BERHENTI

21 19 2
                                    

"dari mana saja ? Lama sekali kau, Edo."

Edo yang berada dibelakang Ina tersentak. Dia berencana mengagetkan Ina, tetapi Ina sudah tau lebih dulu. "E-Eh bagaimana kau tahu ?"

Ina memutar bola matanya. "Aroma parfum mu."

Edo tersenyum garing duduk di samping Ina. Memberikan satu botol air mineral dan roti untuk Ina. "Terimakasih." Ina langsung meminum habis setengah botol. "Darimana saja tadi kok lama sekali ?" Ina memakan roti miliknya.

Edo tersentak. "Eh. Itu.. aku tadi habis dari toilet." Jangan sampai Ina tau kalau dia habis salah orang. Bisa-bisa kepalanya jadi korban lagi.

Ina mengagguk. "Hmm.. tadi ada Kak Ben dan kakaknya. Namanya..." Ina mengigat. "Kak... Liam! Ya! Kak Liam namanya." Ina tampak bersemangat.

Edo tak peduli. "Oh ya ?"

Ina menyipitkan matanya. "Tanggapanmu jelek sekali, bodoh."

Edo diam saja. Membuka bungkus roti miliknya. Memakannya, perutnya sudah mulai keroncongan. Dia masih kepikiran kejadian tadi. Kenapa dia bodoh sekali waktu itu.

Mereka berdua menikmati roti sambil tenggelam dalam pikiran masing-masing sejenak. Tanpa percakapan. Mereka melihat orang-orang berlalu-lalang. Ada yang tergopoh-gopoh, mungkin saja mereka hampir ketinggalan kereta. Ada yang santai-santai saja, jadwal keretanya masih lama mungkin.

Ada juga remaja yang berjalan sambil memainkan gadget tanpa memperhatikan jalannya.
BRUAK!
Remaja tersebut menabrak tong sampah yang ada di pinggir jalan, untung saja pakaiannya tidak terkena. Jelas-jelas itu bukan kesalahan tong sampahnya. Edo dan Reina sontak tersentak.

"Pfftt.." Edo menahan tawanya melihat remaja itu tersenyum malu melihat orang-orang disekitarnya yang dibuat kaget.

"Sstt.. ketawanya pelan saja. Nanti dia makin malu." Ina berbisik sambil tertawa tanpa suara.

"Benar-benar remaja zaman now." Celetuk Edo.

Ina tertawa "Iya iya tau yang masih bocah"

"Apa kau bilang ?!" Edo tampak kesal.

Mereka berdua tertawa.

Edo berdiri. Merenggangkan otot-otot tubuhnya. "Ayo kita lanjut lagi."

Ina diam sejenak. "Sebaiknya tidak" Edo menoleh. "Cukup sampai disini, Edo. Kita hentikan pencarian Rei."

Edo heran, bukannya selama ini Ina lah yang paling bersemangat. "Eh ? kenapa ?"

"Biarkan Rei mencari jalan hidupnya sendiri. Itu yang dia inginkan, kan ?" Ina yang masih duduk menunduk.

"Tapi..." Edo memperhatikan temannya itu. Melihat raut wajahnya. "Baiklah kalau itu maumu. Kalau gitu kita kemana lagi nih ?"

Ina sejenak berfikir. "Aku lelah sekali"

"Baiklah ayo kita pulang" Edo tersenyum.

Bukankah lebih baik kalau Ina berhak bahagia tanpa kehadiran Rei. Akhir-akhir ini Ina juga sering dibuat Rei sedih. Hal itu juga bagus buatnya. Dia lebih sering menghabiskan waktu berdua dengan Ina, tanpa Rei. Sungguh hal yang sangat dinanti-nanti Edo.

***

Makan malam telah usai. Ina memutuskan langsung menuju kamarnya. Ina tak banyak bicara selama makan malam. Dia berganti pakaian piyama, bersiap untuk tidur meski dia selalu tak bisa tidur sebelum minum obat. Ina berjalan menuju cendela kamarnya, dari sana terlihat rumah Edo dan Rei. Terlihat lampu teras Rei mati. Padahal selama ini, meski Rei tinggal sendiri, dia tak pernah lupa menyalakan lampu teras rumahnya. Agar orang tau kalau rumah itu ada penghuninya. Kata Rei pada Ina.

Ina menghembuskan nafas panjang. Berjalan menuju ranjangnya. Menghempaskan tubuhnya di kasur empuk. Memejamkan mata beberapa menit, lalu membukanya lagi. Di pandangannya terlihat banyak stiker bintang dan bulan. Seperti langit malam yang selama ini dia lihat bersama kedua temannya itu. Ina menatapnya lamat-lamat. Satu titik air mata keluar di ujung matanya. Ina teringat hari dimana stiker-stiker itu mulai ada.

Waktu itu mereka masih berumur tiga belas tahun.

"Itu ide Rei, Ina. Kampungan sekali kan ?" kata Edo sewot.

Ina tersenyum. "Tidak. Aku menyukainya kok. Thanks ya. Ngomong-ngomong darimana kau dapat ide ini Rei ?"

"itu murni ideku. Agar setiap kali kau akan menutup dan membuka mata, kau akan teringat kami yang akan menjadi bintang dan bulan untukmu, menjaga malammu." Rei menatap Ina, tersenyum.

Air mata Ina mengalir deras. Dia menutup wajahnya dengan bantal agar suara tangisannya tak terdengar. Dia tak berdaya. Jauh di dalam lubuk hatinya, dia menginginkan Rei tak pergi darinya. Namun di sisi lain, Rei juga berhak mencapai cita-citanya, tujuan hidupnya. Ina tak berhak menghalangi itu. Rei begitu baik padanya, itulah yang membuat Ina sulit melepas kepergian Rei.

Ina berhenti, membuka bantalnya. Merasa ada sesuatu yang aneh. Bangun, duduk. Mengucek matanya. Ina sama sekali tak bisa tidur malam ini. Banyak hal yang dipikirkannya. Terutama tentang Rei.

Apakah Rei pergi benar-benar untuk mencapai cita-citanya ? Ataukah karena hal lain ? batinnya. Karena sejak pamannya pergi entah kemana, sikap Rei sedikit berubah. Lambat laun pembicaraannya juga sedikit menyimpang, seperti ada sesuatu yang membuatnya muak. Sering menyendiri, tak banyak bicara, sedikit dingin, dan terkadang cuek. Entahlah.

Ina kembali menjatuhkan tubuhnya di kasur empuknya. Memandang stiker-stiker itu lagi. Kali ini, matanya tak berkaca-kaca lagi. Dimatanya, Rei berbeda dari anak-anak kebanyakan, lebih dewasa dari anak seumurannya, termasuk dirinya yang lebih tua beberapa bulan dari Rei. Jadi Ina tak pernah meragukan keputusan Rei.

Ina menyadari kalau ada sesuatu yang mengganjal dihatinya sejak dulu. Tetapi dia tak mengerti arti dari perasaannya itu. Yang dia tau hanyalah ditinggalkan oleh Rei semenyakitkan ini.

"Rei, dimana... dan... sedang apa kau sekarang... ?"

***

Update part setiap hari ^^

Jangan lupa kasih vote sama comment yaa

Next part 'Masa Lalu'

1000 Bangau [COMPLETED]Where stories live. Discover now