"Mana orangnya? Atau dia belum datang?" tanya Kris.

"'Dia udah ada, kok. Tepatnya di depan kalian."

"Apa, sih?! Bercandaan lo nggak lucu. Cepat panggil orangnya. Kalau gak muncul juga dalam satu menit ini, gue sama Kris pulang," tukas Maura.

Aku menghela napas kasar. "Kalian bakal ngerti kalau ada di posisi gue. Hal gak wajar yang seharusnya nggak bisa gue lihat, ternyata gue bisa lihat semuanya. Orang-orang kayak kalian pasti nggak bakal percaya dan malah nganggap gue gila, tapi apa kalian bisa sebentar aja luangin waktu buat dengar 'dia' bicara? Kalian memang gak bisa ngelihat 'dia', tapi 'dia' benar-benar ada di sini. Di depan kalian." Aku menghapus air mata yang entah karena apa bisa keluar. Mungkin aku merasa kecewa dengan kedua sahabat'nya'.

Aku merasakan sesuatu yang dingin menyentuh bahuku. Ternyata 'dia'. Dari tatapannya aku tahu 'dia' mencoba menenangkanku. 'Dia' mengeluarkan kalimat demi kalimat, yang akhirnya aku lontarkan ulang. Itu adalah kalimat untuk kedua sahabat'nya'.

"Kris. Gue kangen main basket sama lo. Lo adalah sahabat gue yang paling baik dan paling curang yang gue kenal. Gue gak tau lagi kalau misalnya waktu itu gak ada lo yang nolongin Maura pas dia hampir kena tabrak, mungkin gue akan menyalahkan diri gue sendiri. Lo itu cowok yang kuat dan paling setia sama gue dan Maura. Alasan gue mau berteman sama lo karena gue tau kalau suatu hari nanti saat gue gak ada di samping Maura lagi, lo yang akan gantiin gue. Dan gue tau lo suka sama Maura. Jangan merasa bersalah karena gue udah gak ada. Kalau lo merasa bersalah, penuhi satu permintaan gue.

"Jaga dan jangan pernah tinggalin Maura. Karena lo adalah satu-satunya harapan gue yang bisa gue andalin. Gue percaya sama lo. You are my brother, Kris. Always," tuturku mengikuti kalimat'nya' yang ditujukan untuk Kris. Bahkan ekspresi Kris dan Maura sama-sama seperti tidak percaya dengan apa yang barusan saja mereka dengar. Mungkin mereka masih berpikir aku hanya mengibuli mereka. Namun, percayalah. Air mataku saja sudah keluar karena kalimat'nya. Aku semakin merasa kalau Kris dan Maura sangat beruntung memiliki sahabat seperti 'dia'.

Lalu 'dia' berbicara lagi. Aku harus menahan tangisanku.

"Maura. Gue kangen sama ocehan-ocehan lo. Lo itu sahabat gue dari kecil sampai gue pindah SMA aja bareng-bareng terus. Lo udah kayak kakak dan adik bagi gue. Untuk lo, gue nggak ngomong banyak. Gue cuma pengen lo tau, selama ini gue suka sama lo. Gak tau dari kapan, tapi hati gue selalu berdebar kalau lihat lo senyum. Gue bukannya gak berani nyatain, gue gak mau ngerusak persahabatan kita bertiga yang udah lama cuma gara-gara gue bilang suka sama lo, tapi akhirnya gue bisa ngomong ini secara langsung walaupun lewat Sheyla, yang penting lo udah tau. Bahagia selalu, ya? Jangan nangis terus karena masih ada Kris. You are my first love, Maura. Always."

Kali ini aku benar-benar menangis. Aku juga merasakan apa yang dirasakan oleh'nya'. Ketika takdir memisahkan mereka bertiga tanpa sebuah salam perpisahan. Tangisanku pecah di kelas ini. Aku menutup wajahku. Lalu, aku mulai mendengar suara tangis Kris dan Maura. Sepertinya mereka sudah percaya bahwa sahabat mereka yang sudah meninggal enam bulan yang lalu, benar-benar ada di sini. Perasaan mereka pasti sangat hancur. Sahabat mereka mendatangi mereka hanya untuk mengatakan hal yang seharusnya mereka dengar ketika 'dia' masih hidup. Bukan ketika mereka tidak bisa melihat diri'nya' lagi.

"Fer, lo tau? Lo itu sahabat paling berharga buat gue sama Maura. Lo dan kebaikan lo selama ini gak akan pernah kita lupain, Fer. Kalau memang udah waktunya lo pergi, kita ikhlas. Jangan pernah lupain kita, ya? Kita sayang banget sama lo, Fer. Always," balas Kris.

"Maaf, gue cuma anggap lo sebagai sahabat dan saudara. Gak lebih, tapi gue sayang sama lo pakai banget, Fer. Makasih udah suka sama gue. Gue yakin suatu saat nanti kita bakal ketemu lagi. Jangan pernah lupain kita. We love you three thousands, always." Kali ini gantian Maura yang bicara. Sudah dipastikan Maura yang paling merasakan kehilangan.

