Perfect Life

4.9K 622 38
                                    

Sehun menghembuskan nafas keras sekali. Ia kemudian terduduk di kursi seraya menepuk-nepuk pelan leher dengan kedua telapak tangannya.

“Ngadepin kehamilan pertama emang gitu, Hun,” kata Rose seraya memberikan kopi untuknya.

“Thanks, Rose!”

Rose kemudian duduk di sebelah Sehun. Ia menyeruput kopinya yang masih mengepulkan uap.

“Dua botol infus lagi gue rasa cukup. Abis itu lo bisa bawa Jisoo pulang. Dia nggak suka lama-lama di rumah sakit, kan?”

Sehun mengangguk. Ia ikut menyeruput kopi di tangannya.

“Gue rasa lo bakalan dapat off nih, selama beberapa hari. Jadi lo bisa jagain Jisoo di rumah. Pokoknya lo perhatiin makan sama vitaminnya. Janinnya memang nggak kenapa-napa, tapi tetap butuh perhatian ekstra.”

“Oke, Rose. Makasih, ya! Jadi kapan jadwal USG-nya lagi?”

“Bulan depan juga boleh. Tapi kalo vitaminnya udah abis lo kabari gue, ya.”

Seperti yang Rose katakan, Jisoo sudah boleh pulang. Sehun berpikir, jika dokter sepertinya saja bisa panik menghadapi hal semacam ini, apalagi orang yang awam? Mungkin bukan karena masalah profesinya. Jika seseorang yang dicintai mengalami sesuatu yang tidak mengenakkan, maka ia akan ikut merasakannya juga.

Sehun hampir tidak tidur malam itu. Meskipun Rose mengatakan bahwa Jisoo tidak kenapa-napa, ia tetap waspada dan menunggui istrinya sambil duduk di kursi sebelah ranjang. Terkadang dia sempat terlelap, namun kembali terjaga untuk memeriksa keadaan Jisoo yang masih belum siuman.

Pengajuan off-nya kali ini akhirnya disetujui juga. Dia boleh tidak masuk kerja selama tiga hari untuk merawat Jisoo di rumah. Bagaimanapun juga, Jisoo adalah pasien rumah sakit tersebut. Anggap saja itu privilege yang didapat oleh Sehun.

Saat terbangun di pagi hari, Jisoo merasa seluruh tubuhnya nyeri di sana-sini. Ia mengerjap seraya memandang langit-langit kamar. Kenapa ia bisa ada di ranjang? Ia coba mengingat-ingat apa yang terakhir kali ia lakukan. Ia turun dari ranjang untuk pergi ke kamar mandi. Lalu apa? Ia tidak bisa mengingat apapun lagi setelah itu. Ia menggeliat pelan, mencoba mencari posisi berbaring yang lebih enak. Lalu kemudian, ia melihat Sehun tertidur di kursi. Jisoo terkejut. Kenapa Sehun tidur dalam posisi seperti itu? Kenapa ia tidak berbaring di ranjang bersama Jisoo?

Jisoo berusaha untuk bangkit ke posisi duduk dan itu benar-benar menguras tenaganya. Ia memandang perban di bagian tangan kanannya dengan heran. Apa ia terluka? Kenapa ia bisa tidak tahu kapan ia mendapat luka itu? Mungkin Sehun tahu jawabannya. Maka dari itu, Jisoo pun berusaha membangunkan Sehun.

Namun, Jisoo mendadak merasa tidak tega. Kalau tidur dalam posisi seperti ini, berarti Sehun sangat lelah hingga akhirnya terlelap tanpa sempat berpikir untuk berpindah ke ranjang. Tapi bagaimana ini? Ia juga tidak sanggup untuk memindahkan Sehun. Membawa tubuhnya sendiri saja dia sudah kewalahan. Apa yang harus dia lakukan?

Tiba-tiba Sehun bergerak, membuat Jisoo sedikit kaget. Sehun kemudian menguap lalu meregangkan tubuhnya yang pasti terasa pegal. Ia lalu menatap Jisoo yang juga sedang menatapnya. Matanya kemudian terbelalak lalu menangkap kedua lengan Jisoo dalam cengkeraman lembutnya.

“Kamu udah siuman? Mana yang sakit?” tanya Sehun khawatir.

Jisoo mengerjap dengan heran, terlebih karena sikap Sehun yang awalnya tenang kini berubah panik. Seakan-akan dia baru saja mendengar berita ada meteor yang akan jatuh tepat di atap rumah mereka.

“Siuman? Emangnya aku abis pingsan, ya?” Jisoo bertanya balik keheranan.

“Hmm, berarti udah nggak kenapa-napa,” simpul Sehun yang kini kembali bersandar di kursi. Ia kemudian menghela nafas lega.

Jisoo tersenyum melihatnya. Entah kenapa, dia merasa dirinya memang sangat istimewa di mata Sehun. Pasti Sehun begadang menungguinya siuman sampai akhirnya ketiduran.

“Kemarin pas aku pulang kerja, aku liat kamu pingsan di lantai. Aku panik banget tau, nggak?” Sehun menjelaskan.

“Oh, ya?” Jisoo benar-benar tidak ingat sama sekali tentang kejadian itu.

“Sebelumnya kamu ada ngerasa pusing?”

Jisoo coba mengingat-ingat kembali. “Kayaknya sih nggak, deh. Tapi nggak tau juga kenapa bisa pingsan. Trus gimana?”

“Aku bawa kamu ke rumah sakit,” jawab Sehun sepelan mungkin, khawatir Jisoo tidak akan menyukai ide tersebut. “Soalnya aku beneran panik dan nggak tau harus gimana. Aku langsung lupa kalo aku sendiri dokter.”

Jisoo menahan tawa dan menutupi mulutnya dengan kedua tangannya. Menurutnya cara Sehun membela dirinya dengan berbicara tergesa-gesa membuatnya terlihat menggemaskan.

“Kenapa?” tanya Sehun bingung. “Kamu nggak marah aku bawa ke rumah sakit?”

Jisoo menggeleng, “Nggak mungkin lah! Masa udah diselamatin malah marah.” Ia kini tertawa. Lucu rasanya melihat ekspresi kekhawatiran di wajah Sehun.

Sehun kembali menghela nafas. Sepertinya memang ia yang terlalu takut akan kemungkinan yang belum tentu terjadi.

“Yang penting kamu nggak kenapa-napa. Kata temen aku, fisik kamu memang agak lemah. Tapi syukurnya bayi kita baik-baik aja.” Sehun meraih tangan Jisoo lalu menggenggamnya saat mengatakan itu.

Jisoo mengangguk lalu tersenyum. “Syukur, deh. Makasih ya, Sayang, udah jagain aku semalaman. Kamu pasti capek. Mana harus kerja lagi, kan?”

“Karna kamu sakit, aku dapat off. Jadi selama tiga hari ini aku bisa di rumah aja ngurusin kamu.”

“Yahh, sayang banget!” keluh Jisoo.

Sehun mengernyit heran. “Sayang kenapa?”

“Kamu tiga hari berturut-turut di rumah tapi aku nggak bisa masakin apa-apa,” jawab Jisoo dengan bibir cemberut.

“Hmm, mulai lagi deh. Udah jangan dipikirin! Bumil santai-santai aja biar cepat pulih.”

“Tapi kan...”

“Udah, aku nggak mau debat lagi soal ini. Kalo kamu cepat baikan, ntar aku ajak nonton!” janji Sehun.

“Wahh, asikkk!!!” respon Jisoo kegirangan. Maklum saja, sejak terindikasi hamil, dia tidak pernah keluar dari rumah sama sekali.

Suara bel pintu rumah kemudian berbunyi.

“Sebentar, ya.”

Sehun beranjak keluar kamar untuk membukakan pintu. Jisoo bisa mendengar samar-samar suara gaduh di luar. Membuatnya mengerutkan kening karena heran dengan apa yang mungkin sedang terjadi di luar kamar.

Pintu kamar kemudian terbuka dan bukan sosok Sehun yang berdiri di sana, melainkan Myungsoo.

“Jisoo, kamu nggak pa-pa?” tanyanya khawatir seraya menghampiri Jisoo.

Jisoo semakin keheranan. Kenapa Myungsoo terlihat begitu panik? Dan juga, dia menyebutkan kata 'kamu' pada Jisoo? Apa hari ini adalah hari kiamat?

Jennie, Nayeon, Dongwan, dan Bada menyusul di belakang Myungsoo. Semuanya juga memasang wajah panik.

Jisoo akhirnya mengetahui kalau Sehun lah yang mengabari mereka semua. Saking paniknya, Sehun baru teringat mengabari semua orang ketika ia membawa Jisoo pulang dari rumah sakit.

Jisoo tak henti-hentinya tersenyum, bahkan ia merasa terharu. Dia sudah lupa kapan terakhir kali keluarganya mengkhawatirkannya seperti ini. Terutama Myungsoo.

Ia sama sekali tak melepas genggaman tangannya pada Jisoo selama mereka semua menanyakan keadaannya.

Untuk pertama kalinya, Jisoo merasa hidupnya begitu sempurna.

TBC

Maaf sudah membuat para pembaca panik ga karu-karuan😅 Kemarin lagi ada deadline kerjaan dan ada urusan keluar kota juga, makanya cerita on-going pada terbengkalai🙏

Personal Preference | HunSooOù les histoires vivent. Découvrez maintenant