04

20 0 0
                                    

Setelah kejadian Daffa si bodoh itu, hidupku benar-benar sulit. Aku benar-benar sulit untuk pergi keluar dari kelas, untunglah aku sekelas dengan Amara dan Niken.

Setiap istirahat, aku makan di ruang OSIS atau di ruang Jurnalis. Mengerjakan laporan proposal, laporan sponsor dan laporan keuangan lainnya yang harus ditandatangani oleh kepala sekolah. Makan siang ku akan dibeli oleh Amara dan kami semua memakannya di ruang OSIS.

Dan sekarang adalah tanggal 31 januari, seperti biasanya, setiap akhir bulan, sekolahku mengadakan karyawisata kota sebagai kegiatan penyegar untuk siswa. Jangan bertanya kenapa karyawisata bisa diadakan setiap bulan, itu pasti karena orang tua Abrar dan donatur sekolah yaitu orang tua Daffa yang mengatur keuangannya. Kali ini, kami akan pergi ke hutan pinus di sekitar perbukitan.

"Fy, lu lemes banget sih?" tanya Amara, membuat Abrar, Davian dan Niken langsung menatapku. Aku menggeleng lalu memalingkan wajahku ke arah lain, beberapa hari ini aku terlalu sering cemas hingga sulit tidur.

Sejak kejadian itu, aku ketakutan untuk pergi kemana-mana, pergi ke kantin, ke kamar mandi, bahkan ke ruang Jurnalis saja aku perlu ditemani. Entah kenapa, setelah hari itu, aku merasa nyawaku tengah terancam.

"Sebentar lagi Daffa dateng!" ujar Davian, aku menggerutu, laki-laki itu pasti telat bangun. Dasar menyebalkan! Karena dia terlambat, kita harus menunda keberangkatan disaat semua siswa sudah datang dan duduk di bisnya masing-masing.

Dengan kesal, aku menaruh tas ranselku di kursi kosong di sebelahku. Kemarin, di grup chat kami, Daffa bilang kalau dia ingin duduk bersamaku karena katanya Linenya penuh chat perempuan yang meminta duduk bersamanya.

Jadi, aku ini seperti pawangnya penggemar Daffa. Dan itu artinya, aku adalah korban penyiksaan penggemar Daffa jika laki-laki brengsek itu berani melakukan sesuatu yang berlebihan. Kalian mengertilah maksudku.

Seseorang datang, mengangkat tasku dan melemparkannya pelan ke arahku kemudian duduk di sebelahku. Amara dan Niken pun terkejut dan serempak bangun dari duduknya.

"Saskia lu ngapain duduk disitu?" tanya Amara dengan nada sewotnya, wajarkan saja, Amara sedang datang bulan.

"Terserah gue mau duduk dimana! Lagian ini kosong!" jawabnya santai lalu tersenyum miring. Aku benar-benar tidak mengerti dengan otak gadis ini.

"Kursi itu udah ada yang punya! Mendingan lu cari tempat lain" usir Niken tapi Saskia terkekeh dengan nada mengejek.

"Kursi ini ada yang punya? Mana? Gak ada tulisannya kok?" ujarnya pura-pura mencari sesuatu di kursi itu seolah-olah mengejek Niken.

Aku berdecak pelan, lalu memalingkan wajahku ke arah lain. Aku merasakan mesin bis itu dinyalakan, membuatku terheran. Bukannya Daffa belum datang?

"Nyariin siapa? Daffa? Palingan dia duduk di bis lain!" ujar Saskia dengan tatapan meledek, aku hanya menghiraukannya lalu mengirimkan chat pada Daffa.

Daffa

Daffa

Dimana lu?

Udah mau jalan nih bisnya

Read

Daffa langsung membaca pesanku, apa itu artinya dia sudah sampai di sekolah?

"Untung gua duduk disini, itu artinya Daffa gak perlu duduk sama lu! Bisa gatel-gatel nanti Daffa, kasian!" ledek Saskia lagi dan rasanya aku benar-benar ingin mencakar mulutnya.

DAFYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang