Aku kembali memajukan bibirku, mataku mulai berkaca-kaca karena kepalaku sangat pusing.

"Iya, Fya bandel! Iya, Fya salah! Fya minta maaf! Fya janji gak bakal bandel lagi, gak bakal ngelawan lagi! Fya bakal ngelakuin apapun yang lu semua suruh, Fya janji!!" ujarku dengan cepat lalu menarik kembali selimut untuk menyelimuti tubuhku lagi.

Daffa terkekeh pelan, membuat Abrar, Niken, Amara dan Davian yang sedari tadi menyaksikan kami merasa terkejut karena kekehan seorang Daffa.

Mataku membulat ketika Daffa menghampiriku lalu duduk di sampingku sembari membawa semangkuk sop buntut di tangannya.

DAFYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang