Bab 11 : Kabur

1K 70 5
                                    

     "Adrian, kamu yakin dengan rencanamu ini?" tanya Mama heran setelah aku mengutarakan rencanaku untuk kabur. Aku mengangguk mantap, membetulkan posisi kanul hidungku.

    "Jangan nekat, Adrian. Bagaimana jika penyakitmu lebih parah di tempat lomba? Sudahlah, lebih baik menurut saja pada Pak Dokter," Mama tidak setuju. 

    Aku menghela napas. "Ma, sekarang aku sudah baikan kok. Ya, meskipun sedikit. Memang masih sesak sih, masih sakit banget. Aku memang masih lemah.

    Tapi, aku sanggup kok, Ma. Bukankah, sejak dulu aku adalah pejuang?" kataku, mencoba meyakinkan. Aku mencoba tersenyum, meskipun sebenarnya nyeri di dadaku sungguh menyiksa. "Uhuk!"

"Nak, tahun depan, kamu ikut lagi. Jangan memaksakan diri," Mama terus membujukku.

     "Ma... Bagaimana jika tahun depan penyakitku kambuh lagi, bahkan semakin parah? Bagaimana jika tahun depan, aku sudah tidak hidup lagi? Ma... Mumpung masih hidup, aku ingin menggapai semua mimpiku." kataku akhirnya. Ah, aku benci mengingat harapan hidupku. 

Mama terdiam, menatapku iba. "Baiklah."

Bibirku melengkung ke atas, tersenyum puas. Meskipun seluruh tubuhku masih merasakan sakit.

~Story of Two Dreams~

    Aku mengerjakan latihan soal fisika secara diam-diam, sementara Mama berjaga-jaga jika dr. Ismail datang. Sebenarnya, aku pun tidak diperbolehkan untuk belajar, hanya boleh istirahat. 

     Tapi, istirahat sepanjang waktu itu membosankan. Aku lebih memilih mengerjakan seratus soal fisika yang paling rumit dan membuat kepala pecah, daripada beristirahat dan tidak melakukan apapun seharian. Aku tahu ini kurang baik bagi kesehatanku, tapi aku tidak peduli.

"Adrian! Dr. Ismail datang," seru Mama. 

Aku buru-buru menyembunyikan buku kertas soal fisika di bawah bantal, lalu berpura-pura berbaring. 

Aman. Dr. Ismail pun masuk dan memeriksaku seperti biasa.

~Story of Two Dreams~

    Kemarin, dr. Ismail bilang bahwa kondisiku lebih baik dibandingkan hari pertama aku dirawat. Tuh kan, apa aku bilang. Aku pasti sanggup.

"Cepat, Adrian! Nanti ketahuan!" seru Mama sambil berlari di depanku. 

     Aku berusaha berjalan cepat meskipun sulit. Sebenarnya ingin berlari, tapi dengan paru-paru yang lemah, itu tidak mungkin. Ini saja sudah membuatku sesak.

"Hhh...Hhh...Uhuk!" paru-paruku seolah terbakar. Sesak sekali.

"Bagaimana, Adrian? Masih sanggup?" tanya Mama. 

"Hhh...Hhh.... Sebentar, Ma," kataku. Aku ingin beristirahat sebentar. 

Aku duduk sejenak. Akhirnya, sedikit lebih baik. "Ayo."

     Kami pun berjalan menuju taman rumah sakit. Kami akan kabur dari sana agar tidak dicurigai.  Aku tidak memakai apapun untuk menyamar, kecuali hoodie putih dan tas kecil. Kalau aku menggunakan ransel, pasti ketahuan.

"Eh Adrian, Ibu, mau kemana?" sapa Kak Rhea, salah satu perawat di sini.

"Mm.. Mau ke taman, Kak," jawabku sekenanya. 

     ''Itu kok pakai celana sekolah?" Kak Rhea curiga, menunjuk celana kotak-kotak abu-abu yang ku pakai. "Mau kabur, ya? Ikut olimpiade?"

A Medal For AdrianWhere stories live. Discover now