Prolog

19.1K 1.3K 10
                                    

Tujuh tahun yang lalu, Bianca jatuh cinta pada laki-laki paling baik yang pernah ia temui dalam hidup. Sosok dewasa, yang begitu ramah dan banyak membantunya di masa-masa sulit. Mereka memang bukan teman. Pria itu adalah kakak sambung sahabatnya yang pernah diperkenalkan padanya di suatu sore. Bianca tidak jatuh cinta pada pandangan pertama, tapi di suatu malam paling kelabu di bulan September.

Malam itu ia kabur dari rumah setelah menyadari besok hari adalah sidang perceraian orang tuanya. Satu-satunya tempat yang paling mungkin ia tuju adalah rumah pohon miliknya bersama sahabat-sahabatnya yang juga menjadi tempat pelarian mereka dari mata pelajaran membosankan di bangku SMA. Malam itu ia hanya ingin sendiri. Tapi ketukan keras di balik pohon membuatnya menemukan sosok Jordan, lengkap dengan jas hujan dan peralatan pertukangan, sedang mencoba memperbaiki saluran air.

Malam itu juga lelaki itu memutuskan menemaninya di tengah hujan lebat. Mereka duduk menghadap satu sama lain dengan punggung bersandar pada sisi rumah pohon. Lalu tanpa diduga, cerita keluarga Bianca mengalir hingga sesak di dadanya perlahan hilang. Jordan mengelus kepalanya lalu tersenyum hangat, membuat debaran di dadanya berubah tak karuan. Ketika keesokan harinya Jordan muncul di sidang perceraian orang tuanya lalu menggenggam tangannya saat hakim membacakan putusan, Bianca yakin sepenuhnya kalau ia mencintai pria itu.

Sayangnya, tujuh tahun kemudian, di malam pergantian tahun ini, lelaki itu mengumumkan akan menikah. Ia bahkan melamar kekasihnya di sana, dan mereka berakhir dengan pelukan dan ciuman mesra.

Bianca menyesap batang nikotin di tangannya sambil memperhatikan. Tepat saat itu sebuah suara mengejutkannya.

"Romantis ya, sih cowok yang katanya satu-satunya laki-laki yang lo cintai dalam hidup dan satu-satunya yang nggak bisa lo bawa ke ranjang."

Asap rokok yang hendak dihempaskannya ke udara malah tertelan. Bianca melempar lirikan kesal ke pemilik suara yang kini sudah berada di sampingnya.

"Nggak usah ngejek."

"Gue pikir ini cuma perkara lo yang nggak pernah bisa ngajak Jordan having sex."

Detik itu juga Gideon—lelaki di sampingnya itu meraih kembali batangan Marlboro di tangan Bianca. Lelaki yang rasanya sudah lama tidak ditemuinya. Sosok yang terasa begitu familier dan dekat, namun tak jarang membuat Bianca meradang emosi mendengar kata-katanya.

"He's different. Dia cowok baik-baik." Bianca mendengus. "Jangan nyama-nyamain dia sama kebrengsekan elo yah."

"Bianca, Kalau dia nggak berengsek, dia nggak akan memberi lo harapan palsu lalu kabur nikah sama perempuan lain. Lo aja yang terlalu menutup mata." setelah berkata begitu, Gideon menyembulkan asap ke udara lalu membuang puntung rokok sembarangan.

Bianca meliriknya, "Ngapain lo pusing mikirin urusan gue? Kan lo sama gue udah nggak ada hubungan apa-apa."

Gideon melempar pandangan tajam lalu terdiam beberapa saat. Di detik selanjutnya, Bianca nyaris memekik ketika pinggangnya ditarik Gideon secara tiba-tiba, membuat tubuh bagian depannya menabrak tubuh tegap lelaki itu. Gideon menunduk, mengembuskan nafas hangatnya di telinga perempuan itu.

"Jangan bohong sama gue. Gue tahu gue mungkin belum bisa bikin lo jatuh cinta. Tapi yang bisa gue pastiin, sejauh ini cuma gue yang bisa bikin lo bahagia."

Bianca tidak cukup tanggap untuk menghindar saat bibir Gideon sudah menyapu bibirnya penuh tekanan. Menciumnya dalam.

Sweet Escape [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang