"Kita jalan aja pak ini juga udah dekat sama sekolah." ujar Sakya dan diangguki oleh sopir Sakya setelah membalas ucapannya.

Mereka berjalan di trotoar menatap sepanjang jalan yang sangat macet, klakson pengendara memenuhi jalan pada pagi ini.

"Pantesan macet," gumam Sakya sambil menggelengkan kepalanya.

"Emang kenapa, bukannya udah biasa ya kota sebesar ini macet." ujar Mozza.

"Itu lo liat didepan yang ada mobil-mobil mewah," tunjuk Sakya membuat Mozza menatap yang ditunjuk Sakya.

Didekat gerbang sekolah penuh dengan mobil mewah yang sedang terparkir.

"Itu mobil orang tua Ziedan dkk." ujar sakya.

"Orang tua mereka itu holkay tau gak, mereka kalau pergi harus dikawal demi keselamatan mereka." ujar Sakya lagi.

"Jadi gak heran kalau orang tua mereka datang kesekolah dan macet. Yah karna, jalan-jalan dipenuhi sama mobil bodyguard-bodyguard orang tua mereka." Sakya menjelaskan lagi dan diangguki oleh Mozza.

Mereka akhirnya masuk kedalam sekolah, dan benar sekolah penuh dengan orang berjas dan berotot. Mozza sampai bergidik ngeri melihat mereka.

Tatapan orang-orang di koridor menghujami Mozza membuat Mozza menundukkan kepalanya.

Suara speaker terdengar memenuhi seluruh sekolah.

"KAMI BERITAHUKAN SEKALI LAGI, YANG BERNAMA MOZZAREYYA UNTUK DATANG KERUANG KEPALA SEKOLAH. TERIMA KASIH."

Deg

Jantung Mozza seketika berdetak cepat, Mozza merasa was-was dan tidak enak.

"Za, lo dipanggil tuh." ujar Sakya.

"Perasaan aku gak pernah deh buat kesalahan." ujar Mozza sambil memegang dadanya.

"Yaudah, mending lo kesana aja sekarang, sini tas lo biar gue taruh dikelas." Sakya mengambil tas Mozza.

"Aku harus pergi sekarang?" Mozza sudah gelisah sedari tadi ketika namanya dipanggil.

"Iya lah masa tahun depan," kesal sakya dan mendorong Mozza agar keruang kepala sekolah.

"KAMI BERITAHUKAN UNTUK ANANDA MOZZAREYYA AGAR DATANG KERUANG KEPALA SEKOLAH."

"Tuh kan dipanggil lagi udah sana." ujar Sakya.

Mozza akhirnya melangkahkan kakinya untuk datang keruang kepala sekolah. Seluruh badannya gemetaran, hatinya tak enak sedari tadi, jantungnya berdetak sangat kencang.

Tatapan demi tatapan dia dapati saat berjalan di koridor sekolah, mimpi apa dia semalam sampai harus dipanggil kepala sekolah.

Tok....tok....tok....

"Bapak manggil saya?" tanya Mozza ketika dia masuk keruang kepala sekolah.

"Iya nak, ada yang mau saya bicarakan mari." pak Hasan membuka pintu ruangan didekat meja kerjanya.

Dan terdapat lah Ziedan dkk beserta orang tuanya.

"Nah, ini dia anak kita yang bernama Mozzareyya. Bapak dan ibu." ujar pak Hasan membuat orang tua mereka yang tadinya duduk langsung berdiri menatap Mozza.

Kecuali anak mereka, mata semua orang di ruangan itu menatap Mozza lekat-lekat. Membuat gadis itu menundukkan kepalanya.

"Mari duduk Mozza." pak Hasan menyuruh Mozza duduk di kursi meja rapatnya yang panjang.

Semua orang kembali duduk ditempat duduknya masing-masing.

"Jadi, pihak sekolah merekomendasikan Mozza sebagai mentor untuk anak kalian, mengingat mereka satu kelas dan memiliki usia yang sama pasti mudah untuk Mozza memberi arahan pada anak kalian."

"Kamu mau kan jadi mentor mereka?" tanya Pak Hasan.

"Tapi Pak."

"Tolong lah nak bantu kami." ujar Ghia sambil menggenggam tangan Mozza.

"Tapi masih banyak Mentor diluaran sana, saya cuman anak SMA pengetahuan saya masih sedikit." ujar Mozza dan membuat orang tua mereka menganggukkan kepalanya.

"Iya memang benar kamu masih anak SMA, tapi dengan bantuan kamu siapa tau anak kami tidak berbuat masalah lagi." ujar pak Farid dan diangguki yang lain.

"Jadi, kamu mau kan?" tanya pak Hasan menatap Mozza.

Mozza menghirup napas dalam-dalam dan menghembuskannya.
"Iya saya mau." ujar Mozza dengan terpaksa.

Senyum mereka merekah ketika suara Mozza terdengar.

"Terima kasih, nak." ujar Syakira.

Mozza menghela napasnya, menatap Ziedan dkk satu persatu hanya ada senyum sinis yang ada diwajah mereka.

"Dan sampai disini saja pertemuan kita bapak dan ibu, semoga pertemuaan ini tidak mengganggu waktu bapak dan ibu." ujar pak Hasan kepada orang tua mereka.

Mereka beranjak dari tempat duduk masing-masing, Mozza keluar duluan ketika semua orang disana sedang berbincang-bincang dengan kepala sekolah.

"Nak Mozza tunggu nak." suara wanita memanggil Mozza.

"Iya Bu, ada apa?" tanya Mozza pada Zhira.

"Kami tau kamu pasti bisa melakukannya, nak." ujar wanita itu dan diangguki oleh suaminya.

"Ini semua pasti tidak gratis, kami akan membayar semua yang kamu mau Mozza." ujar suaminya.

"Gausah pak, saya akan melakukan sebisa mungkin." tolak Mozza sambil tersenyum.

"Kalo kamu perlu sesuatu kamu bisa hubungi kami." ujar Soraya sambil memberikan kartu namanya

"Ah iya ini kartu nama saya juga dan suami saya," sambung Niken dan juga memberikan kartu namanya.

Mozza menerima semua kartu nama yang diberikan orang tua Ziedan dkk.

"Oh ya kalo gitu saya permisi dulu Bu - Pak," pamit Mozza pada mereka semua.

"Iya nak Mozza mohon bantuannya ya." teriak mereka semua dan diangguki Mozza.

Mozza berjalan meninggalkan mereka semua, melihat satu persatu kartu nama yang diberikan mereka dan menyimpannya di saku seragamnya.

Kehidupan seperti apa yang akan menantinya nanti, semoga saja hidupnya tidak menakutkan.

Sebuah rangkulan membuatnya terkejut menatap sang pelaku yang berani melakukannya.

"Siap menjalani kehidupan dengan kami, Mozzarella?"

Mozza hanya pasrah ketika Zellan membawanya ke kelas sambil merangkulnya, tatapan iri dia dapati saat berjalan dengan mereka berenam di koridor.

Mozza berusaha melepas rangkulan Zellan, tapi sia-sia cowok itu malah memberatkan tangannya dipundak Mozza sambil terkekeh senang menatap wajahnya yang kesal.

"Lucu banget sih muka lo." ujar Zellan sambil mencubit pipi Mozza gemas.

*****

Jangan lupa tinggalkan jejak anda jika sudah selesai membaca, terima kasih.

-Naylechy

min, 23 Agustus 2020.

Bukan Keju Mozzarella [Revisi]Where stories live. Discover now