01. Dialog hujan

5.1K 463 97
                                    


"Hujan," gumam gadis berambut sepunggung yang bergelombang di bagian bawahnya itu entah pada siapa.

Gadis itu termenung memandangi rintik air hujan yang berjatuhan dari kanopi yang melindungi sebagian tribune lapangan outdoor. Membiarkan tetesan air menciprati sepatu putihnya dan menikmati sensasi dingin yang menggelitik kulitnya. Entah sudah berapa gadis itu bengong di sana seorang diri hanya untuk memandangi hujan.

Tidak seperti kebanyakan orang yang menikmati hujan dengan memunculkan kembali keping-keping kenangan dalam pikiran, gadis itu justu membiarkan pikirannya kosong tanpa satu hal pun di sana.

Dia hanya bengong memandangi hujan tanpa memikirkan apapun. Menikmati kesunyian, kehampaan, ketenangan, dan hanya membiarkan suara hujan mejadi satu-satunya hal yang didengarkan oleh telinganya.

Rasanya damai. Isi kepalanya yang selalu semrawutan akan mendadak tenang saat ia mendengar dialog antara tetesan air hujan.

Ia suka hujan, ayahnya juga suka hujan, dan ia juga menyukai namanya yang berarti hujan. Gadis itu lalu tersenyum sangat samar.

"Artinya, hujan yang menyenangkan," kata Ayahnya beberapa tahun lalu sambil memeluk erat dirinya dibalik selimut tebal saat mereka tengah santai menikmati hujan turun.

Sisa kenangan yang menyenangkan, batinya.

Rintik air yang jatuh dari kanopi mulai berhenti, waktu sudah menujukkan pukul setengah empat dan sudah dipastikan hampir semua penghuni SMA Epsilon sudah tidak berada di area sekolah.

Gadis itu mengembuskan napas berat, melirik jam tangan berwarna putih yang melingkar di lengan kirinya. Ia mengangkat kepalanya dan memandangi area lapangan basket.

"Tiga menit lagi," gumamnya entah pada siapa.

Gadis itu membenarkan letak tas punggungnya, ia bangkit dari posisi duduknya dan berjalan menyusuri tribune dengan langkah-langkah pelan sambil terus meliri ke area lapang dan beberapa kali mengecek jam tangannya.

"Tumben," gumamnya lagi setelah tiga menit yang dinantikannya sudah lewat tanpa ada tanda-tanda kemunculan seseorang di lapangan basket. Gadis yang mengenakan seragam sekolah serba ketat hingga mencetak bentuk tubuhnya itu menyelipkan helaian rambutnya ke belakang telinga lalu berdecak sebal.

"Lapangnya becek kali ya, masa sih dia sekarang lagi main di lapang indoor?"

Lagi-lagi, ia berdialog sendiri. Gadis berkulit putih bersih itu menimang-nimang sesuatu. Antara pulang saja, menunggu di sini lebih lama lagi, atau pergi ke lapangan indoor yang jaraknya cukup jauh mengingat sekolahnya yang sangat luas.

Belum sempat gadis itu memutuskan pilihannya, suara pantulan bola tiba-tiba saja mengusik indra pendengarnya. Perhatiannya kini terpusat seluruhnya pada lapangan basket. Di mana sosok berkaos hitam dengan celana seragam khas SMA Epsilon baru saja memasuki area lapangan sambil mendribel bola. Gadis itu tersenyum, membuat lekuk kecil di kedua pipinya terbentuk. Senyumannya sangat lebar, bahkan ia sampai memekik kegirangan.

Terburu-buru, gadis itu mencari tempat yang pas untuk menonton sosok berkaus hitam itu bermain basket. Ia melangkah ke sisi tribune yang membuat kehadirannya tidak terlalu mencolok dan tidak dalam radar pandang seseorang yang saat ini tengah bermain basket di lapangan.

Dengan tenang, gadis itu kembali duduk di tribune, memandangi satu-satunya sosok di lapangan basket itu sambil tersenyum-senyum sendiri.

"Ganteng banget, gue berasa dispoilerin surga kalau liat muka Angkasa," ujarnya gemas sendiri.

Sosok yang bermain basket di sana, namanya Razza Angkasa. Orang-orang terdekatnya biasa memanggil Angka. Kata orang, Razza Angkasa itu high quality. Tentu saja ada banyak sekali aspek yang dimilikinya hingga mendapat cap seperti itu.

Dear AnonymousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang