Alternate Ending: Mika & Seno?!

603 46 51
                                    

Suara itu nggak bakal salah kukenali di manapun. Suara klakson yang berasal dari sebuah motor susu butut.

Teeet!

Milik siapa lagi selain cowok itu? Cowok yang dua minggu lalu menembakku di dalam kandang sapi miliknya.

Seno.

Sedikit flashback, dua minggu yang lalu, ketika aku, dua sobatku Risa dan Yuna, serta teman-teman cowok baruku hendak pulang dari liburan kami yang memuaskan di villa mewah milik Risa di Puncak, tahu-tahu Seno mendatangi villa di hari terakhir kami, dan mengajakku ke peternakannya.

Di sana, di dalam kandang sapi, di hadapan para sapi peliharaannya, dia bilang dia suka padaku.

Takdir mempertemukanku dengan sobat kecilku yang entah gimana sekarang jadi lumayan ganteng—padahal dulu dia kurus, kecil, dan doyan tebar pesona—dan aku tahu dia mantan Risa, juga aku tahu 'riwayat gelap'nya, tapi bukan itu yang membuatku ragu menerimanya.

Masalahnya dengan Risa dan Reno sekarang sudah selesai, no hard feelings, dan aku percaya bahwa dia sudah betul-betul berubah ke arah yang lebih baik demi ibunya.

Yang membuatku nggak habis pikir, kenapa dia harus nembak di dalem kandang sapi?!

Waktu itu, aku sempat menanyakan Seno soal itu, dan nyesel sendiri begitu dengar jawabannya:

"Biar sapi-sapi ini menjadi saksi hidup perkembangan hubungan kita, Mik." Seno berdeklarasi dramatis.

Lamunanku terputus ketika motor butut itu semakin mendekat ke arahku, aku, yang sedang menunggu di depan salah satu kedai kopi sambil menggendong ransel besar di punggung. Semakin dekat, aku bisa lihat cengiran lebar dan congkak milik Seno terarah padaku.

Senyuman yang, sialnya, aku kangenin.

"Selamat pagi, Princess Mikachu!" Seno melantunkan sapaannya dengan nggak tahu malu seraya menghentikan motor bututnya di depanku, lalu turun untuk menghampiriku, "Dah lama nunggunya?"

Tanpa ba-bi-bu, Seno mengulurkan tangannya untuk mengambil ransel yang berat dari punggungku. Aku melepasnya dan menyaksikan cowok itu dengan sigap meletakkan ranselku di motornya, mengatur posisinya sedemikian rupa di bagian depan hingga tersangkut dengan aman.

"Maaf ya, tadi aku sekalian nganterin susu ke kafe di deket sini, terus pemiliknya ngajak ngobrol dulu, nggak enak kalo motong omongan dia. Padahal yang diomongin itu-itu aja. Harga cabe yang naiklah, apalah, emangnya aku tukang sayur."

Aku tertawa mendengarkan celotehan Seno, "Iya-iya, lagian si Papa nganterin aku emang kepagian sih. Jadi rada lama nungguin. Tapi gapapa lah, pisang goreng sama kopi susunya enak." aku menunjuk ke arah kedai di belakang kami.

"Lama banget ya? Maaf ya..." Seno tahu-tahu memakaikan helm ke kepalaku, yang dinilai dari aroma dan penampilan mulusnya, kayaknya baru dibeli.

"Eh, helm baru?" aku menyuarakan pikiranku. Seno nyengir.

"Iya dong. Besok aku mau pesen stiker custom tulisannya 'MIKACHU' warna pink buat ditempel di sini," dia menepuk-nepuk belakang helmku setelah sukses memasangkannya di kepalaku, "Biar sama imutnya kayak kamyuu..."

Aku baru akan menjitak kepala cowok itu, tapi dia buru-buru memakai helmnya sendiri sambil nyengir penuh kemenangan. Jadi aku cuma komentar, "Geleuh!"

"Biarin!" Seno terbahak-bahak seolah puas dengan leluconnya sendiri, "Yuk ah, nyokap udah nungguin kamu di rumah."

Sepanjang perjalanan menyusuri jalur Puncak yang berlika-liku dan berpemandangan indah, Seno nggak berhenti mengajakku ngobrol. Mulai dari betapa sulitnya meyakinkan Papa dan Mamaku supaya membolehkanku menginap di rumahnya akhir pekan ini (mereka mengizinkan karena ibu Seno menelepon mereka langsung dan meyakinkan bahwa nggak bakal terjadi 'yang aneh-aneh' selama aku menginap karena dia bakal mengawasi kami), hingga prospek pertemuan kami di masa depan yang menyedihkan. Sejujurnya, ini pertama kalinya aku LDR-an. Walaupun distance-nya cuma Jakarta-Puncak, tetep aja rasanya long bagi kami.

The Love ScriptTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang