Family

6K 738 30
                                    

Jisoo tidak bisa tidur.

Sejak apa yang terjadi sore tadi, ia sama sekali tidak bisa memejamkan mata. Salahkan Sehun yang menjadi dalang dari semua kekacauan ini. Tapi Jisoo tidak bisa menyalahkan pria itu sepenuhnya. Ia hanya berusaha agar mereka lebih mudah untuk bersama. Terkadang, terbersit dalam pikiran Jisoo bahwa ia menyukai cara pria itu.

Jisoo menuruni tangga menuju dapur dalam keadaan gelap gulita. Ia hanya menyalakan lampu dapur sebagai penerang. Ada yang bilang, susu hangat baik dikonsumsi saat susah tidur. Ia lupa membacanya entah di mana. Yang pasti ia ingin mencoba cara tersebut.

Jisoo mengambil sebuah panci lalu menuangkan susu cair ke dalamnya. Ia kemudian meletakkan panci tersebut di atas kompor dan menyalakan apinya. Begitu susu menggelegak, ia mematikan api kompor dan menuangkan susu panas tersebut ke dalam cangkir. Dia masih harus menunggu sebentar sampai suhu susu tersebut turun hingga bisa ia minum.

Alangkah terkejutnya Jisoo ketika ia berbalik dan melihat sosok berbaju putih berdiri tak jauh darinya. Ia hampir saja menjatuhkan cangkir di tangannya jika tidak dengan cepat menyadari bahwa itu adalah Jennie.

"Kaget gue," kata Jisoo.

"Sorry," Jennie mengucap maaf.

Jisoo menarik sebuah kursi kemudian duduk. Susu di tangannya ia letakkan di atas meja. Jennie kemudian ikut duduk di kursi yang tidak terlalu berhadapan dengan Jisoo.

"Lo nggak bisa tidur?" tanya Jisoo.

Jennie mengangguk.

"Mau susu hangat?" tanya Jisoo lagi.

Jennie kembali mengangguk.

"Sebentar."

Jisoo kembali menghangatkan susu lalu menghidangkannya untuk Jennie. Wajahnya tampak tidak baik. Pasti karena apa yang sudah diucapkan oleh Sehun di depannya. Jisoo memilih untuk tidak menanyakannya. Jennie lah yang memulai pembicaraan ketika masing-masing dari mereka hanya diam dan menyeruput susu hangat mereka.

"Lo beneran hamil anak Sehun?" tanya Jennie.

Jisoo terdiam, bingung harus menjawab apa.

"Gue tau Sehun bohong," kata Jennie.

Jisoo masih diam. Ia hanya menatap cangkir di depannya.

"Kalo dengan nikah sama Sehun bikin lo kembali netap di Korea, gue nggak keberatan."

Jisoo tersentak. Ia kemudian menatap Jennie.

"Mungkin keliatannya papa sama Kak Myungsoo nggak peduli. Mereka adalah yang paling kehilangan waktu lo pergi. Tapi..." Jennie tertawa miris, "...mereka nggak mau mengakuinya."

Jisoo tidak percaya, jujur saja. Tapi bagaimana cara Jennie menyampaikan hal tersebut membuat Jisoo kembali memikirkannya.

"Sejak tau apa yang terjadi di keluarga ini, gue trus merasa bersalah sama lo. Karena mama gue, mama lo jadi menderita. Karena ada gue, lo jadi renggang sama Kak Myungsoo. Setiap apa yang terjadi sama lo, gue juga ikutan nangis. Tapi gue ini siapa mau nenangin lo? Justru karena gue hidup lo jadi kacau kayak gini. Jadinya gue lebih sering menjauh dan nggak berani muncul di depan lo. Waktu lo keterima di Harvard, gue pengen banget ngomong ke papa supaya nyuruh lo buat nggak pergi. Tapi karena papa juga kayak nggak peduli, gue akhirnya juga ikutan diam aja. Rumah ini beneran sepi setelah lo pergi."

Jennie tampak bersusah payah mengatur emosinya, Jisoo bisa merasakan itu. Mungkin karena darah yang sama mengalir di tubuh mereka, atau karena mereka sama-sama wanita.

"Waktu Bona nyampein kalo lo mau pulang untuk liat Kak Myungsoo nikah, walaupun cuma sebentar, gue bisa liat Kak Myungsoo senyum dengar berita itu. Gitu juga dengan papa. Gue lega, akhirnya keluarga kita berkumpul lagi. Tapi setelah lo pulang, mereka malah tetap sama cueknya kayak dulu. Gue juga nggak ngerti kenapa. Lagi-lagi gue cuma bisa diam. Mungkin karena lo-nya juga nggak berubah dari yang dulu. Tapi apa mereka nggak belajar dari pengalaman yang dulu? Kalo lo pergi lagi gimana? Mereka nggak nyesel?"

"Gue pergi justru supaya keluarga ini jadi harmonis lagi," sela Jisoo.

"Tapi kenyataannya nggak gitu, kan? Entah gengsi macam apa yang mereka pertahanin. Apalagi Kak Myungsoo. Cuek-cuek nggak jelas ke lo, tapi di dompetnya dia malah nyimpan foto lo."

Jisoo terkejut, benar-benar terkejut. Jadi memang benar yang dikatakan oleh Sehun? Myungsoo menyimpan foto Jisoo di dalam dompetnya? Bukan foto ibu mereka?

"Sesekali gue mergokin dia lagi liatin foto lo. Rindu, tapi gengsi buat bilang. Nggak ngerti lagi gue."

Jisoo kembali menatap susu yang mulai kembali mendingin di dalam cangkir yang ia pegang. Air mata mulai berkumpul di pelupuk matanya.

"Kayaknya tadi juga Kak Myungsoo cuma mau ngetes Sehun. Apa bener dia serius sama lo, atau cuma asal ngomong aja. Tapi Kak Myungsoo nggak nyangka kalo Sehun bakalan ngomong kayak gitu. Dia bener-bener punya nyali buat perjuangin lo. Selamat ya, Jis. Lo ketemu sama orang yang bakalan bisa lo andalin setiap waktu."

Jisoo masih berusaha memproses semua yang dikatakan oleh Jennie. Semua ini benar-benar baru untuknya, dan betapa terkejutnya ia sehingga merasa tidak percaya. Tapi apa gunanya Jennie berbohong padanya? Mereka memang tidak pernah bertengkar sejak kecil. Mereka hanya tidak mencampuri urusan satu sama lain untuk beberapa alasan. Tapi mereka memang tidak pernah memiliki masalah apapun. Dan memperebutkan Sehun jelas bukan sesuatu yang akan Jennie lakukan.

"Welcome back, Jisoo. And please, do not ever leave again," pinta Jennie pada Jisoo.

Jisoo berdiri dari kursinya dan berjalan menghampiri Jennie. Jennie pun melakukan hal yang sama dan mereka langsung berpelukan begitu sampai di hadapan masing-masing. Air mata keduanya tumpah ruah. Ternyata sehangat ini pelukan seorang saudara. Baru kali ini Jisoo merasakannya dan dia begitu bahagia.

Dongwan yang memperhatikan kedua putrinya saling berpelukan dari ruangan yang gelap tersenyum. Tadinya ia ingin mengintervensi pembicaraan mereka, namun ia mengurungkan niatnya. Semuanya sudah baik-baik saja sekarang. Ia ingin kembali ke kamarnya.

Ketika berbalik, Dongwan melihat Myungsoo yang juga ikut menguping pembicaraan kedua adiknya. Saat berpapasan dengan Myungsoo, Dongwan menepuk bahu putranya dan mereka berdua tersenyum.

Akhirnya setelah tahun-tahun menyakitkan yang mereka jalani, keluarga ini kembali ke sedia kala.

...

"Jisoo!!!" panggil Tiffany yang sudah sepenuhnya pulih sejak kecelakaan waktu itu.

"Hai, Tante cantik!" sahut Jisoo lalu memeluk Tiffany.

Mereka kemudian berbincang di ruangan yang sedikit lengang karena semua orang sedang sibuk dengan pesta pernikahan yang akan diadakan kurang dari sepekan lagi.

"Tante bawa gaun yang Tante janjiin," kata Tiffany memberitahu.

"Oh, iya? Mau liat dong, Tante," sahut Jisoo antusias.

"Emang kamu, ya. Sampai nikah juga nggak mau pake uang papa kamu. Syukur Tante masih nyimpan gaun ini," kata Tiffany.

Jisoo cuma tersenyum sebagai respon. Dia kemudian terpana melihat gaun yang dikeluarkan oleh Tiffany dari kotaknya. Indah sekali.

"Ini gaun yang dipake sama mama kamu pas nikah. Sebelum meninggal, gaun ini dia titipin ke Tante. Berharap kamu bakalan pake ini pas nikah. Kamu berhasil mewujudkan impian terakhir mama kamu. Dia pasti bahagia banget ngeliat kamu nikah pake gaun peninggalan dia."

Jisoo benar-benar terharu. Ternyata pilihannya untuk tidak membeli gaun baru sungguh tepat. Dia hanya berharap, bahwa kehidupan yang akan dijalaninya jauh lebih baik dari ibunya.

Karena itu juga adalah doa dari Yujin, yang tidak sempat berbahagia dengan kedua anaknya.

TBC

Personal Preference | HunSooWhere stories live. Discover now