PART 22

777 75 6
                                    

"Kau tidak perlu sering-sering kemari dan membawakan segelas cokelat untukku." Keluh Anindiya yang ditanggapi Auriga dengan santai."Staffmu yang lain sering bergunjing tentang kita."

"Itu kenapa hari ini aku membawakan seluruh staff hotel minuman yang sama denganmu. Jadi mereka tidak perlu bergunjing atau komplain." Jawab Auriga santai, dan ia berlalu menuju ruang kerjanya sendiri.

Pak Ruzwar yang berdiri di samping Auriga sedari tadi, hanya memandang Anindiya dengan tatapan "misterius". Bahkan sebelum pria itu mengikuti pimpinannya berlalu dari ruang kerja Anindiya, ia bisa merasa bahwa Pak Ruzwar menatapnya dengan tatapan penuh makna yang tidak dapat diartikannya sendiri.

Anindiya menghela nafasnya dengan berat.

Ia sudah lelah menampik Auriga dari hidupnya. Semakin ia mencoba, semakin keras usaha lelaki itu untuk mendekat. Dan semakin nampak pula bahwa hubungan mereka mencurigakan di mata karyawan yang lain.

Padahal sejujurnya tidak ada apa-apa diantara mereka. Murni pertemanan biasa. Hanya saja, melihat seorang pemimpin perhotelan berkawan baik dengan staff baru, jelas suatu kejanggalan.

Anindiya sudah menjelaskan berkali-kali bahwa ia dan Auriga adalah teman pada suatu organisasi yang sama di masa lampau. Tetapi sikap Auriga yang memang bisa dikategorikan terlalu manis sebagai sahabat, telah menimbulkan banyak spekulasi dan gossip disekitar mereka.

Anindiya merasa tidak enak, bagaimana jika berita simpang siur ini sampai ke telinga Khandra? Istri dari Auriga. Ia pasti akan dicap sebagai perempuan perebut suami orang. Padahal jelas-jelas ia tidak melakukan itu.

"Tapi kamu salah, Nind." Khandra ingat apa kata sahabat sejak kuliahnya, Dianti, yang menasehatinya dari sambungan telepon semalam. "Kalau memang kamu bisa bersikap tegas, Auriga pasti tidak akan berani mendekati kamu. Sekarang aku tanya sama kamu, Nind... Jawab jujur, kamu masih cinta kan sama Riga?"

Tentu saja aku masih cinta. Batin Nindi berucap. Tapi toh aku dan dia adalah ketidakmungkinan. Jadi aku memutuskan untuk berteman saja.

"Jangan pernah bermain api, Nind." Nasehat Dianti kembali terngiang. "Kalau kamu takut kebakar, kalau kamu yakin nggak bisa memadamkan apinya, kamu jangan pernah berani menyulutnya."

Tapi kemudian Anindiya sadar, bahwa nurani dan logikanya, sudah tidak sinkron dengan hati dan inginnya sekarang.

Sesering apapun akal sehat dan nafsunga saling beradu argumen, tetap saja akal sehatnya kalah.

Ia tetap membiarkan Auriga hadir dalam hidupnya.

* * *

"Pak," Ruzwar menegur Auriga dengan hati-hati. "Saya tau saya nggak punya kapasitas dan hak untuk mencampuri urusan pribadi Bapak."

Auriga yang sedang membaca dokumen keuangan di hadapannya, langsung meletakkan map tersebut dan memandang lurus kepada Pak Ruzwar.

"Tetapi sebagai seseorang yang dekat dengan Bapak, baik secara personal maupun profesional, saya merasa bertanggung jawab untuk menyampaikan pandangan dan nasehat saya kepada Bapak. Kalau Bapak memang tidak keberatan."

Marrying Mr. SangajiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang