PART 50

1.4K 92 11
                                    

"Sekarang apa lagi?" Tanya Lyra begitu ia mendapati Kakak lelakinya tersebut membelalakan mata bagai orang melihat horor tepat di ujung pandangannya.

"Pratama..."

"Kenapa?"

"Pratama dan Khandra berpisah!!!" Seru Riga dengan kegembiraan yang tidak dapat ditutupinya.

"Wow!!" Lyra ikut berseru secara refleks. "Kabar gembira!!"

"Ya, kau benar. Aku seperti memenangkan tender seharga triliunan rupiah. Ini berita menakjubkan!!"

"Jadi apa yang kau tunggu, Kak? Segera susul Kak Khandra, dan dapatkan ia kembali...!!"

* * *

Perjalanan Jakarta - Singapura yang notabene hanya memakan waktu satu jam lima puluh menit, bagaikan seribu abad lamanya untuk Auriga.

Ia benar-benar ingin segera berjumpa dengan Khandra, meski di dalam otaknya sendiri pun, Auriga sama sekali tidak bisa menyusun rencana dan kalimat apa yang harus dikatakannya kepada Khandra.

Ia datang tanpa strategi apapun. Tetapi berharap bahwa mereka bisa kembali bersama.

Ini jelas konyol.

Yang Auriga pikirkan hanya bagaimana bisa berjumpa dengan Khandra sesegera mungkin. Tetapi lalu apa? Setelahnya akan bagaimana?

Untuk seseorang yang sudah sangat tersakiti seperti Khandra, sekedar menerima si Pembuat Masalah sepertinya sebagai teman saja sudah menjadi suatu kesyukuran. Dan Auriga seharusnya tidak meminta lebih.

Apa yang harus kulakukan?

Bahkan hingga ia memijakkan kakinya di Singapura, masih tak ada satupun rencana yang tersusun di tangannya untuk membuat hubungannya dan Khandra membaik.

Kami tidak memiliki satu ikatan apapun... Aku dan Khandra bahkan tidak memiliki seorang anak yang mungkin akan mempersatukan kami. Lantas bagaimana?

Ia merasa hampa dan putus asa.

Ini salah. Batin Auriga. Seharusnya aku tidak langsung datang kemari dan mencecar Khandra dengan pertanyaan 'apakah ia bersedia menerimaku kembali'. Bukan itu yang harus aku lakukan.

Aku tau saat ini Khandra butuh waktu untuk sendiri. Untuk menenangkan pikirannya dan memberikannya kesempatan untuk menenangkan hatinya.

Auriga menghembuskan nafasnya.

Sekarang ia sudah tau apa yang akan dilakukannya. Ia meraih telepon genggam si saku bagian dalam jasnya, kemudian menekan sebuah nomor yang berada di daftar speed dialnya, lalu melakukan panggilan.

Nada tunggu terdengar di ujung sambungan.

"Hallo?" Akhirnya suara seseorang menjawab teleponnya.

"Cecil..." Auriga berucap. "Aku akan berada di Singapura selama dua atau tiga hari. Kau bisa mengatur ulang pertemuan-pertemuan yang dijadwalkan untukku dalam tiga hari ke depan. Tetapi aku tetap meminta kau mengirimkan berkas-berkas pekerjaan ; terutama yang sangat penting dan mendesak, setiap hari kepadaku. Aku akan bekerja jarak jauh."

"Baik, Pak. Di mengerti."

"Terima kasih Cecil."

"Iya Pak."

Auriga mematikan sambungan teleponnya. Ia memiliki satu rencana kali ini. Rencana yang entah bagaimana tercetus begitu saja di otaknya.

Marrying Mr. SangajiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang