Harapan Senja Lainnya

522 55 0
                                    

Aku selalu menyukai hujan. Aku hanya merasa mereka mendatangkan ketenangan dan menjauhkanku dari hiruk pikuk dunia. Namun tak ada hujan akhir-akhir ini. Dan aku terpaksa harus keluar dari zona ketenanganku.

Melihat senja ternyata tak buruk juga. Apalagi ditemani oleh balita mungil disampingku ini. Ia adalah adik satu-satunya yang ditinggalkan oleh kedua orang tuaku yang telah meninggal dunia 5 hari yang lalu.

Dunia memang tidak adil, selalu tidak adil. Aku yang menyukai ketenangan ini terpaksa terusik oleh tangis dan tawa seorang balita. Dipaksa untuk mulai menjadi lebih dewasa. Mengemban tanggung jawab yang dulu selalu kuhindari.

Bukannya tak sanggup, hanya waktunya saja yang kurang tepat. Dan disinilah aku, berharap ada yang bisa mengembalikan ketenanganku dan juga kerinduanku akan mereka yang pergi jauh.

Lalu begitu saja aku menyadari kehadirannya. Gadis berbaju orange itu, seolah berteman dengan senja.

Sekali, dua kali dan semingu ini, aku sadar ia selalu berhenti dan duduk dibangku taman dekat rumahku. Lalu berlalu ketika matahari terbenam dibalik pohon diseberang danau.

Bukannya mau mengusik gadis itu. Aku hanya mencoba melihat kenikmatan senja dari sudut pandangnya. Juga mencoba dekat dengan balita mungil dipelukanku ini dan melupakan kesedihan dihatiku.

Kami mendadak menjadi teman dekat, setidaknya itu menurut pendapatku. Balita mungil di pelukanku ini selalu berhasil membuatku tersenyum bahkan tertawa. Ia menghapus sedikit demi sedikit kesedihan yang menyelimutiku. Kami menikmati saat-saat perpisahan dengan matahari dan menyambut datangnya malam. Kami yang kumaksud juga gadis berbaju orange itu.

Entah itu apakah hujan sedang cemburu, atau senja telah bosan terhadap ketenangan. Mendadak awan hitam datang memberi salam lewat gerundungan. Lalu butiran hujan mengguyur bumi yang tadinya cerah. Itulah salam pembuka dari perpisahan antara kami dan dia..

Aku dan balita mungil ini kini duduk dibalik jendela kaca, kami menatap hujan yang sepertinya tak mau reda. Bosan dan penat menyertai waktu. Entah kenapa aku benci suasana ini.

Bosan, aku mengajak balita mungil ini membaca buku yang tentu saja makin membuat adik ku yang tak tau apa-apa ini kesal. Ia menangis sambil menarik tanganku untuk keluar melihat senja. Tapi tentu saja hujan masih terus mempertahankan harga dirinya.

Tak ada senja lagi kali ini. Hujan masih setia mengguyur bumi dan aku sudah tak lagi setia menemani adik ku. Ku biarkan balita mungil itu bermain bersama pengasuhnya dan aku kembali berusaha berteman dengan hujan.

Petir dan kilat makin bersautan seolah berpesta bersama lebatnya hujan dan aku bahkan bisa tertidur pulas dalam keadaan seperti ini. Hingga tak menyadari kegemparan yang terjadi dibalik semuanya.

Adik ku hilang. Balita imut itu hilang dari pandangan dan tak ada satupun yang menyadarinya. Aku tentu saja frustasi. Hanya dia satu-satunya keluarga yang kumiliki. Dan dari sekian banyak pembantu dan pengasuh dirumahku. Mereka hanya mampu diam dan menundukkan kepala.

Aku mengecek kembali ke CCTV yang terpasang dirumahku. Dan yah. Balita mungil itu keluar tepat ketika hujan belum memulai ritualnya. Aku langsung memerintahkan mereka untuk mencari adik ku, tak peduli bahwa hujan masih lebat diluar sana.

Tak sampai setengah jam, adik ku telah ditemukan. Tapi mereka sekarang berada di kantor polisi. Aku yang selama setengah jam itu juga sedang melihat CCTV dirumah. Menyadari melihat seorang gadis datang memeluk balita mungil itu tapat di depan gerbang rumahku.

Polisi menunjukkan rekaman CCTV lain padaku. Dalam rekaman itu jelas terlihat bahwa tuduhan serta cacian yang dilontarkan pengasuh adikku telah salah tempat.

Gadis itu adalah sang penyelamat. Bahkan dengan ketenangan dan kediamannya, kebenaran terungkap begitu saja.

Aku yang entah kenapa benci dengan kebisuan gadis itu akhirnya kalap dan balik menampar pengasuh itu, dan juga memberhentikannya karena lalai menjaga adik ku. Dan tentu saja, aku juga langsung meminta ma'af dan berterima kasih pada gadis itu.

Dia tak menjawab, juga tak tersenyum. Aku tau dia benci berada di situasi buruk macam ini.

Aku memaksa gadis itu untuk mengantarnya pulang. Lagi pula sepertinya balita mungil itu menyukainya. Dia sudah seperti koala yang lengket dan tak mau lepas dari pelukan gadis itu.

"Semoga, besok senja kembali cerah," ucapku berusaha memecah kesunyian. Namun sayangnya gadis itu hanya mengangguk dalam diamnya.

Waktu pagi berganti siang, siang berganti sore yang sepertinya masih enggan memperlihatkan senja yang cerah. Kami kembali terkurung dalam rumah dan adik ku ini kembali gelisa. Mungkin saja dia merindukan sosok gadis itu.

Hujan masih setia dengan tekadnya mengguyur bumi. Namun kali ini ia tidak datang bersama gemuruh angin, juga kilat dan petir seperti beberapa hari yang lalu. Ia hanya sebuah rintik yang masih membiarkan langit terlihat cerah.

Aku mendadak bersemangat. Dengan harapan kuat bisa melihat gadis itu, bahkan berkeinginan menjadi dekat dengannya, aku meraih payung merah muda disamping pintu. Menutupi pakaian adik ku dengan jas hujan kecil dan bergegas keluar.

"Hai."

"Hallo."

"Senang bertemu denganmu."

"..."

Aku bertatapan dengan balita mungil di pelukanku. Kami berdiri di balik pintu gerbang yang masih tertutup. Berkali-kali ku coba merangkai sebuah kata menjadi kalimat, tapi kalimat itu malah memperkuat rasa gugup ku.

Sial!!!, baru kali ini aku seperti ini.

Bagaimana kalau dia tidak ada melihat senja?. Lagi pula rintik masih terhitung sebagai hujan.

Semoga―semoga―dan semoga―

Itulah harapanku untuk melihat gadis itu.

Dan begitu pintu gerbang ku buka. Aku melihat gadis itu disana. Dengan payung orangenya dan aku yakin aku melihat seulas senyum diwajahnya.

"Ayo nikmati senja bersama," ucapku ketika jarak kami semakin dekat.

Rintik itu berhenti. Matahari tersenyum cerah menghadirkan senja yang telah lama kami nanti. Kami yang kumaksud juga termasuk gadis berpayung orange itu.

Unexpected Love (END)Where stories live. Discover now