Hari Keempat : Cerita Lama yang Terkuak

812 134 34
                                    

Meja makan malam itu betul-betul sunyi. Semua orang mendadak jadi begitu berkonsentrasi dengan makanan mereka masing-masing, tidak sekalipun bertatapan satu sama lain ataupun sekadar bertukar obrolan ringan.

Setelah seperempat jam diliputi perasaan canggung parah yang kayaknya nggak bakal ada akhirnya, Reno bangkit dari kursinya dan berbalik keluar ruangan.

"Mau ke mana?" Risa spontan bertanya was-was.

"Cari angin." jawabnya tanpa menoleh. Bryan dan Dennis saling bertatapan penuh arti sementara Yuna dan Risa kembali ke makanannya dengan muram.

Sisa malam itu kulewatkan dengan membakar jagung bersama Bryan dan Dennis di halaman belakang. Tampaknya cuma mereka berdua yang tidak menganggapku sebagai 'terdakwa' atas pertengkaran aneh yang terjadi tadi pagi.

Yuna dan Risa sendiri tidak saling bicara satu sama lain. Aku sempat mengintip mereka tadi dan melihat keduanya sibuk dengan kegiatan masing-masing.

Yuna main gitar di ruang televisi. Mungkin Yuna juga merasakan hal yang sama denganku, kesal karena tidak tahu apa-apa.

Risa yang biasanya cas-cis-cus kini jadi yang paling pendiam. Dia juga mengurung diri di kamar sehabis makan. Aku mendapat kesan bahwa apapun yang terjadi tadi pagi bukanlah sesuatu yang bisa aku atau Yuna paksakan ke Risa untuk ceritakan. Karena itu kami memilih diam.

Ngomong-ngomong, Reno belum juga kembali dari acara 'cari angin'nya beberapa jam setelah makan malam, sementara sekarang sudah hampir pukul dua belas.

Aku mendongak menatap langit malam yang sedang cerah sementara Dennis, dan Bryan masih sibuk mengipasi jagung. Beberapa bintang kelihatan dari sini, cantik dan berkilauan. Tetapi pemandangan itu tetap saja tidak mampu mengusir kemuramanku.

"Oi! Bengong aja!" Dennis menepuk bahuku seraya menyodorkan sebatang jagung yang sudah selesai dibakar. Aku menerimanya sambil menggumamkan 'thanks' pelan dan menggigitnya. Enak.

Aku memperhatikan Dennis dan Bryan yang saling mengobrol. Perasaanku semakin gelisah dan akhirnya aku menyerah, aku memutuskan angkat bicara.

"Guys. Ada yang mau cerita ke gue soal seluruh kejadian aneh hari ini?" tanyaku sambil memutar kursi lipatku menghadap mereka yang sedang duduk dekat bakaran jagung.

Senyuman Bryan seketika lenyap, raut wajah Dennis berubah serius.

"Gue nggak tau apa gue berhak cerita, Mik." Dennis akhirnya menjawab dengan bijak, "Yang jelas, gue cuma bisa bilang kalo ini sepenuhnya bukan salah lo."

"Bener ternyata, gue yang paling nggak tau apa-apa di sini. Gue kayak paling nggak berguna dan cuma bisa nyusahin doang."

"Who told you that?!" potong Bryan syok.

"Gue aja sih yang ngerasa gitu." aku terkekeh pahit, kesal sendiri karena mendadak mellow dan aku berusaha keras mempertahankan kondisi mataku agar tetap kering.

Dennis dan Bryan saling berpandangan.

"Mik..." Dennis menelan ludah, "Pokoknya nggak usah seriusin masalah Reno sama Seno."

"Yeah! And that wasn't your fault!" Bryan menyela, "D, she really needs to know."

Bryan menatap Dennis memohon. Dennis menghembuskan napas keras.

"Oke deh. Demi persahabatan lo para cewek-cewek."

Aku benar-benar bersyukur Dennis memutuskan untuk menyudahi drama rahasia-rahasiaan mereka. Cowok itu menarik napas dalam-dalam dan memulai, "Awalnya, yah... sejak meninggalnya bokap-nyokap Reno dan Risa."

The Love ScriptTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang