Bab 24 : Keputusan

1K 67 4
                                    

Beberapa hari setelah vonis dokter.

"Ma, aku nggak sanggup belajar...." Ujarku. "Padahal kan, OSN sebentar lagi,"

Ah, nyeri dada ini datang lagi. Aku meringis. "Sakit, Ma..."

"Sudahlah, Dri. Istirahat dulu. Nggak usah memikirkan OSN," kata Mama.

    "Tapi kalau gagal gimana? Aku kan, harus belajar, Ma," kataku. Duh, semakin aku berbicara, semakin sesak saja. Paru-paruku terasa penuh.

    "Kesehatanmu lebih penting sekarang. Sudah, kamu istirahat baik-baik dulu, ya? Kita ikut OSN lagi tahun depan," Mama mengusap rambutku, lagi.

     Aku mengangguk. Memang, aku terlalu sakit untuk belajar. Aku kelelahan.

Apakah aku bisa dibilang menyerah?

    Ku pandangi langit-langit kamar. Kupikirkan kondisiku yang semakin parah. Mimpi yang terpaksa harus direlakan dulu. Aku yang sepertinya akan bergantung pada tabung oksigen seumur hidup. Satu bulan di rumah sakit, dengan kondisi yang semakin memburuk.

    Aku mulai pusing memikirkannya. "Haah" aku mengantuk. Baiklah, aku memang harus tidur.

Kupejamkan mataku, hingga tanpa sadar terlelap.

~Story of Two Dreams~

"Abang jahat!" Teriak seorang anak kecil di depanku. "Jahat, jahat, jahat!"

    "Kamu siapa sih, Dik? Dari tadi bilang aku jahat. Apa salahku?" Jawabku kesal.

    "Abang sudah bunuh mimpiku! Menyerah! Ragu! Berhenti hanya gara-gara vonis hidup enam bulan! Abang tega! Jahat sama aku! Hiks...." Ia malah menangis.

    Aku memperhatikan rupanya. Kira-kira, seusia anak SD. Wajah bulatnya mirip denganku. Sangat mirip. Bahkan, mata coklat dan kulit pucatnya. Persis. Siapa anak ini?

     "Aku ini masa kecilmu, Bang! Adrian saat masih sembilan tahun! Abang ingat, hiks, saat Abang menonton berita itu? Mereka, para juara olimpiade fisika internasional...." Tanyanya, masih terisak. "Abang bermimpi, ingin menjadi seperti mereka, kan?"

"Iya, memang kenapa?" Ujarku.

    "Kenapa sekarang Abang bunuh mimpi itu? Abang mulai berpikir untuk menyerah. Abang mulai ragu. Bahkan, Abang tidak belajar fisika selama beberapa hari ini!"

Ia terus menangis, membuatku tak tega. Kupeluk ia sambil berkata, "Adrian kecil, jangan menangis!"

     "Aku tak mau mimpi itu dibunuh, Bang! Aku ingin mimpiku tercapai! Aku ingin medali itu dikalungkan di leher Abang.

     Aku ingin, Abang bisa buktikan, kalau kata-kata orang salah! Aku ingin, meskipun sakit, tapi Abang bisa!" Ia terus berteriak.

Aku memeluknya semakin erat. Ia terisak.

    "Abang nggak boleh menyerah. Tetap berjuang, ya? Demi aku, masa kecil Abang,"

Belum sempat aku mengangguk, tubuhnya memudar.

~Story of Two Dreams~

     Aku terbangun. Mimpi saat tidur siang tadi cukup membuatku sedih. Masa kecilku yang kecewa dengan tindakanku. Kecewa denganku yang mungkin akan menyerah. Kecewa karena aku memutuskan untuk menunda menggapai mimpi.

    Ya, bagaimana lagi? Kondisiku kini tidak lagi sama. Jauh lebih buruk daripada biasanya. Kurasa, memang tidak memungkinkan untuk mengikuti OSN. Berhenti saja, kan?

Tapi, mimpi siang tadi membuatku memikirkan ulang keputusan ini.

    Di satu sisi, aku merasa tak sanggup lagi belajar. Di sisi lain, waktu hidupku tak lama lagi. Bukankah akan sangat sia-sia, kalau aku mati sebelum mimpiku tercapai?

Aku menyalakan ponselku, memutuskan untuk mengirim pesan WhatsApp kepada Pak Surya. Meminta solusi untuk ini.

"Assalamu 'alaikum, Pak Surya. Ada yang ingin ku bicarakan.

     Aku ingin memberitahu Bapak, kalau sekarang kondisiku semakin parah. Bahkan, aku tak sanggup belajar hari ini. Sementara OSN kan sebentar lagi. Menurut Bapak, apa sebaiknya aku ikut di tahun depan saja, atau tetap berusaha untuk tahun ini? Oh iya, Pak. Dokter bilang, umurku tinggal 6 bulan lagi.

Terima kasih,"

~Story of Two Dreams~

Balasan pesan dari Pak Surya akhirnya tiba.

    "Waalaikum salam, Adrian. Bapak tahu, pasti rasanya berat ketika kondisimu semakin parah. Bahkan, kamu sampai tidak bisa belajar fisika, padahal fisika adalah hidupmu, kan?
Bapak tahu, kamu sedang berjuang.

    Sebenarnya sih, terserah kamu, Dri. Kamu yang paling tahu kondisimu sendiri. Kamu yang paling tahu kemampuanmu. Kalau kamu ingin mundur, lalu ikut lagi di tahun depan, nggak apa-apa. Berarti kamu memprioritaskan kesehatan. Bagus itu.

     Tapi, kalau kamu memutuskan untuk tetap menggapai mimpi kamu, itu boleh juga. Apalagi, ketika sudah tahu vonis dokter. Kamu pasti ingin mimpimu tercapai, setidaknya sebelum pergi, kan? (Tapi, semoga saja umurmu panjang, Dri). Berarti, kamu memprioritaskan mimpimu. Itu bagus juga.

     Tapi, jika kamu memilih lanjut, kamu harus hati-hati. Tetap jaga kesehatan. Berusaha semampu kamu saja, jangan memforsir diri sendiri. Kalau kamu berhasil, ya berarti itu buah kerja kerasmu. Tapi kalau kamu gagal, rencana Tuhan lebih baik.

Namun, jika kamu minta saran Bapak,

     Sebaiknya, kamu tetap ikut. Namun, karena kondisimu sekarang tidak memungkinkan, istirahat saja dulu. Sampai kondisimu setidaknya memungkinkan. Jadi, kamu tetap ikut tahun ini.

    Semuanya terserah kamu, Dri. Ini hanya saran dari Bapak. Apapun keputusan yang kamu ambil, Bapak dukung.

Bapak percaya padamu. Dan, doa Bapak selalu untukmu"

     Aku tersenyum membaca balasan dari Pak Surya. Beliau sepenuhnya menyerahkan keputusan kepadaku, dan hanya memberi saran. Saran yang realistis dan tidak terkesan menyalahkan.

Ku lebarkan senyumku. Kini, aku tahu apa yang harus ku lakukan.

~Story of Two Dreams~












Hai!
Update lagi nih. Semoga suka!
Kalau suka, jangan lupa vote dan komentar ya!

Terima kasih telah membaca!

A Medal For AdrianOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz