KESALAHAN

10 7 6
                                    

Edo kau jadi ke rumah ku tidak ?

Ina mengirim pesan pada Edo. Tak dijawab. Kelihatannya ponsel Edo tidak aktif. Ina sempat berpikir sebaiknya dia pergi ke rumah Edo untuk memastikan keadaannya, tapi dia mengurungkan niatnya ketika melihat lampu rumah Edo sudah mati. Edo sudah tidur. Pikir Ina.

Ina beranjak ke kamarnya, merebahkan tubuhnya di atas kasur. Selama mbak Mina pulang kampung, dia tinggal sendiri di rumah ini. Biasanya ada mama. Ina tak bisa berbohong. Dia rindu mama nya. Namun tak ada yang bisa ia lakukan. Mamanya tak akan mungkin pulang.

Setelah merenung cukup lama, dilihatnya jam dinding menunjukkan pukul dua belas. Ia mengecek ponselnya barang kali ada pesan dari Edo. Tak ada. Ia menghembuskan nafas panjang. Matanya terasa berat. Tumben. Biasanya dia selalu minum obat tidur agar bisa tidur.

Ia menata posisi tidurnya, menarik selimut. Mematikan lampu. Ketika kesadarannya hampir hilang sepenuhnya, tiba-tiba terdengar bel rumah Ina berbunyi. Ina segera turun untuk melihat dari balik cendela siapa yang datang tengah malam begini. Edo. Ina segera membukakan pintu.

"Edo kenapa malam sekali ?"

"Maaf." Edo diam sejenak. "Aku tadi ketiduran."

"Masuklah. Tidurlah di kamar tamu."

Edo mengangguk.

Ina mengantar Edo ke kamar yang berada di atas. Dekat kamarnya. Sekilas Ina dapat mencium aroma alkohol dari Edo, tapi tak begitu kuat. Dilihatnya penampilan Edo yang memang seperti bangun tidur, Ina mengurungkan niatnya untuk bertanya.

"Kalau butuh apa-apa silahkan ketuk kamar ku."

Edo mengangguk lagi.

Ina kembali ke kamarnya. Dia sudah tak kuasa lagi menahan agar matanya tetap terbuka. Sudah berkali-kali dia menguap. Ketika Ina hendak menutup pintu kamar, tiba-tiba Edo menarik tangannya.

"Ada apa Edo ?"

"Temani aku."

"Tapi aku ngantuk sekali Edo."

Edo diam. Ina diam. Tangan Edo masih menggenggam tangan Ina. Tiba-tiba Edo memeluknya. Begitu erat. Sampai Ina kesulitan bernafas.

"Edo ada apa ?" Ina berusaha melepas pelukan Edo.

"Tolong diamlah sebentar."

Ina menurut. Dia melingkarkan tangannya di punggung Edo.

"Aku kesepian."

"Baiklah akan ku temani."

"Tolong hibur aku, Ina."

"A-apa maksud-"

Edo mendorong Ina. Ina tak kuasa menahan, tubuhnya jatuh di tempat tidur. Edo masih memeluknya erat.

"Edo! Apa maksudmu ?!" Ina berusaha mendorong Edo.

"Aku benar-benar frustasi. Berapa kali pun aku mencoba berpikir positif tak bisa. Kakek sangat berharga bagiku. Dia selalu menuruti apa yang aku mau. Aku kehilangannya." Edo melepas pelukan, namun sekarang dia malah menahan kedua tangan Ina.

Ina mencoba meronta tak bisa. "Edo! Tolong lepaskan. Kenapa kau begini ? Kau mabuk ya ?" Ina menatap mata Edo. Benar. Edo mabuk.

"Ina, sekarang hanya kau yang aku punya Edo mendekatkan wajahnya ke Ina. Tolong turuti apapun yang aku inginkan. Aku ingin kau menghiburku malam ini."

"Tidak! aku menolak. Tolong lepaskan."

Edo geram. "Waktu itu kau pernah bilang kalau aku boleh melakukan apapun yang aku inginkan, lalu sekarang kau menolak. Apa maksudmu ?! waktu itu kau juga bilang ingin tau pacaran yang sebenarnya. Ini. Ini pacaran yang sesungguhnya!"

Ina diam. Bingung. Dia sudah salah bicara. "M-maksudku bukan seperti-"

"Aku tak terima. Aku akan melakukan apa yang aku inginkan." Genggaman tangan Edo semakin kuat. Ia mendekatkan bibir nya ke bibir Ina.

Ina berusaha sekuat tenaga melepaskan tangannya.

PLAK!

Ina menampar Edo. Dia berhasil melepas tangannya. Menangis. "Kalau memang pacaran yang sesungguhnya seperti ini, lebih baik kita putus!" Ina mendorong Edo menjauh.

Edo jatuh di lantai. Dia diam. Tertegun.

