Bandung, Oktober 2019
Kali ini, sepulang sekolah aku tidak ada janji apa-apa dan belum mau untuk pulang. Dan untuk kali ini juga, setelah pulang sekolah aku tidak mencari 'dia'. Bukan karena apa-apa, aku hanya tidak ingin mencari'nya'. Maura dan Kris sudah pulang, pasti 'dia' juga sudah tidak ada di lingkungan sekolah lagi. Aku duduk di halte bus dekat sekolah, sendiri. Sudah ada dua bus tadi yang berhenti tepat di depanku. Namun, aku belum ada minat untuk menaiki keduanya. Aku masih ingin duduk di sini.
Kupejamkan kedua mataku dan menengadah. Aku masih bisa merasakan terangnya siang selama beberapa saat, sampai tiba-tiba terang itu hilang dan tergantikan dengan sesuatu yang menutupinya.
Kubuka kedua mataku dan betapa terkejutnya aku dengan pemandangan di depanku sekarang. Perasaanku bercampur aduk menjadi satu. Yang aku butuhkan sekarang adalah alat ajaib Doraemon yang bisa menghentikan waktu agar aku bisa kabur dari situasi ini, tapi yang kubutuhkan itu hanya ada di dunia fantasi. Tidak di duniaku. Real life.
"Hai," sapa'nya'.
Aku segera menyadarkan diri dari lamunanku. Aku pun membalas sapaan'nya' dengan singkat. Lalu, tanpa disuruh 'dia' duduk di sampingku.
Aku menarik napas dalam. Tidak tahu apa kalau aku sedang berusaha menetralkan detak jantungku karena keberadaan'nya' yang muncul secara tiba-tiba, lalu duduk di sampingku? Ya, meskipun aku berharap, 'dia' pasti sudah mengetahuinya.
"Lo pasti tau, 'kan, kalau gue suka Maura?" buka'nya'.
Hm, sungguh pembukaan yang tidak mengenakkan. Sebelum menjawab aku menyugesti diri sendiri agar terlihat biasa-biasa saja ketika 'dia' membuka mulut. Kemudian aku menjawab, "Tau."
"Dan lo pasti tau kalau Kris juga suka Maura, 'kan?" tanya'nya' lagi.
"Iya, tau. Kenapa lo tanya semua ini ke gue?"
'Dia' menoleh, lalu menatapku. Hawa di sekitarku mulai terasa dingin. Padahal langit tidak mendung ataupun sedang menurunkan hujan.
"Gue mau minta bantuan lo," jawab'nya'.
Aku terdiam. Bukannya menanggapi jawaban'nya', aku malah menyatakan sesuatu yang pasti sudah diketahui'nya'. "Gue suka sama lo."
"Gue tau. Ngikutin gue ke parkiran buat ngelihat gue, nyempatin diri buat ngelihat gue sebelum keluar dari kafe, bahkan ngelihat gue pas main basket. Apa nggak ada kegiatan yang lain selain ngelihat gue terus?" kekeh'nya'. "Tapi, lo gak bisa terus suka sama gue."
Aku tidak terkejut dengan pernyataan'nya' tentangku karena semua yang disebutkan'nya' memang benar adanya. Aku pun mengangguk. "Gue tau, kok. Setelah ini gue akan coba lupain perasaan gue buat lo. Gak usah khawatir." Aku tersenyum pedih. Memang begini rasanya ditolak oleh orang yang sudah suka sama orang lain. Sakit, tapi tidak berdarah. Tidak apa-apa. Aku yang salah. Sudah seharusnya aku melupakan 'dia' dari lima bulan yang lalu. Setelah kejadian hari itu.
"Lo masih ingat, 'kan, nama gue? Nama gue—"
"Jangan! Gak usah. Gue masih ingat nama lo. Jadi, gak usah disebut lagi," potongku secepat kilat.
'Dia' menatapku dengan bingung. "Oh, oke. Jadi gimana, lo mau bantuin gue, 'kan?"
Aku menghela napas, lalu mengangguk sekali. "Iya, tapi kenapa harus gue?"
'Dia' menatap lurus ke depan, kemudian tersenyum. Namun, aku tahu 'dia' memaksakan senyum'nya'. Dan kalimat yang dikatakan'nya' selanjutnya, membuat hatiku ikut teriris. Aku mencoba untuk menahan air mata yang sudah tergenang di pelupuk mataku.
"Karena cuma lo yang bisa lihat gue. Dan lo sendiri juga tahu, kalau gue ... udah gak hidup di dunia ini lagi."
-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_
See you next part :*
Jangan lupa untuk vote, comment, and share 💙
YOU ARE READING
Metafora : Without Saying Goodbye ✔️
Teen Fiction⚠️ Jangan memplagiat ceritaku.. Sudah kuperingatkan dengan baik-baik, ya :) -------------------- Namaku Sheyla Andara. Aku hanyalah gadis remaja biasa yang masih duduk di bangku kelas 3 SMA. Aku bukanlah gadis cantik seperti di novel-novel yang dipe...
