Hari Kedua : Emangnya Gue Cewek Macem Apa?

1K 143 10
                                    

"B, jangan makanin snack-nya terus dong!" Risa mengomel sebal pada Bryan yang sepanjang perjalanan terus mencomoti marshmallow. Niatnya sih untuk dibakar di api unggun nanti. Tapi melihat Bryan yang tidak juga berhenti mengunyah, Risa gerah dan akhirnya merampas bungkusan pink dari tangan cowok itu.

"Noooo... it's not fair..." Bryan memandang bungkus marshmallownya memelas.

"Kamu yang nggak fair! Nanti yang lain nggak kebagian!" jawab Risa sewot.

Segera saja keheningan malam di sekitar kami ternodai suara-suara berisik pertengkaran Risa dan Bryan. Saat ini kami berenam tengah berjalan menyusuri tepian hutan. Aku mengecek arlojiku, sudah pukul setengah sembilan malam. Jika kami tiba di ujung jalur trekking tempat api unggun yang direkomendasikan Risa lebih awal, kami jadi bisa lebih lama di sana.

Kupandangi sekelilingku. Rombongan kami terbagi tiga secara tidak sengaja. Risa dan Bryan di barisan paling depan, masih saling adu mulut. Keduanya terlihat mungil, lincah dan manis, mirip banget menurutku. Mereka benar-benar sepupu yang punya vibe sejenis.

Yuna dan Dennis di baris kedua, sedang mengobrol seru tentang band favorit mereka dan membicarakan hal tentang alat musik yang tidak kumengerti. Wajah Yuna berbinar-binar semangat sementara Dennis menyerocos seru. Mereka seperti pasangan orang keren yang bikin silau.

Di barisan paling belakang, ada kami. Aku dan Reno. Kulirik Reno yang berjalan cukup jauh di kananku. Reno bergidik kedinginan, memasukkan kedua tangannya ke saku jaket yang menutupi turtleneck hitam pas badan yang dikenakannya. Kali ini sudah tidak ada buku empat-tumpuk-roti-tawar di tangannya, dan aku yakin kami di mata orang lain terlihat seperti tidak saling mengenal.

Kepingin rasanya memecah kesunyian dengannya, tapi itu ibarat meneriaki Presiden di tengah upacara bendera yang sakral.

Pokoknya... nggak mungkin.

Risa dan Bryan berdansa lincah sambil menyanyikan Can't Smile Without You-nya Barry Manilow yang temponya juga dipercepat, dengan Dennis mengiringi mereka sambil memainkan gitarnya. Yuna tertawa-tawa geli menyaksikan Risa dan Bryan tak henti-hentinya menyelipkan nada seriosa di setiap akhir kalimat, sementara aku lebih memilih membakar jagung ketiga-ku di atas bara api unggun yang semakin meredup sambil duduk di batang pohon, berusaha sedekat mungkin ke api. Kami sudah sekitar dua jam berada di tempat terbuka yang Risa rekomendasikan pada kami ini, dan ternyata pilihannya memang tak salah.

Tempat ini mengesankan, selain dingin banget. Di sekeliling kami berjajar pohon-pohon tinggi yang berdiri rapat, namun menyisakan sebagian lapangan berumput lumayan luas yang tak terhalang apapun, untuk kami dapat melihat langit cerah berbintang di malam hari. Persis di tengah lapangan, ketiga cowok-cowok itu yang telah membuat api unggun besar untuk menghangatkan kami. Batang pepohonan besar telah diangkat mendekat ke api, tempat kami duduk-duduk. Kembang api yang kami bawa sudah disiapkan dan bakal dinyalakan persis tengah malam nanti. Kotak-kotak perbekalan kami sudah nyaris kosong dan aku sudah mulai mengantuk walaupun sekarang baru pukul sepuluh malam.

"Mereka dari dulu gila ya?" aku tak sanggup menahan cengiran saat melihat Risa dan Bryan saling beradu pinggul, berjoget-joget aneh. Reno duduk tidak jauh di sampingku, sama sepertiku memilih menjauh dari keramaian. Aku sibuk mengunyah jagung bakar, berharap itu bisa menghilangkan kantuk yang menyergap.

"Apinya hampir mati." gumam cowok itu tak jelas saat bara api di hadapanku berderak lemah, hanya menyisakan butir-butir kemerahan di atas kayu yang menghitam.

Risa rupanya menyadari ini, karena dia segera menghampiri kami dan menggerutu sebal, "Ren, cariin kayu lagi dong, jangan sampe mati, kan masih ada yang mesti dibakar..."

The Love ScriptWhere stories live. Discover now