"Kau.. Tangisan Ina pecah. Kau pikir hanya kau yang mengalami hal seperti ini ? Kehilangan kakek. Orang yang sangat berharga bagimu. Tidak! aku juga mengalaminya. Aku mengalaminya Edo. Mama pergi. Dia memutuskan menikah lagi. Dia tak mengakuiku sebagai anaknya di depan suami barunya. Aku sendiri. Tak punya siapa-siapa lagi. Sama seperti kau sekarang!"

Edo terdiam. "Kenapa kau tak cerita padaku ?"

"Aku tak ingin menambah beban pikiran mu. Aku tau kau sangat khawatir dengan keadaan kakek waktu itu, ditambah kau juga sibuk mengurus Osis. Aku tau!" Ina diam sejenak. "Aku berusaha memahami dirimu. Aku.. tak ingin kau pergi dariku karena hanya kau yang kupunya saat ini. Namun sekarang ?"

Edo diam. Dia terlihat sangat merasa bersalah atas tindakan gila nya barusan.

"Kupikir kau bisa memahami diriku karena kita sudah berteman sejak lama. Tapi ternyata aku keliru." Ina mengusap air matanya. "Kau sama sekali tak mengerti tentangku!"

Edo masih diam, kemudian dia berdiri. Menatap Ina yang duduk seseggukan di atas kasur ia tak kuasa melihatnya. "Aku.. minta maaf" Ingin sekali dia memeluk Ina, menangkannya. Namun dia mengurungkan niatnya. "Lebih baik aku pulang."

Ina masih menangis, membiarkan Edo pulang. Ia menatap punggung Edo yang semakin jauh darinya. Sungguh. Hatinya sangat tersakiti. Dari cendela kamarnya, dia bisa melihat Edo keluar dari rumahnya. Pulang. Meninggalkan Ina sendiri. Lagi.

***

Pancaran cahaya sang mentari membangunkan Ina dari tidurnya. Ina perlahan membuka matanya. Silau. Cahaya mentari menembus cendela kamarnya. Terasa menyengat. Ina melihat jam dinding kamar. Pukul satu. Ina mengucek matanya barangkali dia salah lihat. Tapi tidak. Hari sudah siang.

Ia mencoba mengingat. Semalam dia tak bisa tidur, dia terus menangis. Ina sudah menghabiskan banyak kapsul obat tidur. Namun matanya masih bandel. Tak mau terpejam. Hingga samar-samar terdengar suara ayam berkokok, setelah itu ia tak ingat lagi.

Ina menghembuskan nafas panjang mengingat kejadian semalam. Edo. Ina sadar, kemarin dia sudah keterlaluan. Meluapkan semua kekesalannya pada Edo. Padahal dia tau keadaan Edo saat itu tak baik-baik saja. Sebaiknya dia segera meminta maaf padanya.

Dilihatnya ponsel yang sejak tadi berada di sampingnya. Ada lima panggilan tak terjawab dan satu pesan. Dari Edo. Ina segera menghubunginya balik. Sayangnya ponsel Edo sudah tidak aktif. Dibukanya pesan dari Edo.

Ina aku minta maaf atas kejadian kemarin malam. Aku benar-benar minta maaf. Saat itu aku kehilangan akal sehatku. Aku melampiaskan rasa kehilanganku padamu. Sungguh. Aku tak ada niat melakukan itu, kemarin aku benar-benar menggila. Aku minta maaf.

Ina, terima kasih. Terima kasih atas segalanya yang kau berikan padaku selama ini. Kau berusaha membuka hatimu untuk ku. Aku minta maaf. Padahal aku tau. Aku tau sejak dulu, hatimu kau berikan untuk siapa dan dengan egoisnya aku menutup mata akan hal itu.

Maafkan aku, sudah menjadi pacar yang payah. Ina kuberi tahu, kekasih adalah seorang yang mampu mengerti kita, memahami kita, serta mau menerima segala kekurangan kita dan berusaha untuk melengkapinya. Itu menurutku. Aku minta maaf. Aku tak bisa mengerti dirimu, aku tak bisa memahami dirimu. Aku sama sekali tak tau banyak tentangmu padahal kita sudah lama bersama. Maafkan aku. Aku bukanlah orang yang tepat untukmu.

Maafkan aku yang tak bisa memberimu secuil kebahagiaan. Terima kasih atas segalanya. Aku belajar banyak dari mu. Menjadi sahabatmu sejak kecil adalah hal paling beruntung dalam hidupku. Aku pergi untuk memenuhi keinginan kakek. Mencapai cita-citaku, seperti katamu. Semoga kebahagiaan akan segera menjemputmu, Ina. Aku pamit.

Terima kasih telah mengizinkanku mencintaimu.

1000 Bangau [COMPLETED]Where stories live. Discover now