Aku belum bisa berhenti menangis. Sulit sekali untuk berhenti. Seandainya aku tidak memiliki indera keenam ini, merasakan kehilangan'nya' yang paling dalam pasti sudah berlalu dari enam bulan yang lalu, tapi aku juga bersyukur dengan penglihatan ini. Karenanya, aku bisa mengenal'nya' lagi walaupun hanya dalam satu bulan. Aku tidak akan pernah melupakan momen-momen satu bulan itu.

"Shey, udah waktunya gue pergi."

Aku langsung berbalik pada'nya'. Aku menatap'nya' tidak percaya.

"Apa? Lo mau ... pergi? Lo gak lagi bercanda, 'kan?" tanyaku di sela tangisan.

"Nggak, Shey. Waktu gue udah habis. Karena lo udah bantu gue, jadi udah gak ada alasan lagi buat gue tetap tinggal. Gue minta maaf," kata'nya'.

"Terus gimana sama gue? Meskipun gue udah berusaha lupain perasaan gue buat lo, tapi nyatanya sampai sekarang gue masih suka sama lo. Lo gak bisa ninggalin gue gitu aja setelah lo tau perasaan gue. Apa gak bisa lo menetap sebentar lagi?" Aku menunduk karena tidak sanggup melihat'nya' bila tiba-tiba saja 'dia' menghilang.

Kedua tangan dingin'nya' memegang kedua pergelangan tanganku agar aku tidak menutup wajahku lagi. Aku menatap wajah'nya' dengan air mata yang masih mengalir.

"Semoga ini bisa membantu."

Aku tidak mengerti maksud dari ucapan'nya'. Namun, di detik berikutnya 'dia' menarikku ke dalam pelukan'nya'. Tindakan yang membuatku seketika berhenti menangis karena terlalu terkejut. Dan aku yakin, orang-orang seperti Kris dan Maura yang bila melihatku sekarang pasti mereka mengira bahwa aku hanya bersandar pada angin, tapi kenyataannya aku sedang bersandar di dada bidang milik'nya' karena 'dia' benar-benar memelukku.

"Lo akan baik-baik aja tanpa gue ataupun gak akan pernah ngelihat gue lagi. Gue nyesel pertemuan ini akan menjadi yang terakhir padahal kita baru aja saling mengenal, tapi gue juga senang bisa kenal sama lo walaupun cuma sebentar. Makasih, ya, udah mau bantuin gue, Sheyla."

Pelukan itu perlahan-lahan mulai longgar dan akhirnya terlepas. 'Dia' masih saja tersenyum padaku.

"Maaf, ya, waktu itu gue gak pernah ngasih tau lo tentang penyakit gue dan menghilang gitu aja. Di saat gue mau nemuin lo dan ngasih tau semuanya, sayangnya udah terlambat. Dan maaf karena gue gak datangin lo lebih awal, padahal gue udah tau lo bisa ngelihat gue." Aku tahu pembicaraan'nya' mengarah pada waktu kelas sebelas dan beberapa bulan kemarin ketika aku sudah naik kelas dua belas. Itu sudah cukup lama.

"Bilang ke Kris dan Maura, jangan nangis lagi. Nanti gue juga ikutan sedih. Dan lo juga."

Aku bingung dengan'nya'. Kenapa di keadaan seperti ini—ralat, di semua keadaan 'dia' masih saja bisa tersenyum? Aku tahu 'dia' pasti juga sangat sedih karena tidak bisa bersama kedua orangtua'nya' dan sahabat'nya' lagi, tapi mungkin tersenyum adalah salah satu cara agar 'dia' dan orang yang ditinggalkan termasuk yang bisa melihat'nya' tidak merasa sedih bila sudah waktunya 'dia' untuk pergi.

"Udah waktunya 'dia' pergi," kataku pada Kris dan Maura dengan suara yang sedang menahan tangis lagi.

Maura masih menangis. Sedangkan Kris memeluk Maura untuk menenangkannya. Mereka mengangguk, tanda setuju bila memang sudah waktunya 'dia' untuk pergi.

"Tenang di sana, ya? Gue akan sering-sering ke makam lo." Suaraku mulai serak.

Di detik berikutnya, senyum'nya' adalah hal terakhir yang hilang dari pandanganku. Aku masih tidak percaya bahwa 'dia' ... sudah pergi. Untuk selama-lamanya.

Aku pun bergumam, yang mungkin hanya aku saja yang bisa mendengarnya.

"Gue selalu sayang sama lo ..., Ferrish."

-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_

Akhirnya namanya si 'dia' terungkap juga di part ini, hehe..
Sayang banget si Ferrish udah meninggal. Tapi, ini memang jalan ceritanya.. 😇
Maaf ya kalau di part ini feelnya kurang dapat ☺
Dan Metafora udah mendekati ending. Ditunggu aja :)
See you next part :*
Jangan lupa untuk vote, comment, and share 💙

Metafora : Without Saying Goodbye ✔️Where stories live. Discover now