MAMA

8 6 1
                                    

"Mama ?" Aku menggoyang-goyang tangan mama.

Mama sedang berbaring di sofa membaca tabloid edisi terbaru. "Ada apa sayang ?"

"Kenapa papa tak pulang ?"

Mama menutup tabloidnya. Duduk. Mengelus pipiku. "Papa sudah punya keluarga baru sayang. Jadi dia tak akan kesini lagi"

Saat itu umurku masih tujuh tahun. Aku baru masuk sekolah dasar. Terakhir kali kulihat papa sedang mengemasi barang-barangnya. Aku bertanya apakah dia akan ke luar negeri lagi. Dia mengangguk dengan ekspresi yang tak pernah kulihat sebelumnya. Setelah itu, aku sama sekali tak melihatnya lagi.

Bagiku papa adalah temanku. Setiap hari libur dia selalu mengajakku bermain ke taman, tempat bermain, kebun binatang, mall, taman hiburan dan masih banyak lagi. Kami pergi berdua tanpa mama. Kata mama, dia masih banyak pekerjaan kantor jadi tak bisa ikut.

Kami bersenang-senang dari pagi hari hingga sore. Kalau saja mama mengetahui kami bermain seharian, dia pasti akan sangat marah. Menghukumku. Menghukum papa. Kusadari, papa sama seperti paman. Dia mengajarkanku banyak hal. Terlebih pada pelajaran hidup.

"Reina, lihatlah tanaman kaktus itu. Memiliki duri di seluruh bagian tubuhnya. Sangat mengerikan bukan ? Apa kau ingin mencoba memegangnya ?"

Aku menggeleng kencang. "Tidak pa. nanti durinya bisa masuk ke tanganku"

Papa tersenyum. "Iya benar. Semua orang pasti akan bereaksi sama sepertimu. Tak mau menyentuhnya. Papa diam sejenak. Padahal di dalam tubuhnya, dia menyimpan air yang banyak. Makanya tanaman itu banyak tumbuh di padang pasir. Dia menyediakan air untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan jauh. Memberikan simpanan mineral untuk mereka."

Ina diam. Mencoba mencerna omongan papa. "Maksudnya gimana pa ?"

Papa tertawa. "Maaf papa terlalu berbelit-belit. Maksudnya apapun yang hanya kata orang, belum tentu sesuai dengan kebenaran. Kau harus melihat dari dua sisi. Kau harus membuka telingamu lebar-lebar untuk mendengar fakta. Membuka matamu untuk melihat kebenaran. Gunakan pikiranmu untuk menganalisis. Setelah itu kau juga harus membayangkan bagaimana jika kau berada di posisinya. Apa yang harusnya kau lakukan, jangan terlalu cepat menyimpulkan sesuatu. Ya, Reina ?"

Aku mengangguk mantap. "Siap pa"

Seperti itulah papa. Kupikir dia memang pergi ke luar negeri. Bertahun-tahun aku coba menunggu. Hingga pada suatu titik aku muak, aku bertanya pada mama. Kata mama, papa pergi karena berselingkuh. Sampai saat ini pun aku tak pernah tau kebenarannya. Padahal aku sudah membuka telinga dan mata untuk mencari tau. Gagal. Semua fakta sudah dilenyapkan.

Yang aku tau hanyalah, setelah itu aku sama sekali tak melihat papa. Aku tak ingin memaksanya kembali ke rumah. Aku hanya ingin bertemu dengannya. Mengobrol. Bertanya kebenarannya. Dan bilang bahwa aku sayang padanya. Aku tak ingin kehilangan teman bermain sekaligus guru kehidupanku.

Setelah itu aku tinggal bersama mama dan asisten rumah tangga kami, mbak Mina yang sering kujadikan pengganti papa dikala mama sibuk bekerja. Aku kesepian. Aku ingin papa kembali. Aku ingin bermain bersamanya lagi. Aku ingin dia menasehatiku lagi. Aku ingin bersamanya. Namun tak ada yang bisa ku lakukan.

Mama adalah seorang pengusaha. Ayah mama, yaitu kakek dulu adalah pengusaha terkenal di era nya. Sayangnya, beliau hanya memiliki satu anak perempuan pula yaitu mama. Mau tak mau, mama harus meneruskan perusahaan ayahnya. Kata mama, papa dulu adalah karyawan kakek. Jabatan papa waktu itu tidak tinggi. Namun mama dan papa sudah saling jatuh cinta.

Bagiku, mama adalah segalanya. Dialah satu-satunya yang aku punya setelah kepergian papa. Dia selalu memperhatikanku di tengah kesibukannya. Merawatku kala aku sakit, membantuku dalam belajar, dan kadang-kadang dia menjadi teman curhatku. Menjadi single parents bukanlah hal yang gampang, ditambah dia adalah pewaris perusahaan kakek. Jujur, dulu aku sangat mengaguminya.

"Mama"

"Ada apa Reina ?"

"Aku ingin seperti mama" kataku sambil tertawa.

Mama tersenyum. "Kenapa ?"

"Mama terlihat sangat keren ketika berbicara dengan teman kerja mama."

Mama menghembuskan nafas panjang. "Padahal mama berpikir supaya kau kelak tidak seperti mama"

Aku terdiam.

Mama tersenyum menatapku. "Tetaplah jadi Reina anak mama yang periang saja. Mama akan senang"

Aku bersorak. "Siap ma"

Setelah itu aku tau. Bahwa beban yang ditanggung mama sangatlah berat. Mungkin sepertinya mama sudah muak. Tapi dia berusaha tersenyum di depanku. Jika saat itu aku mengetahuinya lebih awal, mungkin aku tak akan merengek meminta ini itu pada mama. Aku hanya cukup menjadi anak penurut dan periang. Itu sudah lebih dari cukup bagi mama.

Sungguh. Aku sangat sayang padanya. Mama. Aku tak ingin melihatnya bersedih. Aku tak ingin menjadi beban untuknya. Aku ingin membantunya jika dia dalam masalah. Aku ingin melihat mama bahagia karena aku. Sungguh. Aku sangat menyayanginya.

Tuhan, tolong jaga mama. Buatlah dia bahagia selalu.

Next Part "Keputusan"

1000 Bangau [COMPLETED]Where stories live. Discover now